Mohammad Nasih selalu menjadi pelita di tengah kegelapan umat Islam. Menurut Nasih, saat umat lain sudah membahas mengenai teknlogi, umat Islam masih saja berdebat mengenai qunut dan tidak qunut, jumlah rekaat tarawih, dan lain-lain. Pantas saja, hal inilah yang membuat umat Islam tidak maju-maju. Mereka sibuk dengan perbedaan itu, hingga akhirnya tidak adanya toleransi mengenai perbedaan itu yang membuat perpecahan di kalangan umat Islam. Akibatnya, umat menjadi rapuh, banyak tetapi seperti buih saja.
Jika umat Islam mau dan bisa bersatu niscaya umat Islam akan menuju kejayaan, sebagaimana yang pernah diraih umat Islam pada zaman di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad dan para penerusnya. Tidak hanya itu, sifat fanatik kepada organisasi dan kelompok, bukan kepada Islam, yang selalu mendominasi diri umat Islam pada akhirnya akan menutup pintu pemikiran orang lain yang tentu saja berebeda, yang menyebabkan perpecahan tidak terelakkan lagi. Hal demikian dilakukan tidak lain karena banyak di antara mereka yang takut kehilangan pengaruh.
Sebaliknya, di posisi yang lain, ada sekelompok umat Islam yang menganut paham liberal yang mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, yang dicirikan oleh kebebasan mayoritas berpikir bagi para individu dan menolak adanya pembatasan khususnya dari pemerintah dan agama justru akan membuat tindak seseorang menjadi ‘’ngawur’’, karena terbuka dengan pemikiran orang lain namun tidak paham basic keislaman yang mendalam.
Dua kelompok itu muncul disebabkan oleh ketidaklengkapan umat Islam dalam mengetahui agama dan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan konsep ‘’The right man in the right place, and wrong man in the wrong place’’. Lebih mirisnya lagi mereka akan berkontribusi dengan beretorika kosong dalam kebodohan yang tidak akan membuat maju. Hal itu juga yang membuat mereka beragama dengan keliru yang berimplikasi menyesatkan pula.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan Mohammmad Nasih acapkali berpesan ‘’Jadilah kalian muslim intelektual profesional’’ kepada anak ideologisnya yang berada di Monash Institute Semarang, atau yang biasa dikenal dengan sebutan disciples. Itu merupakan jargon organisasi mahasiswa Himpunan. Hal ini dilakukan tidak lain untuk memotivasi para muridnya agar senantiasa mengobarkan api semangat akseleratif kader dalam menjadi kader yang berkualitas.
Menurut Nasih, muslim intelektual profesional nantinya diharapkan mampu menjadi solusi dalam mengentaskan masalah-masalah umat yang Nasih memperumpamakan umat Islam seperti buih sekaligus akan membuat kemajuan peradaban yang berkemajuan. Hal tersebut tidak akan terwujud jika hal itu tanpa ada aksi yang akseleratif yakni denagan melalukan banyak hal dalam satu waktu sekaligus.
Muslim, seperti yang telah diketahui, memiliki arti orang yang berserah diri kepada Allah dengan hanya menyembah dan meminta pertolongan kepada-Nya serta menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidupnya. Al-Qur’an ibarat suatu kompetensi dasar agama sekaligus menjadi kemampuan dasar umum yang harus dimiliki umat Islam. Hal ini karena segala bentuk hal-hal yang berkenaan dengan ranah kehidupan sudah termaktub di dalamnya.
Namun dewasa ini, pemahaman umat islam terhadap al-Qur’an tergerus oleh perkembangan zaman, hingga menyebabkan jarang sekali orang yang mau mendalaminya. Padahal, kemajuan tidak akan terwujud tanpa mengaktualisasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan. Nasih memiliki konsep tersendiri mengenai seorang muslim harus hafal dan paham Alquran makna yang dikandungnya. Mengapa demikian? Hal ini karena al-Qur’an memiliki aspek kebahasaan yang tinggi, informasi saintifiknya terbukti nyata, informasi futuristiknya terbukti. Selain itu, al-Qur’an mudah dihafal jika dibandingkan dengan kita suci lainnya.
Kemudian diantara yang menyebabkan kemunduran umat Islam yakni jauh dari kehidupan yang Qurani. Jika seorang Muslim jauh dari kehidupan Qurani maka dapat dipastikan pula hidupnya pun kacau balau, karena tidak sesuai dengan tuntunan agama yakni al-Qur’an yang menghendaki kemajuan.
Nasih juga seringkali melontarkan kepada para disciples ‘’Kalau kalian bukan anak siapa-siapa, maka jadilah orang yang berkualitas. Salah satu diantara pesannya yakni dengan cara memacu semangat untuk menghafal al-Qur’an, karena kalian tidak memiliki orang yang akan menempatkan dalam kehidupan yang strategis. Dan jika kalian tidak melakukan yang demikian, maka dipastikan kalian akan seperti buih, yakni diorganisir di bawah kendali kelompok yang akan mengeksploitasi diri kalian.’’
Bahkan para diciples dihimbau untuk memiliki ambisi dan obsesi, agar tidak akan menjadi seperti mobil mogok. Karena kalau jadi mobil mogok, dibutuhkan usaha yang totalitas untuk mendorongnya, karena itu untuk menjadikannya sebagai keistiqamahan dan kesabaran membutuhkan waktu selama 20 tahun lamanya untuk membentuk suatu kebiasaan. Dengan kata lain, akan jauh lebih sulit terjadi perubahan jika manusianya seperti mobil mogok itu.
Intelektual di sini diartikan sebagai seseorang yang memahami zaman dan tempat serta mengkonsepikan sebuah pemikiran untuk menjadi solusi menuju kemajuan zaman. Seperti halnya konsepsi Nasih mengenai muslim intelektual profesioanal dalam rangka menuju kemajuan peradaban yang baik yang dulu pernah diraih umat Islam.
Profesional memiliki arti yakni memposisikan diri seseorang sesuai dengan keahliannya. Bentuk yang dimaksud di sini sebut saja adalah dokter, advokad, arsitek, akuntan, dan sebagainya. Nasih juga mengatakan bahwa tanggung jawab terhadap apa yang dia pikirkan dan apa yang telah diomongkan serta memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Dapat disimpulkan dari beragam pengertian di atas bahwa Nasih tidak hanya sebagai pendongkrak semangat muslim intelektual profesional. Lebih dari itu, Nasih memiliki gagasan yang juga semuanya telah terealisasikan dalam diri Nasih yang termasuk diantaranya Nasih hafal Alquran, seorang intelektual lulusan S3, yang dapat dibuktikan pula bahwa Nasih juga telah bertanggung awab atas profesinya sebagai pendidik, bahkan beberapa hal yang beragam seperti bertani, serta penceramah, dan yang terakhir Nasih memfokuskan skillnya dengan cara mengkader anak bangsa lewat Monash Institute sebagai ikhtiar melahirkan generasi mulsim intelektual profesinal. Waallahu a’lamu bi al-shawab.
Oleh: Naila Rifqiyani Muhasshonah, Disciple 2019 Monash Institute Semarang