Oleh: Prof. Dr. Sri Suhandjati Sukri, M.Ag., Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang
Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Secara naluri, sesungguhnya manusia sudah dibekali dengan kemampuan untuk menjadi pemimpin. Namun perlu pengetahuan dan pengalaman untuk menyempurnakan serta mengarahkannya ke jalan yang benar, agar kemampuan memimpin itu mendatangkan kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Adapun lingkup kepemimpinan berjenjang mulai dari rumah tangga, masyarakat sampai negara. Dari sejarah, dapat diketahui bahwa perempuan maupun laki laki, banyak yang berhasil menjadi pemimpin keluarga, bahkan sampai menjadi kepala negara yang mampu mensejahterakan rakyatnya.
Sebagian pemimpin belajar dari lingkungannya tentang cara memimpin orang lain. Namun untuk masa sekarang, belajar pengetahuan dan pengalaman untuk memimpin itu, kurang diperhatikan, sehingga banyak pemimpin “karbitan” yang dalam langkah kepemimpinannya sering bertolak belakang dengan prinsip kepemimpinan antara lain, tidak jujur, mementingkan diri sendiri dan keluarga atau kelompoknya. Semakin langkanya pemimpin yang amanah dan memperjuangkan kepentingan masyarakat ini, kiranya menjadi salah satu hal yang mendorong Abah Nasih mendirikan pesantren yang menjadi tempat santri belajar agama sekaligus belajar menjadi pemimpin masyarakat, umat dan bangsa. Mereka belajar bagaimana memimpin komunitas yang heterogen, antara lain melalui simulasi peran sebagai pejabat negara mulai dari presiden sampai menteri.
Selain itu, santri juga berlatih menjadi wirausahawan. Liku liku perjuangan mempertahankan usaha ditengah persaingan global ini melatih santri mempunyai mental yang tangguh, tidak mudah putus asa. Ketangguhan ini sangat diperlukan bagi seorang pemimpin yang hidup di tengah masyarakat majemuk. Oleh karena itu, wirausaha merupakan bagian integral dari pendidikan kepemimpinan, di samping pemahaman ajaran Islam yang diperoleh dari al-Qur’an yang dihafal dan difahami maknanya. Dengan pendidikan yang terpadu antara agama dengan usaha di bidang ekonomi, diharapkan akan terbentuk kepribadian pemimpin yang mandiri dan bersih dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan juga nepotisme.
Adanya peran pesantren yang integratif tersebut, menempatkan pesantren ibarat laboratorium yang diharapkan bisa menghasikan tipologi kepemimpinan (keluarga, masyarakat ataupun bangsa) yang muttaqiin. Patuh kepada perintah Allah dan bisa menjadi contoh bagi yang dipimpinnya. Untuk mencapai target tersebut, uji coba untuk menyempurnakan kepribadian dan kemampuan seorang pemimpin, perlu dilakukan terus menerus sesuai dengan tuntutan masyarakat di era globalisasi. Semoga Allah swt memudahkan jalan dan menguatkan perjuangan untuk mewujudkan harapan umat dan bangsa ini, mempunyai pemimpin yang berkepribadian muttaqiin.