Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI
Monash Institute Semarang kami dirikan pada medio 2011 dengan jumlah awal mahasantri saat itu 25 orang. Desain Monash Institute adalah pesantren untuk mahasiswa dengan kurikulum lembaga perkaderan untuk melahirkan generasi berilmu, berharta, dan berkuasa. Karena itulah, di dalamnya, para mahasantri dibina secara keras dengan melakukan kajian super intensif terutama tafsir al-Qur’an, hadits, dan ilmu-ilmu sosial, pelatihan kewirausahaan, dan juga pelatihan kepemimpinan organisasi. Sejak awal masuk di Monash Institute, para mahasantri wajib mengikuti Basic Training (LK I) HMI. Dengan posisi nyaris menempel dengan kampus UIN Walisongo Semarang, setiap tahun ajaran baru, selalu ada kader baru yang masuk. Mayoritas adalah mahasiswa baru. Kini tidak hanya mahasiswa UIN, tetapi juga berbagai perguruan tinggi yang lain, seperti Undip, Unissula, dan Unwahas, dari berbagai tingkatan ekonomi dan status sosial. Karena santri adalah mahasiswa, pengelolaannya bisa dikatakan gampang-gampang susah. Gampang karena mereka adalah manusia yang bisa dikatakan telah dewasa, sehingga relatif sudah mampu mandiri dalam belajar. Hanya perlu kerangka agenda dengan penekanan-penekanan khusus kepada kualitas-kualitas yang harus dimiliki oleh setiap santri. Namun, juga tidak mudah karena mereka harus menjalankan banyak agenda lain, baik di kampus maupun organisasi, ditambah dengan masalah-masalah lain yang datang dari berbagai penjuru, termasuk keluarga.
Sedangkan Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) kami dirikan pada 2019. Desain awalnya adalah lembaga pendidikan menengah, tepatnya SMP. Ini karena waktu itu senior saya yang juga Ketua KAHMI Rembang, Arif Budiman (alm.), ingin agar puteri sulungnya mendapatkan lingkungan yang sesuai untuk menghafalkan al-Qur’an dan tetap bisa menguasai sains dan teknologi. Dengan bahasa yang sering digunakan, bisa belajar ilmu umum dan sekaligus ilmu agama. Sebab, dengan sistem pendidikan yang ada saat ini, nyatanya, pada umumnya, hasilnya adalah yang menguasai agama tidak menguasai ilmu umum. Demikian sebaliknya. Saya menangkapnya karena saya pun sebenarnya membutuhkan lingkungan yang sama untuk anak-anak saya yang sudah mulai masuk SD. Tak lama lagi mereka akan membutuhkan sekolah lanjutan dengan lingkungan sebagaimana diinginkan Mas Arif itu. Saya juga memiliki “kepentingan” untuk menampung para mahasantri Monash Institute yang sudah lulus S1 dan sedang menempuh studi pascasarjana agar mereka bertahan tidak pulang kampung. Sebab, jika mereka pulang kampung, terutama yang perempuan, akan mengalami kendala tambahan dalam menyelesaikan studi mereka. Biasanya, mereka akan mendapatkan desakan dari orang tua untuk segera menikah, karena lulusan S1 sudah dianggap sebagai “perawan tua”. Desain awal ini kemudian berubah oleh keadaan di lapangan, karena di Planet NUFO kemudian masuk juga lulusan SMU untuk khusus menghafalkan al-Qur’an untuk kemudian baru melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tahun kedua masuk juga siswa-siswa SMU dan SD. Suasana di Planet NUFO menjadi makin dinamis. Santri yang masuk makin banyak. Dalam tahun ketiga, penghuni Planet NUFO sudah hampir mencapai angka 200 orang.
