Oleh : Rahma Areta Maheswari, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal
Di Indonesia, tantangan pendidikan tidak hanya mencakup masalah sosial-ekonomi tetapi juga masalah hukum.
Akhir-akhir ini dunia pendidikan dikejutkan dengan guru yang dijadikan sebagai Tersangka kasus dugaan penganiayaan anak seorang Anggota Polisi. Supriyani seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, terlibat dalam kasus hukum yang cukup mengejutkan masyarakat.
Salah satu orang tua muridnya, yang juga anggota Polisi, melaporkan Supriyani atas dugaan penganiayaan pada bulan April 2024. Kasus ini berlanjut ke Pengadilan dan menarik perhatian publik ketika Kejaksaan akhirnya menahannya. Proses hukum pada kasus ini telah menuai perdebatan, mulai dari dugaan pelanggaran kode etik, dan dugaan permintaan kompensasi. Pengacara Supriyani, Andre Darmawan menekankan adanya dugaan kriminalisasi dalam situasi ini, yang menimbulkan konflik karena pelapor adalah seorang Anggota Kepolisian.
Kriminalisasi adalah proses mengubah perilaku atau tindakan yang sebelumnya legal menjadi ilegal, sehingga dapat dipidana.
Kesenjangan pemahaman dari sudut pandang antara pendidik dan orang tua tentang pendidikan anak, menyebabkan terjadinya kesalahpahaman tentang metode dan pendekatan pelatihan guru. Orang tua yang menentang cara-cara yang digunakan guru untuk mendisiplinkan anak-anak mereka seperti membentak, mencubit, memukul, mencukur, dan tindakan-tindakan lainnya, menyebabkan para guru di kriminalisasikan.
Pasal 76C Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan : “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Kemudian, Pasal 80 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan jika setiap orang melanggar ketentuan Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan / atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Undang-undang ini telah menyebabkan beberapa kasus dimana Para Pendidik dilaporan ke ranah hukum.
Menanggapi hal tersebut, kita juga harus mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang memberikan kewenangan dan perlindungan bagi para pendidik. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah”.
Dalam memenuhi tangung jawabnya sebagai pendidik, guru memiliki wewenang untuk menerapkan hukuman ketika siswa dianggap melakukan kesalahan. Sanksi dapat berupa teguran atau peringatan resmi, baik secara lisan maupun tertulis, serta hukuman yang bertujuan untuk membuat siswa jera.
Terdapat sudut pandang yang beragam, baik dari pihak orang tua dan pihak sekolah, terutama para pendidik seperti guru. Hukuman yang membuat efek jera, seperti mencubit, dipandang sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang Perlindungan Anak dari sudut pandang orang tua. Sedangkan pihak pendidik masih menganggap sanksi tersebut dalam kategori mendidik.
Kemajuan pendidikan nasional Indonesia mendapat momentum baru dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional. Pemberlakuan Undang-Undang ini juga berimplikasi pada dunia pendidikan, khususnya bagi para guru dan tenaga kependidikan yang memilki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Komitmen terhadap pendidikan semakin diperkuat dengan adanya undang-undang ini, yang berlaku sebagai payung hukum bagi guru dan dosen. Undang-undang ini juga memastikan perlakuan yang sama bagi mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta.
Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan dapat memberi penghargaan terhadap guru.
Selanjutnya, regulasi perlindungan hukum terhadap guru juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru. Meskipun peraturan-peraturan ini sudah efektif diberlakukan, namun perlindungan terhadap profesi guru sering kali tidak diperhatikan.
Menurut aturan-aturan tersebut, para pendidik harus mendapatan perlindungan agar tidak terjadi kriminalisasi. Namun, fakta guru yang memiliki wibawa dan karisma mulai berkurang dan perlahan-lahan menghilang. Seiring dengan tren anak muda saat ini yang terlihat mengalami penurunan nilai dan etika akibat perkembangan globalisasi yang tampaknya semakin tidak terkendali.