Menggapai Tujuan Pendidikan Nasional


Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pendiri Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen, Pamotan, Rembang, Jateng.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Poin-poin rigid dalam tujuan tersebut harus menjadi variabel-variabel untuk mengukur atau menilai apakah segala usaha pendidikan di Indonesia sudah berhasil, atau sebaliknya gagal?

Pertama, beriman. Jika beriman di dalam pasal terbut dipahami sebagai memeluk agama tertentu, mungkin secara formalistik terlihat sudah sesuai. Sebab, mayoritas warga negara Indonesia, termasuk yang masih usia peserta didik, memeluk agama masing-masing. Apalagi, yang sudah masuk usia dewasa dan harus memiliki KTP, di dalam blanko KTP ada kolom agama yang memang harus diisi. Namun, jika iman dimaknai secara hakiki sebagai kepercayaan yang diterima dengan sepenuh hati karena sungguh memahami bahwa kepercayaan itu merupakan kebenaran, maka penilaiannya akan menjadi nyaris gagal total.

Apa pasal? Terutama pemeluk agama Islam, sebagai mayoritas, untuk bisa memahami konsepsi iman dengan benar dan komprehensif, maka tidak bisa tidak harus memahami al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Sebab, keduanya merupakan sumber mutlak ajaran Islam. Sedangkan teks asli kedua sumber ajaran Islam tersebut berbahasa Arab. Maka memahami bahasa Arab menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak, alias harus. Namun, jangankan memahami bahasa Arab, yang bisa membaca al-Qur’an dengan benar, sesuai dengan kaidah tajwid, diperkirakan tidak lebih dari 4 persen. Nah, jika ditanya lebih lanjut lagi dari mana kemampuan membaca al-Qur’an dengan benar itu? Jawabnya bukan di sekolah, melainkan di surau, atau di rumah, karena orang tua memiliki kepedulian khusus untuk membekali agama kepada anak-anak.

Mestinya, di sekolah, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional, diberikan pendidikan bahasa Arab, sebagaimana di sekolah diajarkan bahasa Inggris. Jika bahasa Inggris dijadikan sebagai mata pelajaran wajib karena ia merupakan bahasa internasional yang diperlukan untuk masuk pasar tenaga kerja, kenapa bahasa Arab yang merupakan alat untuk memahami kitab suci yang merupakan jalan satu-satunya untuk mengetahui konsepsi iman, justru tidak diajarkan? Tentu saja, agama yang lain memiliki jalan tertentu yang harus dilalui dan dikuasai oleh setiap peserta didik yang juga harus diberikan di sekolah, agar konsepsi iman dalam agama bisa dipahami dengan baik, dan benar-benar tertanam dalam hati.

Kedua, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika iman berada dalam ranah konsepsional, maka takwa berada dalam tataran implementatif. Iman yang tidak ditransformasikan dalam bentuk amal, maka dianggap tidak fungsional. Para ilmuan muslim memaknainya dengan “menjalankan segala perintah Allah Swt. dan sekaligus menjauhi segala laranganNya”. Untuk bisa menjalankan perintah dan sekaligus menjauhi larangan tersebut, tentu saja harus memahami ajaran yang ada di dalam sumber ajaran agama. Karena itu, prasyarat yang diperlukan juga sama dengan yang pertama.

Ketiga, berakhlak mulia. Sejatinya, standar akhlak mulia bagi pemeluk agama adalah implementasi ajaran agama. Jika ajaran agama sudah dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka peserta didik sudah bisa dikatakan manjadi manusia yang berakhlak mulia. Namun, jika diperlukan transformasi tradisi lokal, maka sekolah perlu memperkenalkan tradisi lokal tersebut kepada peserta didik. Misalnya, sekolah-sekolah di Jawa mengajarkan bahasa krama inggil kepada para peserta didik, agar mereka mengimplementasikannya dalam pergaulan sehari-hari kepada orang yang lebih tua. Dengan begitu, peserta didik akan terhindar dari stempel sebagai manusia yang tidak memiliki tata krama, unggah-ungguh, atau sopan santun. Tentu saja lokalitas-lokalitas yang lain memiliki khazanah-khazanah tertentu yang bisa dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal, sehingga yang dimaksud dengan akhlak mulia dalam amanat undang-undang tersebut menjadi holistik.

