Di sebuah kabupaten yang berada di ujung timur Jawa Tengah sana, lahir sosok guru yang luar biasa. Selain kualitasnya yang di atas rata-rata, ia juga menempuh jalan sunyi untuk melahirkan kader-kader tangguh dan digdaya. Kehidupannya yang sarat dengan lika-liku perjuangan memberikan inspirasi tentang bagaimana jalan hidup yang mesti kami tempuh nanti. Ia adalah salah satu guru terbaik yang telah memberikan cara berpikir berbeda, sehingga tidak seperti guru-guru kebanyakan. Sosoknya begitu menawan. Gagasan-gagasannya cemerlang. Didasarkan pada dua sumber utama umat Islam, serta dipadukan dengan kebutuhan perkembangan hidup di zaman sekarang.
Adalah Mohammad Nasih, guru mulia yang memberikan banyak inspirasi bagi pemuda-pemuda kampung seperti kami. Perjuangannya melahirkan kader-kader tangguh nan militan, serta pemikiran-pemikirannya untuk membangun Indonesia ke depan, telah memberikan arti bahwa pergerakan harus tetap berlanjut, meskipun rintangan dan halangan selalu datang menyerang. Ia adalah orang yang gigih, merintis hidup melalui jalan terjal dan mendaki, menundukkannya, dan berkorban untuk melahirkan generasi-generasi cemerlang di masa depan. Bagi kami, kehidupan yang ditempuhnya laksana lilin. Selalu menerangi kehidupan kami pada saat kegelapan dan kejahiliahan telah mengendap di pemikiran kami. Investasi yang dilakukannya saat ini adalah menjaga “bintang-bintang” masa depan. Meskipun dalam penjagaan itu, Ia juga mengalami nestapa, hingga membuat tubuhnya meleleh karena menanggung banyak masalah yang harus diselesaikannya.
Salah satu masalah yang masih terngiang-ngiang di benak penulis adalah tatkala istrinya protes tentang ketidakadilannya membagi waktu kepada kami dan keluarganya. Dari cerita yang disampaikannya saat agenda wajib kala itu, maka kalimat yang diucapkan istrinya seolah begitu lirih, mengena tentang segala kegundahan yang telah disimpannya selama ini. “Sebenarnya kamu pulang itu untuk siapa? Untuk aku atau anak-anak ideologismu? Aku bangun, kamu sudah tidak ada. Aku tidur kamu belum datang”, demikianlah kira-kira ungkapannya. Sesaat setelah kisah pilunya itu diceritakan, tanpa sadar ada keresahan dalam hati kami. Ya, kami merasa berdosa. Ia adalah guru yang menjaga bintang-bintang dengan sepenuh hati, namun kami, orang-orang yang diharapkan untuk menjadi bintang-bintang di masa depan justru banyak memberikan kekecewaan.
Baginya menjaga bintang merupakan perihal yang penting untuk dilakukan. Sekali salah langkah, maka para bintang bisa tumbang. Itulah mengapa, ‘iffah menjadi salah satu prinsip yang dipegang teguh dalam hidupnya. Termasuk dalam mengelola rumah perkaderan yang didirikannya, Abana sangat berhati-hati, sehingga segala operasional kelembagaan Monash Institute murni dari hasil jerih payahnya sendiri. Tentu saja, banyak orang yang bertanya-tanya tentang dari mana dana yang didapatkannya untuk mengelola Rumah Perkaderan itu
Namun sampai saat ini, jawabannya masih sama, “Sampai hari ini, Saya dan Mahasantri di Monash Institue dan associate membernya tidak pernah menulis proposal. Karena uang harus dicari sendiri, dengan tangan sendiri. Agar ‘iffah bisa dipertahankan. Walaupun saya dekat dengan banyak penguasa dan orang kaya, bahkan mereka meminta saya untuk mengajukan proposal, hal yang sama saya katakan, bahwa saya tidak mau”. Hingga kini, dana yang digunakan untuk membiayai perjuangannya adalah dana dari penghasilan sendiri dan beberapa teman yang tergerak melihat perjuangannya. Mulai ada beberapa orang yang membantu dengan sukarela untuk mengembangkan Monash Institute, dan itu ditempuh dengan jalan yang terhormat.
Menjaga ‘Iffah
‘Iffah merupakan sikap untuk memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkan. Menjaga ‘iffah merupakan salah satu perihal yang tak mudah. Tentu saja, akan ada banyak ujian dan cobaan yang datang. Bahkan, Ali bin Abi Thalib pun pernah menyatakan,“amal yang paling sulit itu ada empat. Pertama, memberi maaf ketika marah. Kedua, bermurah hati ketika dalam keadaan sulit. Ketiga, ‘iffah (memelihara diri) ketika sendirian. Keempat, mengatakan sesuatu yang haq kepada orang yang disegani maupun yang mengharapkannya.” Meski menjaga ‘iffah merupakan salah satu perihal yang tak mudah, namun bapak empat anak ini menyakini satu hal, bahwa setiap ujian dan cobaan akan memberikan pelajaran dan kekuatan. Sementara Allah juga akan selalu datang dan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang beriman.
Lebih jauh, Ibnu Athoillah al-Sakandari dalam Kitab al–Hikam juga menyebutkan “Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan, sebab tiap sesuatu yang tumbuh tapi tidak ditaman, maka tidak sempurna hasil buahnya”. Berkaitan dengan hal tersebut, sikap ‘iffah yang senantiasa diistiqamahkan oleh Abana merupakan proses penanaman diri dalam tanah kerendahan. Proses penanaman diri ini merupakan bagian penting dalam perkaderan, karena memiliki implikasi besar pada kehidupan para bintang di masa depan. Itulah mengapa, penghafal al-Qur’an sekaligus ilmuan politik ini senantiasa menjaga diri agar tidak terjebak pada perihal hutang budi. Sekali Ia terjebak, maka konsekuensinya akan membuat independensi para bintang menjadi tumbang.
Karena bisa jadi, pemuda-pemuda yang saat ini disapa sebagai anak-anak ideologis akan berkembang menjadi para bintang di masa mendatang. Mereka akan mengemban tugas-tugas mulia untuk mewujudkan visi bersama. Dan tentu, dalam melaksanakan tugas-tugas mulianya itu, akan ada banyak kepentingan yang saling bertabrakan. Sehingga sangat berbahaya, ketika salah satu dari pemangku kepentingan itu adalah orang-orang yang pernah menanam budi pada Abana. Mungkin, para bintang di masa depan tidak memiliki keraguan untuk mengacuhkan kepentingan-kepentingan itu dari pihak-pihak yang bersangkutan. Namun, tentu hal yang berbeda ketika sosok guru mulia yang memintanya. Perlahan tapi pasti, independensi akan mulai goyah dan para bintang akan tumbang. Berpijak pada kenyataan itulah, kami sangat menyadari, bahwa perannya dalam menjaga bintang begitu berarti. Dengan menjadi penjaga bintang, Ia menanggung konsekuensi untuk melakukan perjalanan sunyi nan mendaki seorang diri. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Oleh: Moh. Nurul Huda, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang