Terkuaknya salah seorang Ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi sebagai salah satu Komisaris PT Gag Nikel menjadi momentum tersendiri, ia kini terus dikuliti warganet, setelah melakukan pembelaan yang justru blunder.
Alih-alih mengeluarkan pernyataan senada, Savic Ali yang juga salah seorang Ketua PBNU, justru melemparkan pernyataan berbeda, seolah-olah PBNU menolak eksploitasi tambang yang konon katanya hanya menguntungkan segelintir orang.
Oadahal kebijakan Ketum PBNU, Yahya Cholil Staquf sendiri yang sejak awal paling gegabah menerima konsensi tambang dari Pemerintah, meskipun entah jelas apa tidak juntrungnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa selama ini ormas keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) selain mendaku sebagai ormas keagamaan mayoritas, juga memang diakui sebagai penjaga gawang civil society.
Lihat saja berbagai pidato, sambutan, diskusi dan acara serupanya tidak kurang-kurang mengeluarkan narasi-narasi bombastis, betapa NU digembar-gemborkan begitu berjasa atas bangsa ini, bahkan dalam level tertentu kader-kadernya terlihat berapi-api seperti hanya mereka yang berjasa atas bangsa ini, sambil menggelorakan NKRI harga mati dan jargon-jargon bombastis lainnya.
Terus terang, PBNU di era sekarang merupakan titik kulminasi, yang selama ini hanya desas-desus dan kabar angin. Arahnya begitu jelas mengarah pada kapitalisme agama.
Sebuah sistem organisasi yang digerakkan secara masif untuk kepentingan kapitalisasi dengan modus agama. Bukan main, yang mendapat jatah Komisaris ternyata bukan hanya Ahmad Fahrur Rozi, banyak di antara elit PBNU yang justru mendapat jatah itu, baik yang secara diam-diam, maupun yang dirayakan tanpa malu.
Selain jabatan Komisaris, sudah pasti banyak jatah jabatan-jabatan tertentu yang sengaja diproyeksikan Pemerintah untuk elit-elit PBNU, mulai dari jabatan Menteri, staff khusus, demikian sampai level paling bawah.
Pertanyaannya, seandainya mereka tidak sedang menjadi elit dalam jajaran PBNU, apakah mereka bakal mendapatkan jatah jabatan-jabatan tersebut? Jawabannya adalah sangat kecil kemungkinan.
Jadi, ketimbang alasan profesionalitas, bagi-bagi jatah jabatan tersebut lebih kepada kepentingan politis, yang dampaknya membungkam amanah PBNU sebagai civil society yang mestinya kritis terhadap segala kebijakan Pemerintah yang tidak pro rakyat.
Bagaimana bisa, berbagai masalah serius terjadi di negeri ini, Ketum PBNU justru memilih bungkam. Yang getol justru terus saja menjadi bempernya Pemerintah, memuji-muji Pemerintah sedemikian rupa tanpa reserve.
Mari kita lihat apa prestasi Ketum PBNU di era Yahya Cholil Staquf? Sesumbar berbagai program pemberdayaan sejak pidatonya dalam momen pelantikan, hampir tak satu pun yang jadi kenyataan.
Badan Usaha Milik NU (BUMNU), Kampung Nelayan, penataan organisasi sampai ke tingkat Ranting juga nol besar, sistem kaderisasi PD-PKPNU (dan masih banyak lagi jenjangnya) tidak lebih menjadi sistem kaderisasi yang sangat kaku, dan lain sebagainya, semuanya hampir omong-kosong.
Bahkan yang terbaru, mendaku tengah melakukan digitalisasi organisasi, dengan meluncurkan aplikasi Digdaya, hanyalah aplikasi persuratan yang sama sekali tidak berdampak pada tatanan kehidupan sosial masyarakat secara subtansial.
Fakta semakin buramnya PBNU, diperparah dengan berbagai pernyataan dan perilaku para elitnya yang juga tidak kalah blunder. Elit PBNU yang kerap tampil menjadi juru bicara PBNU justru melakukan hal-hal yang kontraproduktif, misalnya soal legitimasi korupsi hasanah, fikih tambang (yang dimanipulasi), membiarkan elit PP Muslimat melanggengkan kekuasaan, dan masih banyak lagi.
Jadi nyaris, PBNU di era sekarang ini, masih kalah jauh umpamanya oleh hanya PCNU Magelang, di Jawa Tengah, yang telah melakukan transformasi dakwah Islam menuju program-program pemberdayaan dan kemandirian yang konkret.
Saya menulis catatan harian serupa ini telah berulang kali. Menunjukkan kecintaan saya terhadap jam’iyah yang selama ini dianggap keramat, tetapi justru semakin ke sini semakin mengalami degradasi yang sangat drastis.
Dirusak sedemikian rupa oleh para elit pengurusnya. Terus terang, saya merasa kasihan sekali dengan warga NU yang berada di akar rumput, mereka yang menjalankan organisasi berikut mengadakan berbagai acara dengan penuh keterbatasan, urunan, dan “berdarah-darah”, sementara elitnya di PBNU berbanding terbalik dengan tidak memberikan keteladanan yang baik.
Di mana tanggungjawab PBNU? Giliran pihak lain melakukan kebijakan yang dianggap keliru, ramai-ramai mengkritik, tetapi saat PBNU melakukan kebijakan yang keliru, semuanya pura-pura tidak tahu, terjebak anggah-ungguh dan ewuh-pakewuh yang sangat kontraproduktif. Sungguh sangat disayangkan, jargon-jargon tawasut, tasamuh dan seterusnya itu ternyata omong-kosong belaka, yang jauh panggang dari api. Jelas-jelas mereka telah melakukan kapitalisasi agama untuk memperkaya diri mereka masing-masing dengan tameng organisasi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Mari kita ingatkan para elit PBNU dengan segala cara, apakah secara lisan, tulisan, puisi, musik, termasuk do’a, dan lain sebagainya. Diamnya kita dalam konteks PBNU seperti ini akan semakin membahayakan dan seolah-olah melegitimasi setiap kebijakan PBNU yang melenceng.
Wallahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah, 10 Juni 2025, 22.37 WIB