Akan banyak aral menghadang dalam mencari dan menemukan kebenaran. Itu pasti. Dan itulah ujian hari-hari berbareng dengan dengus nafas. Berbarengan dengan denyut jantung. Kerenteg hati. Sebab, menusia memiliki kecenderungan atau karakter ambisius, maka bisa saja hati dan telinga terkunci mati, serta mata pun tertutup dalam membaca yang benar. Lalu manusia menjadi sesat.
Memang, ambisius itu membutakan wawasan manusia. Ambisius itu menghalangi kebenaran. Dapat menyesatkan diri maupun orang lain. Boleh jadi, ambisius ini muncul ke permukaan sebagai ulah menyimpang, terutama berasal dari manusia yang merasa super dalam ilmu atau kekayaan atau jasa. Sudah tentu, dengan meremehkan yang lain. Bahwa orang lain itu inferior atau sepele, kurang berarti.
Dengan sikap ambisiusnya inilah maka harga dirinyalah yang serba benar. Lainnya serba salah. Akhirnya ambisius ini bagaikan bius. Bius yang membahayakan dari orang yang ambisius. Dari orang-orang yang mengaku super. Juga dari orang-orang yang mengkompensir keremehan atau kesepelean (inferioritas) dirinya alias inferiority complex.
Cinta, benci, dan prasangka buta atau tak beralasan pun dapat menghalangi pandangan mata manusia. Cinta, terutama cinta buta akan mendorong pandangan dengan mata yang senang. Cara mata memandang seperti itu, akan menutupi kesalahan dari sesuatu yang dicintai secara buta. Semuanya, dari ujung kaki hingga ke ujung rambut kepalanya dapat pujian. Tingkah ulahnya serba dibenarkan.
Maka terucaplah secara spontan: “di wajahmu terlihat rembulan”, “bola matamu menembus dadaku”, dan berbagai jalinan kata gombal lainnya. Cinta buta ini sering meracuni hati remaja dan mahasiswa/i. Suka-sukanya menyerang remako (remaja kontemporer, red) saja. Dan umum terjadi ketika manusia mengkultusindividukan sang boss, sang idola, atau sang pemimpin yang sedang dijagokan. Maka boleh jadi manusia lalu menjadi tersesat. Dan menyesatkan Sang Idolanya.
Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata: “Seorang pecinta itu buta dan sakit hatinya, maka ia hadapi kebenaran dengan pandangan tidak sehat dan dengan telinganya yang tuli”. Dan hati itu pun dapat menjadi buta terhadap yang tidak disukainya. Begitulah yang terjadi pada diri manusia. Ketika manusia bersikap benci buta atau berprasangka buruk tanpa alasan. Lalu mengambil tindakan bermusuhan. Orang yang dimusuhinya diserbasalahkan. Memang, pandangan bermusuhan itu akan membuka seluruh kejelekan lawannya. Keluarlah kata-kata caci maki. Tak pelak lagi, benci buta dikatagorikan sebagai penyakit hati.
Kalau tidak salah, umpatan dan cacian gombal orang-orang yang benci buta itu dapat diobati dan disembuhkan oleh shallatullail atau tahajud. Dengan tazkiyatul qulub. Sehingga, ketidakmampuan dirinya itu tidak dikompensir dengan mencaci orang yang dibencinya. Semoga tidak ada orang-orang yang cinta/benci buta di kalangan umat. Juga tidak boleh hadir di rumah kita, karena itu bius alias racun yang berbahaya bagaikan kanker sumsum tulang.
Hemat penulis pikir, anda boleh juga berpikir, barangkali benar (atau salah), sifat ambisius dan cinta/benci butalah yang kemudian menyebabkan manusia terkadang atau sering bersikap angkuh/pongah/takabur. Terkadang hemat penulis sering bertaklid buta pada pendapat nenek moyang yang punya otoritas kekuasaan atau gelar-gelar. Acapkali mengambil keputusan secara tergesa-gesa. Padahal, ketergesaan itu syetan (Hadits Nabi SAW). Ketergesaan akan menghalangi manusia untuk sampai kepada kebenaran dan kejujuran. Dan syetan yang berupa ketergesaan itu harus segera kita usir dan musnahkan. Jika perlu, kita lempari syetan itu dengan batu katapel, sebagaimana cara Nabi Ibrahim AS mengusir iblis. Atau cara pemuda Palestina mengusir pasukan bermesiu Israel yang jahanam itu.