Keberadaan santri kecil (Sancil), santri remaja (Sanja), dan santri dewasa (Sande) memungkinkan untuk dibentuk sistem mentoring; yang senior mengajari yang lebih yunior, walaupun dalam praktek juga ada yunior mengajari yang senior. Prinsipnya kemudian agak bergeser menjadi “santri yang sudah bisa, mengajari yang belum bisa”. Keberadaan puluhan guru dan mentor yang ada di dalamnya, memungkinkan untuk diselenggarakan kajian super intensif yang terjadwal, di luar agenda sekolah, mulai pagi hingga pagi kembali karena mereka bergantian setiap sejam sekali. Karena itu, para santri memiliki kesempatan yang sangat fleksibel untuk belajar dan memilih mentor yang cocok.
Kedua lembaga pendidikan ini, bagi saya, kemudian juga bertransformasi menjadi semacam laboratorium. Di dalamnya, secara langsung dan tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja, saya melakukan berbagai eksperimentasi. Dari keduanya saya mendapatkan berbagai temuan yang sebagiannya tidak pernah terlintas dalam pikiran. Temuan-temuan itulah yang kemudian membuat saya melakukan berbagai perubahan yang bertujuan untuk membuat capaian kepada tujuan menjadi lebih dekat atau optimal.
Dari Monash Institute, saya menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan:
Pertama, metodologi menghafalkan al-Qur’an. Pada tahun pertama Monash Institute beroperasi, saya belum mewajibkan mahasantri menghafalkan al-Qur’an. Sebab, saya khawatir, jika saya wajibkan akan banyak yang keberatan, kemudian justru malah keluar. Padahal saya masih dalam fase penguatan lembaga. Hanya saja, selalu saya ulang dalam kajian tafsir setelah shubuh dan maghrib, bahwa untuk menjadi ilmuan muslim yang sesungguhnya, hafal al-Qur’an adalah sebuah keniscayaan. Sebab, al-Qur’an berisi tentang paradigma Islam secara komprehensif. Pada tahun kedua, penekanan tentang pentingnya menghafalkan al-Qur’an saya perkuat. Karena itu, mulai ada beberapa santri yang tertarik menghafalkan al-Qur’an. Karena saya merasa Monash Institute sudah makin kokoh, suasana sudah dinamis dan menarik, pada tahun ketiga saya mewajibkan para mahasantri untuk menghafalkan al-Qur’an. Mereka yang hafal al-Qur’an, bahkan memiliki hafalan beberapa juz saja, saya terima tanpa seleksi, bahkan tanpa test hafalan sekalipun. Pikiran saya sederhana saja, tidak mungkin penghafal al-Qur’an melakukan kebohongan. Namun, setelah proses setoran hafalan berjalan, baru ketahuan bahwa ternyata sebagian besar yang mendaftar melalui jalur tahfidh kehilangan hafalan. Dan awalnya mereka tidak sadar bahwa mereka telah kehilangan hafalan.
