Nasih meyakini bahwa ‘sunnatullah’ itu ada. Barang siapa yang mengeluarkan uang atau barang apa pun di jalan Allah, akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat bahkan beribu-ribu kali lipat oleh Allah Swt sang pemilik alam raya ini. Keyakinan ini terinspirasi dari kata Arab “muflihuun,” yang artinya orang-orang yang beruntung. Orang-orang yang mendapat anugerah kenikmatan dari Allah Swt dikatakan beruntung, karena apa yang diusahakan tidak sepadan dengan imbalan yang didapatkannya.
Iman dan amal yang tidak dapat dipisahkan, membuat keyakinan Nasih memiliki konsekuensi logis. Keyakinan tersebut dipraktekkan Nasih dalam kehidupan sehari-harinya. Nasih menyumbangkan uangnya untuk melakukan kaderisasi. Pondok Perkaderan Monash Institute adalah salah satu tempat kekayaan Nasih dikeluarkan.
Awalnya, di tahun 2011, tempat perkaderan ini masih menyewa beberapa kontrakan di daerah Ngaliyan, Semarang. Hingga akhirnya, Monash Institute memiliki gedung tinggi berlantai 3 yang sering disebutnya sebagai ‘Monash Tower’ dan beberapa gedung lainnya. Gedung-gedung itu ditempati oleh para mahasiswa yang dinyatakan lolos seleksi sebagai disciples secara gratis.
Tidak hanya itu, Nasih juga memberikan beasiswa kepada disciples yang berprestasi. Semua itu dilakukan Nasih secara mandiri tanpa meminta bantuan kepada orang lain. Nasih sangat “anti dengan proposal’. Selama perjuangannya sampai saat ini, Nasih tidak pernah mengajukan proposal kepada pemerintah atau instansi lainnya.
Cerita di atas adalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti yang pernah Nasih rasakan. Dari pengalamannya itulah, Nasih menjadi semakin yakin bahwa semakin banyak uang atau hal lain yang dikeluarkan oleh seseorang di jalan Allah, maka orang tersebut akan mendapat imbalan yang berlipat-lipat.
Sebagai orang yang hapal dan paham al-Qur’an, Nasih Nasih memegang teguh janji oleh Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Di dalam surah tersebut, sudah dipaparkan secara jelas bahwa orang yang ikhlas mendermakan hartanya atau apapun yang dimilikinya akan mendapat ganjaran yang berganda dan tidak terhitung jumlahnya.
“Kekayaan sejatinya bukan dari seberapa banyak uang yang kita kumpulkan dan pamerkan kepada orang lain, tetapi kekayaan yang hakiki berada pada seberapa banyak uang yang mampu kita sumbangsihkan untuk orang lain (Dr. Mohammad Nasih, M. Si).”
“Kekayaan bukanlah tentang seberapa banyak harta yang kita kumpulkan.” Dalam kalimat ini, Nasih menjelaskan bahwa seberapa banyak harta yang dimiliki oleh seseorang, jika hanya ditumpuk, dipamerkan, tanpa diinvestasikan ke jalan yang benar, maka hartanya itu akan sia-sia belaka dan tidak akan berkembang hartanya. Demikian juga sebaliknya.
Ungkapan selanjutnya, “Akan tetapi kekayaan yang hakiki adalah kekayaan yang diinvestasikan ke jalan yang benar” menjelaskan tentang harta yang diinfakkan untuk perjuangan dalam rangka mencari keridhoan Allahlah yang akan mendapat balasan yang baik dan akan dilipatgandakan kebaikan-kebaikan itu.
Kaya untuk miskin menggambarkan bahwa seseorang sudah tidak membutuhkan uang sebagai suatu hal yang penting bagi hidupnya. Nasih mengartikan kaya yang bahasa arab ‘ghoniyyun’ dengan ‘laa haajata (tidak butuh)’. Dengan kata lain, orang yang hartanya melimpah ruah tetapi masih merasa butuh, maka dia masih tetap saja dalam keadaan miskin.
Oleh: Lina Zuliani, Disciple 2016 Monash Institute. Kabid Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi HMI Komisariat Iqbal 2018-2019.