Wawancara Eksklusif dengan Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Tahfidh Darun Nashihah Monash Institute, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ.
Makin banyak orang tua yang ingin agar anak-anak mereka hafal al-Qur’an. Menangkap kecenderungan itu, banyak sekolah yang membuat program khusus menghafalkan al-Qur’an. Banyak pula didirikan rumah tahfidh di berbagai tempat. Ada yang berhasil, tetapi lebih banyak yang gagal menghafalkan al-Qur’an 30 juz. Untuk mengetahui dinamika menghafalkan al-Qur’an, baladena.id melakukan wawancara dengan Dr. Mohammad Nasih atau akrab disapa Abah Nasih (AN) oleh anak-anak didiknya, yang telah lebih dari sewindu bergelut dengan program menghafalkan al-Qur’an, terutama untuk lulusan SMU dan mahasiswa.
Baladena: “Abah Nasih, sebenarnya apa yang disebut hafal al-Qur’an?“
AN: “Ya sesuai dengan sebutan itu. Menghafal al-Qur’an secara keseluruhan, 30 juz, 114 surat. Kalau hanya hafal beberapa surat saja, hafal al-Waqi’ah misalnya, ya hafal al-Waqi’ah, bukan hafal al-Qur’an.”
Baladena: “Bagaimana bisa menghafal 30 juz, yang tebalnya 604 halaman?“
AN: “Di antara tanda bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat, ya bisa dihafalkan itu. Ia bisa dihafalkan sejak dulu sampai hari ini, dan tentu sampai kiamat nanti, dengan tanpa ada putus. Bahkan makin banyak yang hafal. Baik orang Arab maupun non-Arab (‘ajam). Berbeda sekali dengan kitab suci yang lain yang tidak bisa dihafalkan. Bahkan walaupun hanya dua halaman. Tidak ada yang hafal.”
Baladena: “Bolehkan Abah Nasih bercerita sedikit tentang proses menghafalkan al-Qur’an di Rumah Tahfidh Darun Nashihah Monash Institute?”
AN: “Mau dimulai dari mana ini? Dimulai dari awal ya. Dari cerita banyak yang gagal dalam menghafal ya. Pertama kali saya menekankan kepada para mahasantri di Monash Institute untuk menghafalkan kalau saya tidak salah ingat pada tahun 2012. Saya masih khawatir, kalau saya wajibkan, malah banyak yang melarikan diri, karena tidak siap mental dan fisik. Setelah dua tahun saya tekankan, tahun 2014 saya wajibkan. Dua tahun berjalan, hasilnya tidak sesuai dengan harapan saya. Hanya beberapa orang saja yang berhasil menyelesaikan 30 juz. Selebihnya ada yang 23 juz, belasan juz, bahkan mandek di bawah juz 10. Melihat itu, saya mulai merenung, apa sebenarnya yang menyebabkan banyak di antara mereka gagal? Saya lakukan banyak strategi agar mereka lebih serius dalam menghafal. Tetap saja, setoran tetap tidak optimal”.
Baladena: “Setoran? Maksudnya bagaimana itu, Bah?“
AN: “Setoran itu maksudnya, membaca tanpa teks di depan saya. Kalau salah saya koreksi. Saya bikin aturan, mereka harus setoran hafalan minimal satu juz sekali duduk, dengan kesalahan maksimal 20 kali?”
Baladena: “Kenapa 20 kali? Ada rahasia apa pada angka itu, kalau boleh tahu, Bah?“
AN: “Mushhaf al-Qur’an yang digunakan oleh para penghafal biasanya disebut al-Qur’an sudut. Ini hanya karena cetakan saja sebenarnya. Di sudut bawah halaman selalu berakhir ayat. Ini untuk lebih memudahkan mengingat saja. Nah, setiap juz terdiri atas 20 halaman. Dan saya berikan toleransi untuk salah sekali saja setiap halaman. Kalau salah melebihi jumlah halaman yang disetorkan, maka harus berhenti dan mengulang. Dengan cara itu, saya ingin agar saat khatam dalam menghafal, kualitas hafalan mereka benar-benar terjamin. Bukan sekedar pernah menghafal.”
Baladena: “Wah kalau begitu, harus benar-benar di luar kepala ya, Bah? Bagaimana caranya itu? Apalagi saya dapat info, di sini ada program menghafalkan al-Qur’an 30 juz hanya dalam 10 bulan. Berarti harus bisa menghafal minimal 2 halaman perhari. Nah, bagaimana itu caranya? Apa sanggup itu?”
AN: “Kesanggupan dalam menghafal itu pada dasarnya ditentukan oleh niat yang kuat. Niat itulah yang akan melahirkan komitmen yang kuat. Namun, itu harus ditambah lagi dengan memahami artinya. Sebab, menghafal dengan tanpa arti itu tujuh kali, bahkan lebih berat. Ini berdasarkan data yang saya kumpulkan dari banyak forum yang saya jadi pembicara.”
Baladena: “Maksudnya bagaimana itu, Bah?“
AN: “Saya kasih contoh langsung saja, dan Anda yang jadi kelinci percobaannya ya. Bagaimana? Bersedia?”
Baladena: “Wah, lulus nggak ya. Baiklah, Bah“
AN: “Tirukan yang saya ucapkan ini! Siap ya! “Saya datang ke sini untuk wawancara kolom baladena.id”. Silakan tirukan!
Baladena menirukan, dan berhasila tanpa mengulang.
AN: “Mantap. Berarti daya ingat Anda baik. Normal. Nah, coba ikuti saya. Siap ya. Perhatikan mulut saya. Sebab, ini bahasa lain. “Ibis redibis numquam peribis in armis.”
Baladena: “Waduh, perlu diulang lagi, Bah“.
AN: “Sudah. Tidak perlu diulang lagi. Tadi kan sudah saya bilang, perlu tujuh kali pengulangan. Padahal jumlah kata antara yang pertama dengan yang kedua tidak jauh beda. Tapi kenapa yang pertama bisa Anda tirukan tanpa perlu saya ulang, sedangkan yang kedua harus saya ulang?”
Baladena: “Yang pertama, saya paham artinya. Sedang yang kedua, saya tidak ngerti“.
AN: “Itu dia masalahnya. Itulah sebab, sekarang tidak boleh lagi menghafalkan al-Qur’an tanpa mengerti artinya. Setidaknya makna literalnya, harus tahu. Sebab, menghafal dengan arti akan lebih cepat. Dan dari sudut fungsinya, kalau hafal tanpa tahu maknanya, buat apa? Al-Qur’an itu kan mesti dipahami, agar bisa diamalkan. Kalau dihafalkan tapi tidak tahu maknanya, bagaimana mengamalkannya. Lebih dari itu semua, menghafal al-Qur’an tanpa arti, akan menjadi beban sepanjang hayat. Menghafal dengan arti, akan menghasilkan banyak inspirasi. Justru saya takut apa yang disabdakan Rasulullah, kalau hafal al-Qur’an tanpa arti. Kata Rasulullah: “Kebanyakan munafiq ummatku adalah penghafal al-Qur’an”. Nah, ini kan menakutkan. Ini jarang disampaikan oleh para penganjur menghafalkan al-Qur’an. Dan ini juga yang saya takutkan pada diri saya sendiri.
Baladena: “Wah menarik sekali ya, Bah. Saya jadi ingin menghafalkan al-Qur’an juga.”
AN: “Alhamdulillah. Semoga benar-benar terjadi.”
Baladena: “Aamiin“
Respon (1)