Selain itu, setelah lebih dari setahun program menghafal di Monash Institute berjalan, secara umum capaian mereka tidak optimal. Selama tiga tahun hanya rata-rata 13 juz saja dan capaian tertinggi hanya 23 juz. Bagi orang yang tidak pernah menjalani proses menghafalkan al-Qur’an, ini sudah dianggap sebagai capaian yang spektakuler. Namun, karena saya pernah menjalaninya, menurut saya ini mengandung masalah serius. Sebab, jika dalam waktu tiga tahun hanya mencapai 13 juz, maka untuk menghafalkan 30 juz diperlukan waktu 6 tahun. Dalam pikiran saya, ini akan menyebabkan potensi kegagalan yang sangat besar. Saya berpikir keras tentang penyebab proses menghafal mereka sangat lambat. Melalui berbagai kejadian, saya menemukan di antara penyebabnya adalah mereka menghafal tanpa terlebih dahulu mengetahui maknanya dengan baik. Melalui berbagai uji coba, saya menemukan bahwa menghafal kalimat yang diketahui artinya, lebih mudah. Sebaliknya, tingkat kesulitan menghafal kalimat yang tidak diketahui artinya bisa sampai 7 kali lipat. Jika saya dulu menghafal al-Qur’an selama 1,5 tahun, maka para mahasantri yang tidak memahami artinya akan memerlukan waktu 10,5 tahun. Itu pun jika mereka mampu bertahan melakukan muraja’ah secara konsisten dengan beban 7 kali lipat. Padahal, dalam kalkulasi saya, itu tidak mungkin. Kalkulasi sederhananya, jika para calon penghafal al-Qur’ah harus muraja’ah minimal 6 juz per hari sebagaimana saya lakukan, maka mereka akan membutuhkan waktu 3 jam, dengan asumsi waktu muraja’ah per juz adalah 30 menit. Dan jika 3 jam itu dikalikan 7 maka akan menjadi 21 jam. Dalam sehari mereka harus mengalokasikan waktu 21 jam. Tentu saja ini tidak mungkin. Inilah yang dalam asumsi saya akan menyebabkan potensi kegagalan dalam menghafalkan al-Qur’an total 30 juz. Karena itulah, saya kemudian mewajibkan para calon penghafal al-Qur’an untuk terlebih dahulu mampu mengi’rab al-Qur’an agar mampu memaknainya, setidaknya secara literal.
Dari sinilah pula, saya menemukan 7 anak tangga kewajiban setiap muslim kepada al-Qur’an, yang itu sama artinya dengaan hak al-Qur’an atas kita, yaitu: membaca, mengartikan (literal), menghafalkan, merenungkan, mengerjakan, mengajarkan, dan memperjuangkannya. Tujuh anak tangga inilah yang kemudian menjadi salah satu missi para santri di Monash Institute dan Planet NUFO. Dan karena masalah mayoritas penghafal adalah hanya kejar setoran saja, maka saya mewajibkan mereka untuk memastikan hafal dengan baik. Caranya, setoran hafalan kepada saya harus minimal 1 juz sekali duduk. Sebelum menyetor hafalan kepada saya, santri penghafal harus sudah disimak oleh teman sesama penghafal dan mentor dengan kesalahan maksimal 20 kali. Ini karena satu juz terdiri atas 20 halaman mushaf sudut. Dengan kata lain, para penghafal saya beri kesempatan salah, paling banyak sekali saja pada setiap satu halaman. Dan kalau kesalahan melebihi jumlah halaman yang sedang disetorkan, maka setoran akan saya hentikan dan harus kembali mengulang. Karena itulah, setiap sebelum mereka menyetorkan hafalan minimal 1 juz itu, saya selalu bertanya: “Sudah disimak siapa saja, dan salah berapa kali?”. Jika sudah memenuhi kualifikasi untuk setoran, baru saya bersedia untuk menyimak. Dengan cara ini, kualitas hafalan santri menjadi jauh lebih baik. Kualitas hafalan benar-benar terukur dengan jumlah kesalahan maksimal per juz bisa disebutkan dengan jelas.
