Bukan Sosok Durhaka

Pemuda adalah titik ukur kemajuan suatu bangsa. Pemuda juga merupakan aset yang sangat berharga bagi bangsa, karena di tangan merekalah masa depan sebuah bangsa akan ditentukan. Potensi-potensi yang ada padanya haruslah digali dan dikembangkan untuk melanjutkan cita-cita leluhurnya. Dalam al-Quran, tidak sedikit ayat-ayat yang mengandung isi tentang pemuda, seperti yang terdapat dalam surat ar-Rum ayat 54:

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْقَدِيرُ

“Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Menghendaki, Maha Kuasa.”

Dari ayat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada tiga masa kehidupan manusia, dimulai dari masa lemah (saat manusia masih kecil), masa kuat (saat berusia muda), dan masa lemah kembali (ketika sudah tua).

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Al-Qur’an menyebutkan bahwa masa muda adalah masa di saat manusia kuat. “Daya tahan tubuh juga berbeda dari daya tubuh orang tua. Saat masih muda, tenaga masih berlipat ganda dan semangat masih membara.” Begitulah kata doktor ilmu politik UI, Mohammad Nasih. Di usia mudanya hingga sekarang, ia telah menelan banyak pengalaman. Mulai dari saat pertama kali ia hidup di tanah perantauan, kota santri, Lasem. Saat ia masih nyantri di Pondok Pesantren Salaf Al-Nur, lalu melanjutkan studi di kota Semarang yang sangat membawa banyak perubahan, dan juga Jakarta saat ia menggeluti studi doktornya.

Mohammad Nasih mempunyai visi hidup yang sangat besar. Untuk mewujudkan visinya, ia mendirikan rumah perkaderan Monash Institute (nama Monash adalah kependekan dari Mohammad Nasih) yang diperuntukkan bagi pemuda yang telah lulus SMA atau sederajat, dengan visi membangun umat dan bangsa. Setelah kurang lebih sepuluh tahun berdiri, lembaga perkaderan ini berhasil mencetak kader menjadi dosen, pengusaha, dan lain-lain.

Nasih mengajar prodi Ilmu Politik di Universitas Indonesia dan Stebank. Ia menetap di Jakarta tiga sampai empat hari. Selain itu, ia kembali ke Semarang mengontrol rumah perkaderannya dan juga istri dan anaknya. Kegiatannya begitu terus. Di akhir pekan, tak lupa Nasih menyempatkan menengok ibunda tercinta di kampung halaman. Lalu, apakah Nasih memang sudah sejak dahulu demikian? Kita lihat saja.

Mengingat peristiwa sebelum Indonesia merdeka, peristiwa Rengasdengklok. Saat golongan tua (Soekarno dkk) diculik dan diasingkan ke Rengasdengklok oleh golongan pemuda yang disebabkan karena perbedaan rencana kemerdekaan yang dipercepat. Memang, jiwa muda semangatnya selalu membara. Namun orang tua tidak boleh diabaikan begitu saja. Tidak jarang pola pemikiran Nasih tidak sesuai dengan pola pikir ibundanya. Contoh saja “Kalau usaha jangan besar-besar, kalo rugi biar tidak besar” begitu kata sang ibunda. Namun, Nasih menganut doktrinasi dari sang ayahanda yang merupakan kebalikannya, “Kalau usaha sekalian yang besar, biar untungnya juga besar.”

Sejak 2008, rumah ibunda menjadi pondok pesantren dengan santriwati kurang dari sepuluh. Namun, seiring berjalannya waktu, santriwati semakin bertambah dan kemudian dipindahkan ke rumah adiknya, Laila yang berada di sebelah timur rumah ibunda. Sekitar empat tahun lalu, Nasih berinisiatif ingin merenofasi rumah bagian depan menjadi tempat untuk santri putra. Akan tetapi sang ibunda tidak menyetujuinya. Sengketa ini berlangsung cukup lama, hingga akhirnya hati ibunda luluh juga. Rumah bagian depan mulai dihancurkan dan disulap menjadi rumah kaca sebagai tempat santriwan menetap.

Dalam perjuangan, kita kan mendapat kendala dari berbagai penjuru, salah satunya keluarga. Nasih berkata: “Tiap dakwah kebenaran, akan selalu menghadapi Abu Lahab, Ummi Jamil, Abu Jahal, Abdullah bin Ubay, Musailamah al-Kadzab dan lain-lain. Abu Lahab dan Ummu Jamil simbol dari keluarga sendiri yang memusuhi karena pendukung dakwah atau ingin pihak lain yang menonjol. Abu Jahal simbol pemuka masyarakat yang sangat fanatik dan merasa pengaruhnya akan berkurang dengan adanya orang cerdas lain. Abdullah bin Ubay simbol orang yang mulutnya manis, tetapi sesungguhnya justru merongrong. Musailamah simbol orang yang gila pengaruh dalam masyarakatnya lalu menggunakan klaim religius. Ini terjadi dimana saja termasuk di kampung-kampung anda. Maka mandirilah secara intelektual dan finansial,”

Nasih, seorang anak yang mempunyai tekad kuat dan hebat, yang idenya selalu berbeda dan selalu mempunyai cara untuk membangun tekad pemuda dan meperjuangkan agama. Awalnya ide dan inisiatifnya selalu tidak disetujui oleh ibunda. Bahkan, terkadang menimbulkan sengketa yang lama. Tapi, setelah ibunda mengetahui dan merasakan manfaatnya, ibunda bangga pada Nasih, putranya. Berbeda pendapat dengan orang tua itu tidak apa-apa. Tetapi tetap jaga sikap. Tidak boleh durhaka.

Nasih membuktikan itu. Banyak orang kampungnya yang merasa aneh, karena Nasih yang dianggap sering berbeda dengan ibunya dan sering “diomelin”, tetapi tetap saja pulang bertemu dengan ibundanya. “Aku kok gumun, diuneni ibu terus, tapi kok yo muleh terus,” kata salah satu tetangga. Nasih hanya ingin membuktikan bahwa hubungannya dengan orang tua tidak penah rusak, hanya gara-gara berbeda pandangan.

Sebelumnya, Nasih dianggap “anak yang durhaka” oleh tetangganya meski hanya sebatas bercanda, karena sering terlibat debat dengan orang tua dan semasa mahasiswa jarang pulang. Namun, Nasih punya dalih sendiri, bahwa ia tidak pulang karena memang sedang fokus belajar. Memang benar, sekarang ia telah memetik hasilnya, ia sekarang hidup dalam kesuksesan meski tidak suka kemapanan. Ia selalu mencari tantangan-tantangan hidup yang baru. Meski hidup di Jakarta dan Semarang, ia bisa mengunjungi orang tuanya kapan saja yang ia mau.

Demikian pula, Nasih mewanti-wanti anak didiknya agar dalam menempuh jenjang pendidikan, mereka harus fokus, tidak boleh pulang-pulang. “Kalau kalian pulang-pulang, itu justru akan membuat waktu kalian terbuang begitu saja, yang mestinya bisa untuk belajar. Mumpung masih masa produktif,” katanya. Menurut Nasih, birru al-waladain bagi mahasiswa bukan dengan pulang-pulang untuk menemui keluarga, tetapi belajar sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan keluarga di masa depan.

Nasih membuktikan hal itu. Ia melihat senyum paling indah dari ibundanya di kala ia berhasil menyandang gelar doktor, yakni saat Ibundanya menghadiri promosi doktor di Universitas Indonesia pada 2010. Senyum yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Senyum yang sangat indah. Demikianlah, ia menceritakan bagaimana harus berbuat baik kepada orang tua. Ada saatnya, kapan harus ketemu, ada pula saatnya kita harus menahan untuk tidak bertemu terlebih dahulu dengan orang tua. Bukan karena tidak sayang, tetapi justru sangat sayang dengan maksud untuk membuat mereka bahagia di masa depan.

Dua tahun lalu, Nasih mengutarakan rencana untuk mendirikan sekolah alam Planet NUFO di kampungnya. Awalnya, ibunda tidak menyetujuinya. Karena sudah ada yayasan yang dahulu didirikan oleh ayah Nasih dan kawan-kawannya. Ibunya khawatir jika Nasih mendirikan sekolah baru di kampungnya, akan membuat perselisihan dengan kerabat ayahnya. Namun, tekad kuat Nasih untuk mendirikan sekolah tersebut tidak bisa diganggu gugat. Ia tetap mendirikan sekolah di atas tanahnya yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Dan seiring berjalannya waktu, sang ibu mulai bisa menerimanya.

“Buk, bagaiamana kalau tanah Ibu yang atas itu saya tukar dengan tanah saya yang lain? Ibu bebas memilih yang mana saja. Saya ingin memperluas area sekolah alam Planet NUFO, karena orang yang datang ingin menghafalkan al-Qur’an makin banyak,” pinta Nasih. Ibundanya menjawab, “Nek mok nggo, yo angger dinggo ae, (Kalau mau kamu pakai, silakan dipakai saja).”

Mohammad Nasih telah melakukan itu dan sekarang telah memetik hasilnya. Ibundanya sangat bangga padanya, meski tidak pernah ditampakkan kepada Nasih secara langsung. Tidak hanya mendukung secara lisan, Ibundanya juga turut mendukung dengan memberikan sebidang tanahnya, yang kebetulan bersebelahan dengan tanah anak keduanya, Nasih, itu. Saya adalah cucu Ibunda Nasih yang ikut menjadi saksi. Masyaa’a Allah.

Oleh: Fina Syifaurrahmah, Disciple 2018 Monash Institute, Sekretaris Umum HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang Periode 2019-2020.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *