Indonesia menempati peringkat ke empat penduduk terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk 277 juta jiwa pada tahun 2023. Menurut BPS (Badan Pusat Statistika) jumlah penduduk di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat bahkan sampai 285 juta pada tahun 2030. Padahal di tahun tersebut, Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif 15-65 tahun lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia 65 tahun ke atas.
Dalam rangka mempersiapkan bonus demografi tersebut, pemerintah membuka keran sebesar-besarnya untuk para investor asing datang ke Indonesia untuk berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya. Lapangan pekerjaan memang menjadi hal yang penting untuk mengurangi jumlah pengangguran. Akan tetapi apakah lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah berbanding lurus dengan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di Indonesia yang terbilang masih rendah?
Berdasarkan data World Population Review tahun 2022 rata-rata IQ (Intelligence Quotient) orang Indonesia berkisar 78, 49 menempati peringkat 130 dari 199 negara yang diteliti. Padahal dengan IQ di bawah 80, seseorang sulit untuk bisa lulus SMP. Bahkan IQ sipanse terpandai saja mencapai poin 95. Angka itu jauh di atas rata-rata IQ orang Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa kualitas SDM penduduk Indonesia masih sangat rendah. Jika pemerintah ingin memperbaiki negeri ini dengan meningkatkan mutu SDM melalui pendidikan. Maka, perubahan yang akan terjadi tidak akan signifikan walaupun menggunakan kurikulum terbaik di dunia yang diterapkan oleh negara-negara maju sekalipun. Hal itu terjadi karena input SDM anak-anak di Indonesia yang berbeda dengan input anak-anak di negara-negara maju. Di negara maju seperti Jerman misalnya, rata-rata konsumsi daging sapi per kapita per tahun mencapai 90 kg. Sedangkan rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia hanya 2,5 kg per kapita per tahun.
Padahal konsumsi daging sapi di usia dini dapat membantu dalam pertumbuhan otak anak dan hal itu berimplikasi pada IQ anak. Selain makanan daging sapi, ASI (Air Susu Ibu) ekslusif juga sangat berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak. Di dalam Al Qur’an seorang ibu memiliki tanggung jawab untuk memberikan ASI ekslusif selama dua tahun penuh sebagaimana dalam QS. Al Baqarah ayat 233:
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya: Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. Al Baqarah: 233)
DI Indonesia, cuti hamil melahirkan menyusui untuk perempuan hanya diberi tiga bulan. Padahal, di dalam buku karya Kusmayadi yang berjudul Membongkar Kecerdasan anak: (Mendeteksi Bakat dan Potensi Anak Sejak Dini) disebutkan bahwa ada sebuah penelitian tentang ASI yang diberikan kepada anak sangat berpengaruh pada tingkat kecerdasan atau IQ. Anak yang diberi ASI ekslusif akan memiliki kecerdasan 3-5 kali lipat di atas anak yang hanya diberi susu formula. Semakin lama diberi ASI, maka semakin tinggi nilai IQ anak berkat nutrisi yang terkandung di dalam ASI.
Pembahasan tentang ASI ekslusif bukanlah pembahasan yang sepele. Karena sangat berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan otak anak sebagai generasi penerus bangsa. Maka, untuk dapat melahirkan generasi-generasi berkualitas sangat perlu diperhatikan asupan gizinya salah satunya ASI.
Di negara-negara Eropa seperti Bulgaria misalnya yang berani memberikan cuti hamil melahirkan menyusui sampai 58,6 pekan atau kurang lebih 14 bulan. Sementara itu di Inggris cuti hamil sampai 39 pekan atau 9 bulanan. Sedangkan di Indonesia belum berani untuk memberi cuti hamil melahirkan menyusui sepanjang itu. Padahal nutrisi pada ASI sangat menentukan tumbang anak kedepanya.
Bagaimana bisa bonus demografi tahun 2030 terjadi jika 31 persen balita di Indonesia masih mengalami stunting akibat kurangnya asupan gizi salah satunya ASI. Ditambah lagi respon pemerintah dalam mengurangi angka stunting dinilai masih kurang. Anak yang diajari berbagai macam pelajaran tidak akan mampu menyerap materi yang diajarkan. Apabila asupan gizi sebagai penunjang perkembangan otak anak tidak terpenuhi. Sehingga belajar mengajar menjadi percuma dan sia-sia.