Kedua, pemahaman kepada teks, terutama al-Qur’an. Teks al-Qur’an berbentuk puisi berkualitas tinggi tanpa ada yang menandingi. Ini memang berkaitan dengan konteks sosio-historis saat al-Qur’an diturunkan, yakni masyarakat yang sangat memuja para pujangga karena karyanya yang sangat indah. Al-Qur’an diberikan Allah kepada Nabi Muhammad sebagai mu’jizat (yang menundukkan, mengalahkan) para pujangga hebat itu. Karena itu, untuk bisa memahami al-Qur’an, diperlukan tidak hanya pengetahuan tentang makna kata, tetapi juga logika, dan rasa bahasa. Kekuatan logika diperlukan karena banyak sekali ayat al-Qur’an yang berkaitan antara satu dengan yang lain, bukan hanya dalam bentuk korelasi antara satu ayat yang sebelum dan sesudah, tetapi juga terdapat banyak interkoneksi antara ayat-ayat yang letaknya bahkan di surat yang berjauhan. Ayat-ayat tersebut seringkali merupakan premis-premis, baik minor maupun mayor yang darinya bisa diambil simpulan. Juga banyak ayat yang dari pernyataan di dalamnya harus diambil mafhum mukhalafah atau muwaafaqahnya. Sedangkan rasa bahasa diperlukan untuk menangkap ungkapan-ungkapan indah yang ada di dalamnya. Kalimat-kalimat dalam bentuk ungkapan ini tidak bisa dipahami dengan logika formal belaka. Misalnya, banyak sekali yang gagal memahami ayat yang menyatakan bahwa “kehidupan dunia ini hanyalah sendagurau dan permainan”, sehingga kemudian justru melahirkan pemahaman bahwa dunia ini harus ditinggalkan. Padahal, mestinya justru harus ditundukkan. Maka ketiganya harus digunakan secara bersamaan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan komprehensif. Tiga hal itulah yang akan menentukan seorang santri memiliki salah satu kualifikasi sebagai ulama’ atau tidak. Jika tidak memiliki ketiganya, tentu saja akan sulit memahami al-Qur’an secara benar. Dan secara faktual memang tidak banyak yang memiliki ketiganya secara sekaligus. Untuk memilikinya, diperlukan upaya-upaya khusus dengan cara belajar super keras. Dan inilah yang membedakan antara ulama’ dan bukan. Saya sering menjelaskannya secara sederhana dalam kalimat: “Banyak yang bisa berbahasa Arab, tetapi hanya sedikit yang bisa menangkap pesan al-Qur’an dan memenuhi kualifikasi sebagai ulama’”. Karena persoalan logika dan rasa bahasa ini, saya sering memberikan contoh, di antaranya: banyak tenaga kerja di Indonesia yang bekerja di Arab Saudi dan bisa berbahasa Arab, tetapi bisa dikatakan bahwa tidak ada yang pulang kampung kemudian jadi ulama’.
Ketiga, daya serap kajian massal. Pengajian di pesantren dan majelis-majelis yang disebut sebagai majelis ta’lim atau majelis ilmu, umumnya dilakukan secara massal. Ustadz, kiai, atau sebutan lain sejenisnya, menyampaikan apa yang mereka pahami. Para murid atau santri hanya mencatatnya, bahkan sebagian besar hanya mendengarkannya. Di kalangan pesantren, model pengajian ini disebut dengan Jiping, alias ngaji nguping. Cara penyampaian ilmu dengan cara ini sesungguhnya sangat tidak efisien, bahkan bisa dikatakan tidak efektif. Sebab, daya serap murid sangat rendah, tidak lebih dari 2 persen saja. Itu pun oleh murid yang telah memiliki ilmu alat yang cukup. Itulah yang menyebabkan banyak kajian keislaman di mana-mana, termasuk sekarang di berbagai channel youtube, tetapi dari majelis-majelis itu tidak muncul santri dengan kualitas yang mumpuni. Dari pengalaman ini, saya kemudian membalik cara mengajar dari yang semula saya yang membaca teks dan disusul dengan menjelaskannya, menjadi beberapa murid membaca lengkap dengan artinya per kata dan saya mengoreksinya, dilanjutkan dengan mengajukan pokok permasalah yang ditemukan, atau pertanyaan yang mereka belum mampu menemukan jawabannya secara meyakinkan. Dari sinilah kemudian selalu muncul diskusi atau kajian yang dinamis. Proses kajian terjadi tidak hanya satu arah saja, tetapi berlaku tanya jawab dan juga diskusi. Cara pandang lama di pesantren bahwa bertanya atau berdiskusi dengan ustadz adalah adab yang buruk saya balik. Hubungan saya dengan mahasantri seperti hubungan mahasiswa di kampus. Tidak ada ruang feudalisme di Monash Institute dan juga di Planet NUFO.
Keempat, daya tahan untuk konsisten menjalani proses menjadi pengusaha masih sangat lemah. Sejak awal mendirikan Monash Institute, saya menggabungkan pandangan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan Ali Syari’ati. Al-Jilani mengatakan bahwa syarat menjadi seorang mursyid adalah memiliki tiga kualitas, yaitu: ilm al-ulama’ (ilmu), hikmat al-hukama’ (kebijaksanaan), dan siyasat al-muluk (kemampuan politik). Sedangkan Syari’ati mengatakan ada tiga prasyarat untuk melakukan revolusi, yaitu: raushan fikr (intelektual yang tercerahkan), bazari (pedagang/pengusaha, uang), dan asykari (tentara). Dari kedua pemikir Sunni dan Syi’ah ini, karena saya termasuk yang prihatin dengan sekat-sekat madzhab, saya membangun semacam trilogi kualitas insan cita, yaitu: berilmu, berharta, dan berkuasa. Untuk menguasai ilmu dan memenuhi kualifikasi sebagai seorang ilmuan muslim, maka, sekali lagi, jalan utama yang harus ditempuh adalah menghafalkan al-Qur’an. Untuk melakukan ini, cukup banyak yang mau menjalaninya. Namun, tidak banyak yang mau menekuni dengan sabar dan secara konsisten jalan untuk menjadi pengusaha yang sukses. Dalam hal ini, saya memiliki pengalaman dengan Mas Soetrisno Bachir pada tahun 2012. Suatu ketika, Mas Tris, panggilan akrabnya, berkunjung ke Monash Institute yang saat itu masih bermarkas di sebuah rumah kontrakan di seberang kampus III UIN Walisongo. Setelah berdiskusi dengan para mahasantri angkatan pertama dan kedua yang waktu itu berjumlah 70-an orang, saya mengantarnya kembali ke Hotel Patra Jasa. Di tengah perjalanan, Mas Tris mengatakan bahwa jika saya bisa membina para mahasantri untuk menjadi pengusaha, minimal 5 persen saja, maka itu akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Saya sempat kaget dengan pernyataan Mas Tris dan karena itu menyanggahnya. Saya menyatakan kepadanya bahwa angka yang disebutnya itu terlalu kecil. Mas Tris saat itu menyatakan bahwa 5 persen itu sudah bagus. Dan ternyata Mas Tris yang benar. Ternyata jumlah santri yang memiliki daya tahan untuk membangun usaha secara konsisten sampai benar-benar menjadi pengusaha sukses bahkan belum sampai 5 persen. Sedangkan yang menjadi dosen sudah lebih dari 60 persen. Ini membuat saya kemudian mencari apa sesungguhnya faktor penyebabnya? Dugaan sementara, di dalam alam bawah sadar mereka sudah terlanjur mengendap pandangana bahwa jika belajar agama dengan baik, maka kehidupan dunia akan diatur oleh Allah. Ini yang menyebabkan mereka, sadar atau tidak, menjadi relatif fatalistik. Karena itulah, saya kemudian mulai lebih menekankan agar kemampuan menjadi pengusaha ditingkatkan. Saya sering mengutip idea Plato dan materialisme historisnya Karl Marx dan memberikan simpulan bahwa logika tanpa logistik akan macet. Ide yang tidak ditopang materi, akan menjadi utopia. Saya menekankan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah sosok paripurna dalam masalah ini, karena sebelum menyampaikan ide dalam dakwahnya, sudah menjadi seorang fund manager andal dan menikah dengan perempuan dengan kekayaan 2/3 kekayaan Makkah. Tidak cukup hanya dengan berdo’a (shalat), tetapi juga harus bekerja keras dan cerdas.
