Oleh: Debbie Affianty, Direktur Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Sore itu dua orang siswa SMP Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon), Mlagen, Rembang, tampak sibuk berlatih di atas sebuah kapal kayu di halaman depan pesantren. Mereka sedang membuat konten untuk youtube channel Planet NUFO. “Anggap aja gak ada kamera ini dan gak ada orang-orang yang ngeliatin kamu,” kata Wildan, siswa kelas 9 yang sedang menyemangati rekannya, Lia, yang bertugas menjadi host. Agar terlihat lebih segar, Lia kemudian memetik dan meremas sebuah daun jati yang menjuntai di atas kepalanya. Dia kemudian mengusapkannya tipis-tipis di atas bibirnya. “Biasa seperti ini, bu, tidak perlu lipstick,” kata Lia sambil tertawa ringan. Saya yang baru datang pertama kali ke Planet NUFO saat itu cukup takjub juga melihat hasilnya.

Setelah beberapa kali mengulang proses rekaman, Lia pun berhasil menjalankan tugasnya untuk membuka perbincangan. “Assalamu’alaikum, hallo teman-teman, selamat datang di Planet NUFO. Hari ini Planet NUFO kedatangan tamu loh, teman-teman. Beliau adalah teman dari Abah Nasih dan pernah menempuh pendidikan di dua negara. Penasaran dengan perjuangan beliau menempuh pendidikan di luar negeri? Kita tanya-tanya yuk…,” kurang lebih seperti itulah Lia memulai bagian pembukaan untuk kontennya. Saya yang diminta kedua siswa itu untuk menjadi bintang tamu, langsung merespon tiga pertanyaan kunci dari Lia. Pertanyaan pertama terkait dengan mengapa saya lebih tertarik menempuh studi lanjut di luar negeri. Pertanyaan kedua lebih mengarah kepada persiapan apa saja yang diperlukan untuk studi di luar negeri. Pertanyaan terakhir mencoba menggali tips and tricks ketika mengalami hambatan ketika studi di luar negeri, termasuk ketika merasa homesick (kangen) dengan keluarga di tanah air. “Planet NUFO… different and the best. Cerdas, kaya, berkuasa. See you, Assalamu’alaikum,” ujar Lia mengakhiri proses rekaman yang berlangsung sejak selesai shalat Ashar berjama’ah dan berakhir  sekitar pukul 5 sore.  (Untuk lebih detilnya silahkan cek di youtube channelnya Planet NUFO, ya…) https://www.youtube.com/watch?v=A9wZAkS9DtM.

Baca Juga  Planet NUFO dan Visi Integrasi

Saya sangat senang sekali melihat semangat dua Sanja (santri remaja) ini    dalam mengembangkan kemampuan mereka untuk menggunakan media sosial dengan cara yang positif. Dengan penuh percaya diri, keduanya menghampiri saya seusai shalat dhuhur berjamaah di Planet NUFO siang itu. Mereka meminta saya share pengalaman studi di luar negeri di channel youtube milik sekolah mereka. Kami sepakat rekaman akan dilakukan setelah shalat ‘ashr karena saat itu sedang hujan. Sambil menunggu hujan reda, kami pun melakukan bincang-bincang ringan. Siti Nafidzatun Naylia (Lia) yang berasal dari Pati sudah belajar di Planet NUFO selama 2,5 tahun. “Saya dulu cuma pengen tahu gimana sih rasanya mondok. Saya kan anak terakhir, ibu saya tidak mengijinkan kalau sekolah jauh-jauh. Kebetulan Paklik saya teman Abah dan menawarkan untuk sekolah di Planet Nufo. Sampe nangis-nangis pengen ke sini. Akhirnya ibu saya diyakinkan oleh Paklik saya. Sekarang beda, dulu gak ada bangunan-bangunan seperti ini. Dulu hanya ada rumah bambu, perpustakaan dan dua asrama. Ibu saya kaget, ini kog terlalu pelosok, nanti kalau kenapa-napa bagaimana. Akhirnya saya coba tinggal satu hari dulu, eh malah kerasan. Sampe, seminggu, dua minggu akhirnya keterusan,” kata Lia.

Sedangkan M. Wildan Mahdian Sodiqi (Wildan) yang berasal dari Kendal baru belajar selama 1,5 tahun di Planet NUFO. Awalnya Wildan sempat mondok di tempat lain ketika kelas 7. “Awalnya sempat ditawari untuk sekolah di sini tapi masih ragu. Terus pas pandemi semua santri dipulangkan. Semangat belajar saya semakin menurun. Ibu saya kakak kelasnya Abah ketika MA kemudian menganjurkan saya untuk sekolah di sini. Ternyata setelah sekolah di sini lebih dari ekspektasi yang saya bayangkan. Puas,” ujar Wildan.

