Keadaanmu kini kian membaik, setelah sembuh dari sakitmu. Aku pun mengajakmu menikmati indahnya pagi. Masih ingatkah aroma makanan yang khas di pinggir jalan Pantura? Di situ juga kau bercerita banyak hal. Namun seperti biasa, aku hanya menjadi pendengar setiamu. Ya, memang tak banyak kata yang terucap dariku. Tak sebanding dengan perasaanku saat itu. Kala gerimis yang menemani kota rantauan disertai pilu, pertanda hujan lebat akan turun hari ini.
Lagi-lagi hujan yang menyadarkankanku atas nikmat tak berujung dari sang Maha Pemberi. Inilah bagian dari nikmat Tuhan yang patut disyukuri.
Bumi pun tampak nyaman dengan pesona indahnya. Hingga malam hari, tak kalah deras hujan yang turun ke Bumi. Saat itu kau dalam perjalanan menuju tempat perantauan kota. Basah kuyup. Karena memang tak ada waktu lagi untuk berhenti walau sejenak. Aku yang sampai terlebih dahulu, kemudian melihat perjuanganmu yang begitu ku kagum denganmu. Lagi-lagi aku iri denganmu, dengan semangatmu yang tak pernah pudar.
Juga ada cerita kala petang. Ketika ku sambut senja, lagi-lagi warnanya yang tak terbayang. Senja kian terbiaskan oleh rintikan hujan. Sebagai sebuah simphoni saat nada-nada terdengar saling beriringan. Ada irama yang menjadikannya sebagai sebuah lagu yang tak kalah menawan. Hembusan angin yang khas menyentuh jiwa, pertanda akan menyatu keduanya. Karena air dan angin adalah perpaduan yang menakjubkan. Datangnya hujan selepas kamarau, membuat hati tersejukkan.
Aku bersyukur ketika hujan turun. Ia mampu menutupi air mata seseorang yang tengah mengalir kemudian membasahi pipi. Saat hujan mulai turun di Bulan November, kau tak terlihat lagi disini. Kau berada di dalam ruangan dengan keadaan yang belum begitu pulih kala itu. Menungguku, sementara aku harus menghadapi tangisan langit itu, lalu menemuimu.
Apalagi saat senyum manis dari bibirmu menyapa. Membuatku tak bisa berkata-kata. Terlebih saat melihat tingkahmu yang terkadang kekanak-kanakan. Tapi tak apa, itu hiburanku, kau berhasil membuatku tersenyum disaat keadaanku yang seperti saat ini. Entah mengapa aku pun ingin selalu belajar banyak darimu, wahai cahaya hati.
Masih ingatkah ketika kau menghampiriku? Lalu memberiku energi baru. Saat pikiranku melayang, entah kemana. Aku tak tahu. Perasaan resah gelisah, tak peduli lagi dengan apa yang ada di hadapanku. Saat hujan mulai reda kala itu, namun masih menyisakan aroma khas, guyuran air hujan yang mengenai tanah. Tiba-tiba dirimu datang, bidadari tak bersayap yang dikirim tuhan pada saat tepat.
Sampai aku tersadarkan, bahwa aku semakin yakin kepastian. Entah pada saat itu aku tercerahkan, semangat yang akan terus kuniatkan. Setelah beberapa lama kau bercerita, segala isi hati berhasil diungkapkan. Saat itu pula, aku berusaha untuk terbuka, berusaha bersahabat dengan keadaan. Walaupun kau masih menganggapku sebagai pendengar setiamu. Dari situ kemudian terucap janji darimu dan dariku. Untaian kata saling memotivasi, syair semangat pun tak ketinggalan. Selalu ingat akan banyaknya impian dan harapan.
Apakah kau juga masih ingat? Saat sore hari, ketika mendung menjemput senja. Setelah sekian lama tak jumpa. Kau memberi kabar padaku, bahwa kau tak sabar menanti. Aku pun demikian, ketika menjelang malam. Tak sabar diri ini untuk bertemu, melepas kerinduan yang bersarang. Langkah kakiku dengan badan yang letih, tetap melangkah. Semuanya hilang seketika. Saat melihat lambaian tangan seorang perempuan berkerudung merah muda. Senyum yang lama tak kujumpai, kini terlihat lagi. Peristiwa itu bagaikan pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah.
Heran, namun anggaplah biasa saja. Hujan terus mempertemukan kita. Kian menambah catatan peristiwa yang selalu saja kita lalui. Ditemani malam, hadirmu seperti memberiku lukisan mempesona selepas hujan turun. Benar, ingin ku menulis tentangmu. Saat otakku melihat, mataku berpikir, hatika berbicara, mulutku menangis. Namun berbeda dengan tangaku, karena tanganku akan tetap menulis.
Kisah yang ingin kutuliskan dalam buku khusus yang kupunya, yang kuberi judul, “Kamu”. Dan takkan kehabisan kata saat menceritakan semua tentangmu. Kutulis semua menjadi sajak cintaku.
Ingin ku lukis semua tentangmu, dan segala yang ada darimu. Karena tidak akan kehabisan tinta saat ku lukis harimu. Hujan itu sebagai lukisan, saat bumi menjadi kanvas dengan tetes demi tetes air hujan yang terus mengalir. Membekas di antara tanah-tanah yang tertindih.
Aku masih ingat betul ketika melewati jalan Kota. Basah kuyup. Saat derasnya hujan menjadikan payung untuk berteduh di antara tetesan hujan yang seketika membasahi Kota. Kau pun menganggap menerjang hujan adalah hal biasa. Bahwa kau sudah berkali-kali seperti ini. Hujan masih air, katamu. Membuatku sedikit tersenyum sambil membasuh muka yang terkena air hujan. Keharmonisan yang tercipta tatkala hujan sangat dinanti. Malam itu kutemukan dari kesunyian yang kerap mengisi lorong-lorong waktu. Memainkan rasa jiwa dan berupaya untuk menemukan hakikat makna cinta.
Saat hujan yang cukup deras membuatku ingin sebentar saja bersahabat dengan malam. Malam selasa yang begitu mengesankan. Kabar pun tak lupa saling ditanyakan. Aku pun menyatakan bahwa diriku memang baik-baik saja. Karena banyak tanggung jawab serta visi yang mesti dicapai, target yang selau ingin kulalui. Dengan semangat, semua akan kuhadapi.
Di situlah terucap janji untuk bersama, bersama untuk saling mendukung, kau yang menyatakan bahwa akan menjadi suporter terdepanku. Semoga kita menemukan harum nafas kerelaan dan kebahagiaan. Serta tetap mendoakan kebaikan dimalam-malam sunyi. Itulah hujan, yang membuatku bisa merasakan bagian dari arti cinta. Harapku tidak hanya dikala hujan, namun jadikan aku juga sebagai pelangimu.
Hujan dengan sejuta kenangan
Terhura