Sedangkan di Planet NUFO, saya menemukan:
Kelima, jawaban mengapa rata-rata santri tidak memiliki spirit wirausaha. Di Planet NUFO saya mendapatkan jawaban tentang penyebab para santri tidak menunjukkan kesabaran untuk menekuni dunia wirausaha. Setiap selesai shalat, biasanya saya memberikan perspektif singkat kepada para santri. Di pagi hari, setelah memberikan perspektif itu, saya langsung buka baju dan tinggal menggunakan kaos oblong yang saya gunakan sebagai kaos dalam. Saya lalu memotong dahan-dahan pohon yang saya anggap harus dibersihkan di lingkungan Planet NUFO dan saya berikan kepada domba dan kambing di NUFO Farm. Rupanya para santri remaja memperhatikan apa yang saya lakukan dan membantu saya tanpa harus diperintahkan. Dan itu terjadi terus menerus sampai sebagian mereka ingin menjadi pemelihara domba. Dari sini saya mengambil simpulan bahwa para santri mengambil pemahaman sederhana dari apa yang mereka lihat. Dan karena mereka menganggap bahwa ustadz, kiai, dan guru adalah sosok ideal yang harus menjadi panutan mereka, maka mereka mau mengikuti apa pun yang dilakukan. Sederhananya, jika ingin pintar seperti guru, lakukan yang dilakukan guru. Apa itu? Belajar. Jika ingin kaya sebagaimana para ustadz kaya, maka lakukan yang dilakukan oleh guru. Apa itu? Ini yang menjadi masalah. Jika mereka melihat bahwa ustadz hanya mengandalkan amplop dari bisyarah ceramah atau salam temple umat, maka mereka juga akan mengimajinasikannya. Berbeda jika mereka melihat ustadz memiliki usaha konkret yang menghasilkan uang, maka mereka juga akan melakukannya. Di sinilah letak persoalannya. Ditambah lagi dengan masalah sosiologis.
Keenam, hanya sedikit saja yang meningkat status menjadi ustadz atau apalagi kiai. Ini sangat berkaitan dengan point kelima. Jika santri berimajinasi bahwa mereka akan mendapatkan salam tempel, ini sangat berbahaya bagi masa depan mereka. Ini bukan hanya masalah ideologis teologis, tetapi juga sosiologis. Di dalam masyarakat sudah ada penguasa-penguasa berbasis agama yang juga akan mempertahankan kekuasaannya. Anthonio Gramcy menyebut ini sebagai kekuasaan kultural. Nah, santri yang sudah selesai belajar di pesantren dan pulang kampung, walau pintar sekalipun, akan berhadapan dengan status quo. Mereka tidak akan langsung mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Sebab, mereka masih berada dalam pengaruh status quo. Santri yang baru pulang kampung belum bisa memiliki tempat sampai dia benar-benar mampu membangun kepercayaan masyarakat. Masa menunggu yang lama adalah persoalan serius karena dia harus memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan hidup ini tidak tercukupi, dan kehidupannya menjadi sulit, maka orang akan makin tidak percaya. Ia akan mengalami kegagalan. Untuk bisa bertahan, maka seorang santri memerlukan ketrampilan berwirausaha, agar bisa mengajar dengan tanpa berharap imbalan. Dan apa pun yang dikatakan oleh masyarakat tentangnya, ia akan tetap bisa bertahan dalam perjuangan dakwah, tidak berhenti karena khawatir tidak mendapatkan dukungan. Inilah yang akan membuat santri bisa tampil menjadi “penguasa baru” dengan gagasan baru yang lebih segar.
Berbagai temuan itulah yang membuat saya menjadi semakin bersemangat membina kader-kader belia di Planet NUFO dengan harapan mereka akan menjadi kader-kader yang lebih siap, karena telah mendapatkan pembinaan sejak dini secara lebih komprehensif. Dari sinilah saya berharap akan lahir kader-kader muslim dengan kualitas yang lengkap, dimulai dengan kemandirian secara intelektual dan finansial. Wallahu a’lam bi al-shawab.