Wildan dan Lia sangat terkesan dengan cara pembelajaran yang diterapkan di Planet NUFO. Pagi hari diawali dengan shalat tahajjud yang kemudian dilanjutkan dengan shalat shubuh berjamaah dan kajian. Lalu para santri mengaji dan menghafal al-Qur’an, mengikuti mata pelajaran wajib dan kelas-kelas peminatan seperti media dan komunikasi, videografi, IPA pengembangan, matematika pengembangan, menulis, bahasa asing (Inggris, Arab dan Mandarin), IPS, tari, musik (band), dan kaligrafi. Selain itu mereka juga belajar bertanggungjawab dengan adanya piket kebersihan, memelihara hewan pilihan dan tanaman. “Kangen orangtua terkadang terhapus dengan banyaknya agenda kegiatan,” kata Wildan yang bercita-cita menjadi content creator penghafal Qur’an.

Baca Juga  Planet NUFO, Integrasi, dan Reintegrasi

Namun ia mengaku terkadang suka susah membagi waktu antara kegiatan belajar dengan setoran hafalan. Hal yang sama juga dirasakan oleh Lia. “Di sini belajar bisa di mana saja, tidak terbatas di satu ruang kelas. Kita juga bebas menentukan peminatan kita,” ujar Lia yang bercita-cita ingin menjadi dokter dan fotografer yang penghafal Qur’an.

Rasa persaudaraan antara guru dengan siswa maupun antar siswa yang dibangun dalam sistem pendidikan di Planet NUFO juga membuat kedua Sanja tersebut merasakan hal yang berbeda dengan sistem pendidikan pada umumnya di Indonesia. “Pas pulang tiap semester justru saya malah gak kerasan di rumah. NUFO gimana ya sekarang, ya Allah kangen belajar bareng teman-teman. Di rumah gak punya teman. Pulang satu tahun sekali juga bagi saya gak masalah,” kata Lia. Wildan juga demikian, baginya, kedekatan antara murid dengan guru adalah yang hal yang paling penting. “Ini tidak seperti yang saya rasakan sebelumnya. Kalau dulu ada sekat, di sini saya bisa guyon, share, sampai kayak bapak sendiri. Teman-teman juga seperti saudara,” kata Wildan.

Ketika ditanya siapa tokoh panutan mereka, kedua Sanja tersebut menjawab serempak: “Abah Nasih”. Ada satu hal yang membuat Lia memiliki alasan yang kuat untuk itu. “Karena dia real”, kata Lia. “Kami melihat abah lebih beda. Kalau di pesantren lain kyainya lebih ditinggikan. Di sini kalau kamar Abah sedang dipakai tamu, Abah bisa tidur di mana saja. Bahkan di dalam mobil,” kata Lia. Wildan juga memiliki pandangan yang sama. “Biasanya kyai itu lebih dihormati, di sini juga lebih dihormati cuma kalo di sekolah lain kan ada doktrin yang mana adab itu di atas ilmu. Sedangkan di sini diajarkan oleh Abah Nasih sendiri ilmu itu fondasi. Apa-apa itu harus ada ilmunya baru kemudian bisa beradab. Bagi Lia dan Wildan, ada 10 ajaran Abah yang merupakan bekal mereka dalam hidup. Secara bersamaan mereka menyebutkan:  1) jujur; 2) disiplin keras; 3) pandai bergaul; 4) bekerja keras; 5) mencintai pekerjaan; 6) kemampuan memimpin; 7) bekerjasama, bersinergi, dan mampu berkompetisi; 8) hidup teratur; 9) pandai menjual ide; dan 10) pasangan hidup yang mendukung.

Baca Juga  MANAJEMEN NIAT DALAM BERKEHIDUPAN

Bertemu dua Sanja ini membuat saya sedikit merenung. Biasanya generasi milenial yang saya temui seringkali lebih mengutamakan pentingnya privacy dibandingkan kolektivitas. Ada hal-hal yang tidak bisa di-share, seperti berbagi kamar tidur dengan beberapa orang, makan dari satu tempat yang sama, ataupun berprestasi bersama-sama, sukses bersama. Saya juga dibesarkan di lingkungan yang kurang menyukai kolektivitas untuk hal-hal tertentu. Bagi saya private space sangat penting. Tapi kedua Sanja tersebut menyadarkan saya ternyata ada yang lebih penting dari sekedar diri sendiri. It’s brotherhood and sisterhood in Islam yang membuat kita lebih mempunyai empati, memprioritaskan kepentingan dan kebaikan orang lain, ketimbang diri sendiri. Nurul Furqon (NUFO) benar-benar memberikan cahaya pembeda bagi para penghuni Planet NUFO. Cahaya itu akan berpendar terus, tidak pernah padam karena para penghuninya saling berbagi cahaya satu sama lain.  Bagi para santri, Abah memang akan selalu menginspirasi mereka. Terimakasih Abah, telah mengijinkan dan memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk saya “mengalami” dan merasakan kehidupan di Planet NUFO, walaupun hanya dalam kurun waktu 24 jam. You have the light that shines upon your students and surroundings… Allah bless you.

Redaksi Baladena
Jalan Baru Membangun Bangsa Indonesia

Temuan-Temuan Saya di MIS dan Planet NUFO

Previous article

Basis Pendidikan Islam

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in MI