Peradaban manusia seluruh dunia di awal tahun 2020 seketika terguncang dengan kemunculan sebuah virus mematikan. Corona, virus kejam ini mendadak terkenal karena telah membunuh ribuan manusia yang datang dengan tenang dan bergerak tak tinggalkan jejak. Itu lebih tampak seperti impian tertinggi para pembunuh bayaran berdarah dingin, mengerikan lagi sadis.

Laboratorium di Wuhan, China, tempat virus ini lahir mengklaim bahwa virus ini keluar lalu hinggap di tubuh beberapa hewan kemudian mewabah dengan cepat ke manusia satu dan lainnya. Anehnya musibah serupa pernah terjadi berulangkali dengan skenario, akibat, dan pemeran yang sama persis, lagi-lagi virus. Saya seperti menonton film luar negeri yang didaur ulang oleh sutradara minim ide tapi inginkan hasil efektif, memalukan sekaligus menakutkan. Pikiran saya mengarahkan pada pertanyaan: Apa alasan ilmuan menjaga virus corona jika itu mematikan? Mampukah ia dengan mudahnya ‘kabur’ dari tempat yang mestinya penuh dengan teknologi mutahkhir penangkal virus itu?

Sebagai manusia berakal keturunan Nabi Adam yang dianugerahi rasa ingin tahu tinggi, jawaban mulai terurai ketika dosen pembimbing saya membagikan novel lawas karya Dean Koontz. Novel itu berjudul The Eyes of Darkness yang terbit pada Februari 1981, disana ia menuliskan lengkap nama sang ilmuan yang memperingatkan bahaya virus ini beserta dengan tahun, tempat, dan akibat penyebaran virus corona.

Saya tidak begitu yakin kalau dia adalah seorang peramal sakti atau bahkan penjelajah waktu. Dugaan saya sejalan dengan tulisan Koontz, bahwa Corona mungkin sebagai senjata biologis pemusnah masal, pembunuh yang kebal hukum di negara manapun dan sama sekali tak bisa diadili. Alih-alih mengungkap fakta tentang penemu virus ini dan alasan pembuatan/penelitiannya, malah semua negara dibuat kalang-kabut ketakutan karena dampaknya, termasuk Indonesia.

Baca Juga  Pandemi; Meningkatkan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Rasa abai yang sebelumnya cukup besar dengan virus corona, perlahan berubah menjadi waspada, terus bertambah hingga peringatan bahaya. Ketakutan itu terus hinggap di pikiran-pikiran manusia yang begitu takut meninggalkan dunia. Segala upaya ditempuh masyarakat agar tak terjangkit, harga pelidung pernapasan melonjak tinggi, pembersih instan langka, dan banyak lagi perbuatan yang tidak salah namun berlebihan.

Ketakutan akan sebuah bentuk ciptaan (materi) mulai menggiring umat manusia untuk menipiskan nilai Tauhid dan membatasi interaksi sosial. Ketakutan hakiki yang sebenarnya tertuju hanya pada Tuhan yang Maha Esa lambat laun bisa saja tergantikan dengan virus itu. Seakan-akan tindakan manusia lebih dipercaya ketimbang Berdoa kepada yang Maha Kuasa. Manusia dengan keimanan dan daya pikir kuat harusnya terpatri di alam bawah sadarnya bahwa kematian tidak ditentukan oleh materi melainkan murni rahasia Ilahi.

Bersama dengan rasa kesal, sedih, dan jengkel yang bercampur-aduk saya ingin sampaikan bela sungkawa untuk korban corona dan instansi-instansi yang amat sangat berlebihan dalam mengambil keputusan! Betapa tidak, upaya preventif malah diterjemahkan dgn larangan-larangan nyeleneh. Interaksi sosial kemasyarakatan dikhawatirkan menjadi media penyalur virus karena bertatap muka, berbincang, atau bersalaman.

Akibatnya, momentum berkumpul, berdiskusi, seminar, kuliah umum, wisuda, atau pertemuan lainnya harus batal seketika dengan berbagai edaran yang kurang masuk akal. Sikap atau keputusan itu bisa dibenarkan jika dan hanya jika saat dipenuhi rasa takut, bingung, dan pikiran seolah tahu kapan virus itu akan menghilang. Keputusan penundaan suatu acara mustahil membuat penyebaran virus corona terhenti! Rencana manusia tidak mungkin melampaui Keputusan Allah maha pemberi kesembuhan dan satu-satunya tempat berlindung.

Baca Juga  Al-Qur'an dan Problematika Sosial

Pemerintah dan instansi yang berisikan manusia berintelektual berketuhanan harusnya tidak ‘membeli ketakutan’ yang dijual bebas gratis sepaket dengan virus mematikan itu. Rasa takut dan kelimpungan yang ada di seluruh dunia mungkin salah satu tujuan mengobrak-abrik tatanan masyarakat beragama.

Pemerintah sebenarnya cukup melakukan upaya penyediaan fasilitas dan edukasi tentang cara mencegah penyebarannya.
Instansi pendidikan tak perlu mengekang giat mahasiswa untuk berkembang, ia harus menjadi mahasiswa seutuhnya.

Pemuka agama dan umatnya harus menyebarkan pemikiran positif dan selalu optimis dengan memohon kepada Tuhan agar corona segera dimusnahkan.
Organisasi kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, pelajar, dan penggiat media sosial, STOP menyebarkan ketakutan, AYO kuatkan iman dan beranilah katakan: Kita Tidak Takut Corona!

Oleh: Riski Tuan Abda’u, Mahasiswa Pertanian Universitas Lampung

Redaksi Baladena
Jalan Baru Membangun Bangsa Indonesia

Menjadi Muslim Intelektual Profesional

Previous article

Keprihatinan Adalah Gizi

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Gagasan