Lalu apa yang hendak manusia lakukan, andai menjumpai ulah yang menyimpang dari kita sendiri, atau dari orang-orang yang ambisius, cinta/benci buta? Jika begitu tidak usahlah kita bersami’na wa atha’na. Cuek sajalah. Atau kita lempari mereka dengan batu? Tapi barangkali penting adalah andai kita mulai membangun sikap kritis, keterbukaan, dan pembaharuan. Semacam perestroika dan glasnot-nya Cecep Gorbachev yang kondang itu.
Kepada bangsaku, aku mengajak sikap semacam itu, agar mereka tidak menjadi semacam patung bernyawa. Yang menghabiskan nasi dan fasilitas secara percuma. Agar mereka tidak sekali-kali melakukan konfirmasi dan penolakan tak beralasan. Yang ABEES (Asal Bapak Senang). Agar mereka tidak begitu saja membenarkan atau menyalahkan sampai mereka mengetahui lebih dahulu persoalannya. Dan agar mereka tidak mengiyakan atau menolak/menidakkan apapun yang tidak/belum mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (Qs. 17: 36).
Singkatnya, terhadap yang tidak dan belum kita ketahui maka sikap kita adalah tak usah sami’na wa atha’na, atau sami’na wa ashaina. Tak usah serba membenarkan atau serba menyalahkan. Sebaiknya diam tetapi renungkanlah pesan Ibn Sina: “Jangan sampai anda percaya bahwa penolakan adalah tanda kepandaian atau kekasaran yang menjijikkan, karena ia adalah tanda ketololan dan kelemahan.”
Menolak apa yang tidak jelas bagi kalian tidak kurang bodoh dan mengiyakan apa yang tidak terbukti bagi kalian juga tidak kurang tolol. Kalau kalian mendengar sesuatu yang aneh, kalian harus memperhatikannya, kecuali kalau kalian punya bukti akan kemustahilan hal tersebut. Lebih baik jika kalian menganggap masalah-masalah seperti itu hanya memungkinkan sepanjang mereka tidak pernah ditolak oleh bukti-bukti yang kuat.
Memang, tak salah bahwa dari cinta datanglah benci. Mencintai Allah berarti harus membenci pesaing-pesaing Allah. Cinta ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, implikasinya adalah membenci Keuangan Yang Maha Esa. Merindukan kebenaran berdampak membenci kepalsuan dan kesalahan, juga ketidakpedulian untuk mencari kebenaran. Imam al Ghazali dalam buku monumentalnya Ihya’ Ulum al diin, berpesan kepadaku dan kita semua: “Hati manusia itu menyerupai sebuah kaca cermin yang memantulkan dengan baik gambar-bambar yang jelas ketika cermin itu disinari dan dibersihkan. Hati manusia juga menjadi lebih mengkilap dengan kualitas-kualitas mulianya dan akan memantulkan kebenaran dan realitas dengan baik dan lebih baik. Tetapi ketika ia dipengaruhi oleh kualitas jahat seperti debu yang menutupi cermin, ia tidak menyingkap realitas-realitas”.
Untuk alasan yang sama, ‘tidak mendengar’ memiliki kaitan dengan dikuncinya hati dalam hubungannya dengan perilaku-perilaku yang salah sebagaimana firman Allah: “Kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar”. (Qs. 7: 100). Dan memang, seketika aku berfikir bahwa sesuatu itu tidak dapat dirasakan kecuali dengan indera-indera. Aku nasihatkan pada anda bahwa indera-indera itu tidak dapat langsung menunjukkan kepada anda obyek-obyek, dan kita tidak dapat mengetahuinya kecuali dengan hati, karena itu hati lah yang mengarahkan indera-obyek yang (secara salah) anda klaim tidak dapat diketahui oleh hati tetapi lewat indera. Hati berefleksi dengan akal yang kita miliki. Hatiku adalah pengatur tubuhku.
Tubuhku mendengar dan melihat dengan hati. Hatiku adalah hakim dan tubuh sekaligus. Bila hati menangguhkan, tubuh tak dapat berlanjut. Bila hati berlanjut, maka tubuh pun tidak bisa berhenti. Wahai kawan sebangsa seiman, indera kita mendengar dan melihat dengan hati kita. Jika ia memerintah, indera-indera akan taat. Jika hati kita menghalanginya, mereka akan berhenti. Kebahagiaan dan kesedihan juga menimpa lewat hati. Dan menjadikannya tahan menderita. Jika indera kita menjadi lemah dan rusak, maka hati kitalah yang akan melanjutkan meneruskan fungsinya. Tapi dengan rusaknya hati kita, seluruh indera akan lenyap. Kita tidak akan melihat, juga tidak akan mendengar apa yang harus kita kerjakan sekarang. Segera bersihkan hati dari serba benar dan serba salah. Wallahu ‘alam bi al shawwab