Keempat, sehat. Sehat tentu saja haruslah lahir dan batin, fisik dan mental, sebagai makhluk individu maupun masyarakat, sehingga mampu menjalin kehidupan yang harmonis. Kesehatan yang menyeluruh itu bisa didapatkan juga dengan menjalankan seluruh ajaran agama. Sebab, agama mengatur kehidupan secara lengkap, antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta, sehingga kehidupan dunia bisa dijalani dengan baik, dan diharapkan demikian pula nanti di akhirat. Dengan pemahaman yang baik kepada hakikat kehidupan, maka peserta didik akan menjalankan prinsip-prinsip untuk bisa hidup secara sehat.

Kelima, berilmu. Mestinya variabel ilmu ini diletakkan paling awal. Sebab, ilmulah yang akan memberikan panduan tentang benar-salah dan baik-buruk. Kesehatan juga bisa diraih dengan memiliki pengetahuan. Jika ilmu dipahami secara terbatas sebagai pengetahuan dan wawasan, tentu saja sekolah harus memberikan ilmu-ilmu dasar, agar setiap peserta didik memiliki semangat untuk terus belajar untuk menambah pengetahuan dan juga keterampilan.

Keenam, cakap. Cakap sering diartikan dengan kesanggupan atau kemampuan melakukan sesuatu. Kecakapan tentu tidak terlepas dari ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang. Jika seseorang memiliki ilmu yang cukup ditambah keterampilan yang baik, maka ia akan memiliki kecakapan.

Ketujuh, kreatif. Kreatif berarti memiliki daya cipta sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Mestinya, dengan watak kreatif ini, Indonesia sudah memiliki hasil cipta yang banyak. Bahkan pada level sekolah menengah, terutama SMK bisa menghasilkan alat-alat sederhana yang bisa membantu mempermudah pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi pernah dikabarkan bahwa selevel anak-anak SMK telah mampu mencipta mobil yang sempat mencuri perhatian khalayak luas dan dimanfaatkan sebagai komoditas politik. Namun, faktanya sampai hari ini, anak-anak bangsa belum memiliki kreatifitas signifikan yang digunakan oleh pasar lokal apalagi dunia. Justru, pasar Indonesia dibanjiri oleh produk-produk dari luar negeri. Kreatifitas anak bangsa terkebiri, sehingga kemudian mati suri.

Kesembilan, menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Jika semua kualitas yang sebelumnya telah ada, maka tidak ada celah alasan sesempit apa pun untuk menjadi warga negara yang tidak bertanggung jawab. Sebab, dengan ilmu pengetahuan, keyakinan yang kuat kepada agama, ketrampilan yang cukup, kecakapan dalam menjalani hidup, dan kemandirian, seorang individu justru akan terpanggil untuk memberikan kontribusi yang terbaik, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Seorang yang sudah terbiasa melakukan kerja-kerja besar, akan lebih merasa tertantang untuk melakukan yang lebih besar lagi. Dengan makin banyak yang memiliki niat untuk berkontribusi tersebut, maka peluang melakukan sinergi menjadi lebih besar. Jika pun terjadi kompetisi, maka akan terjadi kompetisi yang sehat untuk memberikan tempat kepada yang terbaik di antara banyak yang baik. Jika demikian, maka baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur makin terbayang di depan mata.

Nah, apakah tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan itu akan bisa diwujudkan secara optimal oleh menteri baru? Dan apakah menteri baru akan bisa membangun orkestrasi melampaui yang ada di perusahaan ojek? Sebab, persoalan pendidikan jauh melampaui itu. Kita hanya bisa menunggu, dengan tentu saja terus mengusahakannya dalam skala kecil yang bisa kita lakukan di lingkungan kita masing-masing. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *