Banyak orang yang berpandangan negatif tentang kata “prihatin”, karena kata-kata tersebut sering digunakan dalam keadaan yang menyedihkan, usaha yang gagal, dan perjuangan yang menyulitkan. Misalkan “keprihatinan terhadap alam sekitar yang permasalahanya tak kunjung selesai”, selain demikian kata prihatin dalam KBBI pun memiliki arti yang tidak mengenakan yaitu bersedih hati, waswas, bimbang, kesedihan yang mendalam.
Anehnya, di Semarang, ada satu pondok yang menggunakan kata “keprihatinan” tersebut dalam hal positif. Pondok Perkaderan Monash Institute yang dihuni oleh aktivis mahasiswa yang hafal Qur’an, penulis dan/atau pengusaha menggunakan kata keprihatinan sebagai salah satu jargon mereka. Dr. Mohammad Nasih (Monash), Pendiri Monash Intstitute selalu menekankan kepada mahasantrinya bahwa keprihatinan adalah gizi.
Jargon ini keluar karena Nasih memandang bahwa bangsa Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Dari kelompok atas, para pemangku jabatan cenderung pragmatis, sehingga lupa akan tupoksinya. Sementara dari kelompok bawah, terkhusus pemuda sebagai penerus bangsa, cenderung pasif terhadap bangsa ini.
Banyak orang saat ini terlena dengan kesenangannya sendiri atau kelompok tertentu yang itu hanya beberapa saat saja. Syukur-syukur kesenangan itu dapat membawa pengaruh baik, tetapi ternyata realita berkata terbalik. Inilah alasan salah satu lirik mars pondok Monash Institute yang didirikan Nasih berbunyi “tinggalkan kesenangan semu.”
Sepotomg lirik Mars Monash Institute itu diharapkan masuk dalam pemikiran disciples (sebutan untuk santri Monash Institute). Penerus bangsa saat ini, sudah tertinggal. Untuk itu, tidak ada alasan lagi untuk bersantai-santai. disciples Monash Institute harus meninggalkan kebiasan yang tidak berfaedah untuk meningkatkan kualitas dan mengejar ketertinggalan tersebut.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut tidaklah mudah, karena harus mengeluarkan tenaga, pikiran, dan uang. Namun, Nasih dalam hal ini tetap enjoy dan seolah-olah tidak ada beban sama sekali. Begitupun santri Nasih, walaupun mereka berada di dalam rumah perkaderan yang bisa dikatakan sangat memprihatinkan untuk kesehatan, karena keseharian mereka tidak ada jeda untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat.
Keseharian mereka dihiasi dengan padatnya agenda-agenda yang menguras tenaga dan pikiran, diantaranya yaitu bangun sebelum subuh untuk melakukan sholat tahajud, dilanjut menghafal al-Qur’an untuk disetorkan setelah subuh. Agenda tersebut selesai pukul 06:00. Kemudian mereka bersiap siaga untuk pergi ke kampus menjalankan kewajibannya sebagai mahasiswa dan aktivis organisai mahasiswa.
Dalam memasuki dunia kampus, mereka tidak hanya menuntut ilmu, akan tetapi mereka juga berwirausa untuk menambah penghasilan. Para santri sekaligus mahasiswa dan aktivis tersebut menjalani kesehariannya berbeda dengan kebanyakan mahasiswa lainnya yang menghabiskan waktunya dengan berfoya-foya dan bermain. Mereka justru menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang membuatnya lelah namun berefek baik dan hidup dengan kesederhanaan, walaupun sebenarnya mereka mampu dalam segi ekonomi.
Kesedarhanaan tersebut banyak dipandang oleh orang lain sebagai bentuk keprihatinan. Namun inilah doktrin keprihatinan adalah gizi yang ingin ditanamkan Dr. Mohammad Nasih. Ia pernah berkata bahwa “Kesenangan dalam kemewahan adalah racun. Keprihatinan adalah gizi. Hindari racun, perbanyak gizi.”
Setelah santri Nasih tersebut kembali ke markas Monash Isntitute, mereka bergegas untuk mempersiapkan agenda setelah magrib, yaitu menyetorkan atau murajaah hafalan al-Quran kepada mentor-mentor di Monash Institute. Setelah Isya, mereka diberikan materi-materi khusus sesuai dengan kebutuhans setiap angkatan. Agenda itu, diantaranya. baca kitab, jurnalistik, debat, diskusi buku, ceramah, kelas bahasa, dan lain sebagainya hingga agenda selesai pukul 21:00.
Kesibukan ini memang sengaja diadakan di Monash Institute. Cara demikian memang diajarkan oleh Nasih kepada santri-santrinya. Dalam beberapa kajian dengannya, Nasih kerap berkata, “cintailah pekerjaan kalian hingga lupa makan, dengan itu kalian baru bisa dikatakan serius dalam menjalani kebutuhan.”
Nasih ingin membiasakan disciple untuk siap menjalani realita kehidupan. Nasih sendiri pun memberikan contoh dalam kesehariannya. Dalam sepekan, Jakarta-Semarang-Rembang sudah menjadi rutinitas perjalanan Nasih. Tidak jarang juga Nasih akan pergi ke tiga tempat selain itu, ketika ada jadwal untuk mengisi kajian atau forum-forum ilmiah di daerah lain.
Nasih mengibaratlkan rumah perkaderan Monash Institute layaknya kawah candradimuka. Kawah dalam KBBI memiliki arti kuali besar, kancah dan bagian puncak berapi yang dilewati bagian letusan dan berbentuk lekukan besar. Sedangkan candradimuka adalah suatu tempat untuk penggemblengan diri pribadi agar menjadi orang yang memiliki karakter pribadi yang kuat, terlatih dan tangkas.
Dalam hal ini Nasih menggambarkan santri-santi yang berada di Monash institute itu bagaikan besi yang dipanaskan di kawah dan ditempa. Nasih menuturkan bahwa besi yang panas ketika ditempa akan tajam. Begitupun manusia, ketika ia dalam pikiran yang panas dan semangat membara, ia akan memiliki ketajaman dalam berfikir, sehingga mudah dalam menjalani apapun.
Oleh: Laeli Nur Faizah, Disciple Monash Institute Angkatan 2016, Ketua Umum Kohati Korkom Walisongo 2018-2019.