Doktrin Sederhana dan Prinsip Egaliter

Sepuluh tahun sudah, penulis berkenalan, berguru, berdiskusi, dan bertindak melakukan aksi dengan Dr. Mohammad Nasih. Seorang yang bagi penulis adalah guru utama (spiritual) sekaligus inspirator-motivator dalam hidup. Ia adalah sosok yang sedehana. Dia mengamalkan doktrin yang juga selalu ia kampanyekan kepada anak didiknya, yakni keprihatinan adalah gizi. Sekelas doktor yang punya kesuksesan mentereng, ia menjalani kehidupan dengan penuh kesederhanaan, yang jauh dari bayangan banyak orang tentang seorang yang sukses. Di Jakarta, ia memilih untuk beraktivitas ke sana-ke mari dengan naik ojek online. Ini tentu tidak biasa bagi orang yang mampu membeli mobil dan menjalani hidup dengan gelimang kemewahan kaliber Mohammad Nasih. Ia juga memilih untuk tidur bersama beberapa santrinya di asrama, daripada harus membeli rumah atau bisa tidur di hotel/apartemen mewah.

Untuk moda transportasi bolak-balik Jakarta-Semarang, ia juga sering naik kereta kelas ekonomi. Dia selalu bilang, “Ada banyak perjuangan yang harus dibiayai.” Bisa dibilang, ia sangat irit (untuk tidak dikatakan pelit) kepada dirinya sendiri, dan royal untuk jalan perkaderannya. Demikian pula ketika di Semarang, Nasih juga tidak menunjukkan gaya hidup yang glamor. Meski memiliki mobil lebih dari satu, ia memilih menggunakan motor untuk bolak-balik rumah-pesantren dan membiarkan mobil-mobilnya dipakai oleh santri-santri untuk kepentingan program perkaderan dan pembinaan kaum muda belianya. Dalam kesehariannya, ia mengenakan pakaian yang biasa-biasa saja, bahkan ketika ke pesantren, ngimami shalat jamaah atau mengajar santri-santrinya, ia sering memakai kaos berkerah ditambah peci nasional. Ini tentu aneh, jika melihat kebanyakan kiai selalu tampil “mewah” ketika ngaji.

Tentu tidak sulit kita temukan, kiai-kiai kita, yang ketika mengajar, mereka menggunakan pakaian “elite” ulama berupa jubah dan udeng-udeng atau jaz “hijau” yang sakral, yang semua itu “tidak bisa dan tidak boleh” dipakai oleh santri biasa. Nasih bahkan sering menyindir disciples yang bajunya lebih bagus dan lebih mewah darinya. Dalam konteks ini, Nasih ingin membangun budaya egaliter yang beradab. Sebuah budaya yang hampir-hampir sulit ditemukan di sebagian besar pesantren di Indonesia. Namun demikian, ia menginginkan budaya egaliter yang berbeda dengan Barat. Egaliter yang tetap memiliki nuansa sopan-santun yang penuh penghormatan khas Timur.

Nasih menyadari bahwa posisi dia adalah sebagai guru sekaligus bapak bagi anak-anak ideologisnya, tetapi ia ingin mereka setara dengannya dan bahkan ia berharap seluruh murid-muridnya melampaui pencapaian yang telah ia raih. Karena dengan begitulah, Nasih bisa dikatakan berhasil mendidik murid-muridnya. Nasih juga menyadari kalau segala yang dilakukan akan dicontoh oleh santri-santrinya, termasuk gaya hidupnya. Ia memilih gaya hidup sederhana dan egaliter. “Kita sederhana begini saja belum tentu ditiru oleh mereka, apalagi kalau kita bermewah-mewahan, bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh mereka di masa depan?” Begitulah kata yang sering penulis dengar dari mulutnya.

Jujur saja, penulis beberapa kali merasa kikuk, ketika harus bersikap atas perilaku kiai yang satu ini. Maklum, penulis berasal dari pesantren salaf yang berparadigma sami’na watha’na kepada kiainya, termasuk dalam etiket dan sopan santun yang dengan sendirinya sudah ada keprotokan yang mesti dipenuhi. Beberapa kali ketika awal kali penulis menjemputnya di bandara, setelah Nasih dari Jakarta, misalnya, dengan membawa dua tas ransel dan jinjing yang terlihat ribet, tentu seorang santri yang baik akan menjemputnya dengan sigap dan membawakan tas-tas itu. Namun, penulis kebingunan, antara masih memegang erat kebiasaan di pesantren salaf dan pengetahuan bahwa Nasih tidak suka diperlalukan “istimewa”, akhirnya penulis memilih untuk dengan sigap menujunya untuk mengambil barang-barang yang dibawa olehnya. Namun, terkejutlah, Nasih langsung berkata, “Ayoo cepet, segera masuk. Masuk mobil. Segera!” Demikianlah. Tak berubah hingga kini. Nasih memang begitu, terlatih mandiri dari kecil dan tidak terbiasa dilayani.

Salah satu contoh lagi yang membuat penulis geleng-geleng adalah ketika suatu malam, penulis membersamai Nasih dalam perjalanan menuju satu acara di pagi hari. Di dalam mobil ada Nasih dan tiga orang santri, termasuk penulis. Waktu itu, Nasih menawarkan kepada santri-santrinya untuk membeli buah di pinggir jalan. Para santripun mengiyakan dan memberi isyarat kepada sopir di kala mereka melihat ada toko buah. Para santri saling memandang dan bersiap untuk turun membeli buah. Belum sampai turun, Nasih pun sudah berada di dalam toko buah itu dan santri-santri itu hanya melongok saja. Batin mereka, Ini kita yang lemot apa gimana siih? Jawabannya, tentu tidak. Memang begitulah Nasih. Ia bisa saja memerintahkan salah satu santrinya agar turun membelikan buah untuk di makan bersama, tetapi ia memilih untuk melalukannya sendiri. Ia mengajarkan kepada murid-muridnya tentang cara hidup egaliter. Bukan mentang-mentang.

Ada satu potret contoh yang sederhana tentang bagaimana Nasih ingin merekonstruksi cara cara pandang disciples dalam konteks berhubungan dengan gurunya. Ketika mengaji, Nasih meminta santri-santri untuk membaca di depan dan menanyakan tentang suatu hal berkaitan dengan ayat yang ia baca. Ini dimaksudkan agar santri-santri juga terbiasa dalam menyampaikan idenya, bukan melulu kiainya yang berbicara, sehingga kiainya akan makin cerdas dan terlatih, sementara santrinya akan mengalami perkembangan yang lambat, sehingga selamanya akan menjadi santri. Dalam hal sederhana yang penulis maksud di atas, ada beberapa disciples yang membawa kebiasaan lamanya, ketika hendak maju membaca di forum kajian, ia jalan dengan menggunakan lutut untuk sampai di depan. Jalan ngesot. Nasih dengan nada khasnya langsung menegur, “Ayoo segera. Jalan biasa saja. Tidak usah begitu. Lama nanti.” Tentu santri yang berlaku demikian adalah santri baru yang belum mengenal dan belum paham cara berpikir dan cara hidup kiai yang satu ini.

Demikian pula dalam penulisan buku ini, disciples dilarang keras bertindak alay dengan menuliskan secara berlebihan apa yang ada di pikiran mereka. Himbauan ini telah disampaikan oleh panitia kepada seluruh disciples yang akan turut menuliskan ide/gagasannya tentang perjalanan intelektual atau personal Mohammad Nasih. Tulisan harus sesuai kenyataan dan tidak boleh melebih-lebihkan, bahwa ada kesan baik yang mendalam terhadap Mohammad Nasih, harus diungkapkan dengan proporsional, supaya pembabaca bisa menangkap pesan-pesan dengan tepat alias tidak salah paham. Meski Nasih tidak suka diperlakukan “wah” oleh santri-santrinya, bukan berarti ia tidak memiliki kepercayaan diri. Soal kepercayaan diri ini, Nasih adalah tempatnya. Ia sangat PeDe dengan ide dan gagasannya yang memang banyak berbeda dengan kebanyakan, anti maintream. Apalagi jika ide dan gagasan itu didasarkan kepada al-Qur’an, kepercayaan dirinya untuk menyampaikan kebenaran itu akan mengalahkan segala risiko apapun yang ada di depannya. Dengan demikian, jelas bahwa Nasih memang mengingkan percepatan perubahan. Ia akan mendorong apapun yang dilakukan disciple untuk memacu kaulitas diri dalam menuju pencapaian cita-cita, bahkan merelakan punggungnya untuk menjadi tumpuan agar murid-muridnya bisa meloncat lebih tinggi.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa Nasih memang tidak menginginkan kemewahan dan jaim (jaga image), tetapi perbaikan dan percepatan. Hidup sederhana dan egaliter adalah pilihannya. Ia berharap murid-muridnya mengalami kemajuan berpikir dan bertindak untuk menggapai masa depan masing-masing dengan akseleratif. Waktu kita terbatas, maka segala sesuatu harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Tentu saja ini tidak mudah bagi yang tidak memiliki kebiasaan akselerasi dan berpikir besar. Demikianlah, tidak ada perjuangan yang tidak sulit. Jika mudah, namanya bukan lagi perjuangan. Namun, dengan tekad kuat yang didasari oleh keimanan yang hanief, tidak mudahnya jalan perjuangan itu justru menjadi kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri, karena dijalani dengan penuh kegembiraan. Perlu dicatat, seorang pejuang itu tidak bisa lagi membedakan mana yang enak dan mana pula yang tidak enak. Apapun akan dilakukan untuk merealisasikan visinya.

Namun demikian, sesempurnanya Mohammad Nasih, tetap ia adalah seorang manusia biasa, yang tentu saja melakukan kesalahan dan tidak sedikit kekurangan. Tepat di usia ke 41 tahun (2020) ini, kita semua berdo’a agar Dr. Mohammad Nasih beserta keluarga selalu diberikan kesehatan dan keselamatan dalam mengarungi kerasnya perjuangan. Kita ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Dimulai dari pinggir ini, kita berharap cita-cita Pak Doktor (dan kita semua) dalam melahirkan pemimpin besar berkarakter Qur’ani bisa terwujud. Tentu kita juga mendo’akan agar Dr. Mohammad Nasih terus ditambahkan rezeki yang melimpah lagi barokah oleh Allah Swt. untuk menopang perjuangan yang lebih besar lagi, menjadi dana revolusi. Hadirnya orang-orang baik yang lebih banyak lagi untuk membantu Dr. Mohammad Nasih dalam membangun long life ‘caderitation’, tentu juga menjadi harapan kita bersama. Kita berharap ada banyak orang yang mengambil jalan sunyi untuk mewujudkan perbaikan, sebagaimana dilakukan Dr. Mohammad Nasih dkk.

Terakhir, semoga anak-anak (biologis maupun ideologis) Nasih selalu diberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran untuk terus menempa diri, agar terus menjadi lebih baik, sebagai upaya untuk membentuk insan cita yang menerapkan qur’anic habits di dalam kehidupannya, sehingga akan lahir Nasih-Nasih baru di masa depan. Buku yang ada di tangan pembaca ini memuat segala gagasan dan aksi Mohammad Nasih yang telah disebarluaskan kepada para santri, handai tolan, dan keluarganya. Ditulis berdasarkan pemahaman dan pengalaman masing-masing penulisnya, disusun dan dikelompokkan berdasarkan tema penulisan yang dirasa pas. Ide dan gagasan dalam buku ini layak untuk didiskusikan dan direalisasikan, sementara aksi-aksi mesti dilanjutkan dan dikembangkan. Meski (mungkin) secara sepesifik tidak konvergen, buku ini memberi gambaran tentang lebatnya pemikiran Mohammad Nasih yang diikuti oleh aksi-aksi spektakuler dalam membangun Qur’anic habits. Penulis bangga bisa ikut terlibat sebagai editor dalam penerbitan buku yang, insyaa’a Allah, akan memberikan pencerahan kepada generasi muda di masa depan. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *