Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang kerap dipanggil Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain sempurna akalnya, juga baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan sempurna akalnya ia dapat memngetahui ilmu secara mendalam, dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat mengajar, mendidik, dan mengarahkan murid-muridnya. Berdasarkan devinisi tersebut, menurut saya Mohammad Nasih merupakan figur guru seperti yang digambarkan oleh Imam al-Ghazali. Untuk mengetahuinya, kita bisa melihat dari biografinya sebagai guru di rumah perkaderan yang telah didirikan olehnya.
Abah Nasih, lahir dari seorang pasangan suami istri penghafal al-Qur’an, Bapak Mohammad Mudzakkir dan Ibu Chudzaifah. Spirit dari ayahnya yang tertanam kuat dalam hatinya, mendorongnya untuk menghafalkan al-Qur’an di Pesantran An-Nur dan khatam 30 juz kurang lebih selama 18 bulan. Sebagai seorang hafidh, Abah Nasih sangat prihatin melihat bahwa dari jutaan umat muslim di Indonesabah, tidak lebih dari 0,3 % saja yang hafal al-Qur’an dan paham isi kandungannya. Hal itu menjadi salah satu alasan abah Nasih mendirikan rumah perkaderan bagi para penghafal al-Qur’an, Monash Institute Semarang. Abah Nasih berharap banyak muslim yang hafal al-Qur’an dan memahami maknanya di rumah perkaderan tersebut.
Dengan berbagai usaha yang abah Nasih lakukan, abah Nasih ingin mencetak generasi huffadh. Hal ini sejalan dengan berbagai usaha yang abah Nasih lakukan seperti membuat progam beasiswa di SMP Islam Nurul Furqon atau lebih dikenal Planet Nufo yang terletak di Desa Mlagen, Pamotan, Rembang. Selain Planet Nufo, abah Nasih juga memberikan beasiswa untuk para mahasiswa di rumah perkaderan Monash Institut. Dari program beasiswa tersebut, abah Nasih menerapkan progam menghafalkan 30 juz al-Qur’an untuk mereka dan menerapkan progam menghafal al-Qur’an 10 bulan di Desa Mlagen untuk para mahasiswa. Saya mengataka abah nasih merupakan figur guru para hafidh karena, abah Nasih selalu mengajar, mendidik dan mengarahkan para santrinya agar supaya memahami untuk menghafalkan dan menghafalkan untuk memahami al-Qur’an. Barulah setelah itu dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka tidak heran kalau abah Nasih menerapkan berbagai upaya khusus untuk mencapainya.
Memastikan Hafalan Huffadh Tetap Terjaga
Menurut abah Nasih, persentase penghafal al-Qur’an sangatlah kecil dan semakin kecil lagi jika yang dimaksudkan adalah yang benar-benar berkomitmen menjaga hafalan al-Qur’an. Abah Nasih menekankan kepada para santrinya bahwa untuk menjaga hafalan al-Qur’an perlu usaha khusus, tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa sekali hafal, maka hafalan itu akan melekat sepanjang hayat. Dalam progam menghafal al-Qur’an di rumah perkaderannya, Abah Nasih menerapkan beberpa langkah agar hafalan para hafidh (khatam menghafal 30 juz) tetap terjaga, sesuai dengan makna kata hafidh itu sendiri yaitu penjaga al-Qur’an.
Pertama, muraja’ah atau mengulang hafalan secara kontinue minimal 6 juz perhari dan menggunakan 2 hari yang tersisa untuk mengulang hafalan yang mengalami banyak kesalahan. Mereka yang hafal dengan baik, biasanya melakukan muraja’ah 30 juz tidak lebih dari sepekan. Kedua, sima’an. Dalam hal ini, hafalan huffadh tanpa teks didengar dan disimak oleh orang lain, baik yang hafal atau yang tidak hafal dengan melihat teks dan yang menyimak itu akan mengoreksi jika terjadi kesalahan. Sima’an yang paling baik adalah sima’an dengan sesama penghafal al-Qur’an, karena memiliki sensitifitas yang jauh lebih tinggi. Hal ini karena kesalahan dalam pembacaan akan lebih mudah dideteksi oleh penghafal al-Qur’an dibanding yang tidak hafal al-Qur’an. Sima’an perlu sering-sering dilakukan, agar kualitas hafalan terjaga dengan baik.
Ketiga, menggunakan hafalan dalam shalat, baik fardlu maupun sunnah. Abah Nasih menegaskan bahwa dengan melakukan ini, shalat tidak hanya berlangganan dengan surat-surat pendek di juz 30. Lebih baik lagi jika dalam setiap raka’at pertama dan kedua dibaca satu halaman atau bisa lebih. Ini dilakukan terus menerus sampai khatam. Dalam sehari ada 10 raka’at yang disunnahkan membaca surat dalam shalat wajib, ditambah shalat-shalat sunnah lainnya. Menurut abah Nasih, cara ini bisa membuat shalat menjadi terasa lebih khusyu’, juga sangat nikmat, di samping sama dengan muraja’ah. Cara ini juga telah membuat para santri bisa mengerjakan dua hal yang bisa dikerjakan dalam satu waktu, yaitu shalat dan muraja’ah.
Keempat, menambah bacaan tafsir. Banyak ayat di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami tanpa melibatkan tafsirnya. Abah Nasih menegaskan bahwa di dalam kitab-kitab tafsir kita bisa menemukan asbabun nuzul dan berbagai aspek lain yang membantu pemahaman menjadi benar dan kuat.
Kelima, mengajar bacaan, hafalan, maupun makna al-Qur’an. Menurut abah Nasih, mengajar sesungguhnya adalah di antara cara belajar terbaik dan mengasah kembali kemampuan. Dalam konteks usaha untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas hafalan al-Qur’an, dengan cara mengajar membaca, memaknai, dan menghafalkan al-Qur’an menjadi kesempatan tersendiri dan paling strategis. Abah Nasih selalu mengingatkan kepada para santrinya bahwa Al-Qur’an adalah bacaan yang mendatangkan berkah. Waktu yang digunakan untuk mengajar itu akan mendatangkan keberkahan dalam hidup pengajarnya. Jika pelakunya melakukan menejemen hidup dengan benar, maka Allah akan memberikan berkah yang berlimpah, sehingga kehidupannya akan menjadi kehidupan yang baik.
Keenam, memanfaatkan semua waktu luang untuk mengucapkan firman Allah. Pada saat menunggu dan berada di kendaraan umum, menyetir/mengendarai kendaraan, terutama dalam kemacetan kota besar, saat menunggu guru, dosen, teman, kolega, dll bisa dimanfaatkan untuk muraja’ah, sehingga terhindar dari kebosanan menunggu.
Mengubah Mindset Huffadh
Abah Nasih berusaha mengubah mindset huffadh yang selama ini menghafalkan al-Qur’an secara teks saja tanpa memahami maknanya. Menurut Abah, menghafal akan jauh lebih susah apabila tidak mempunyai ilmu alat. Dengan perkataan lain, menghafal tanpa mengetahui maknanya, akan membutuhkan waktu yang relatif lama dan tenaga berlipat-lipat. Dengan demikabahn, abah Nasih selalu menegaskan para santrinya terutama para hafidh untuk menguasai ilmu alat tersebut. Ilmu alat adalah ilmu yang sangat penting bagi penghafal al-Qur’an. Ilmu alat bisa digunakan untuk memahami apa yang dikandung didalam ayat-ayat al-Qur’an. Jika penghafal al-Qur’an telah mengetahui makna ayat yang akan dihafal, maka menghafal pun akan terasa menjadi lebih mudah.
Orang yang hafal al-Qur’an saja tanpa tahu artinya, tentu sudah merupakan prestasi, tetapi akan sangat luar biasa jika seorang yang hafidh-hafidhah itu mengetahui dan memahami makna dan tafsirnya. Penghafal al-Qur’an yang menghafalkan dengan tidak memahamai maknanya, ketika hafalan telah menghilang, akan sangat sulit mengembalikannya dalam ingatan, bahkan lebih sulit dari pertama kali membuat hafalan.
Abah Nasih selalu menasehati para santrinya terutama para hafidh untuk selalu menjaga hafalan mereka. Penghafal al-Qur’an tidak hanya sekedar menghafalkan saja, tapi harus berusaha untuk memahami maknanya. Bahkan abah Nasih selalu menekankan kepada mereka untuk selalu membawa al-Qur’an di mana pun berada untuk selalu menjaga hafalan mereka dengan cara selalu muraja’ah. Abah Nasih selalu menekankan kepada para santrinya terutama para hafidh agar supaya memahami untuk menghafalkan dan menghafalkan untuk memahami. Barulah setelah itu dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Abah Nasih Nasih menerapkan program memahami al-Qur’an menggunakan metode I’rab al-Qur’an, setoran lalu muraja’ah. Selain memudahkan untuk menghafal, I’rab al-Qur’an juga dapat membuat daya ingat kita lebih kuat.
Dari berbagai keluhan tentang degradasi kualitas hafalan yang abah Nasih temukan, bisa ditarik sebuah benang merah bahwa hafalan al-Qur’an mereka telah menjadi beban berat. Makin banyak hafalan, makin berat beban hafalan tersebut. Ayat-ayat yang sudah dihafal itu harus dibaca dengan niat mempertahankan hafalan, secara periodik dan berkala sampai akhir hayat, sehingga tidak terlepas dari ingatan. Aktivitas mengulang bacaan yang telah dihapal oleh huffadh yang harus dilakukan secara terus-menerus ini, jika tidak bertaut dengan relevansi dalam kehidupan, maka tentu saja akan menimbulkan rasa jenuh, bosan, dan bahkan putus asa. Abah Nasih menegaskan kepada para santrinya bahwa berbagai rasa negatif itu, tentu bertentangan dengan doktrin bahwa al-Qur’an adalah bacaan yang tidak menyebabkan rasa bosan (kalaamun qadiimun laa yumallu samaa’uhuu). Namun, secara faktual, justru itulah yang secara umum memang dialami oleh huffadh dalam proses menghafalkan. Sebab, mereka merasa berada dalam lorong waktu yang panjang yang karena merasa tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Itu terjadi karena beberapa hal, di antaranya:
Pertama, menghafalkan al-Qur’an tidak memahami maknanya. Abah Nasih selalu mnyampaikan kepada para santrinya bahwa tingkat kesulitan menghafalkan teks tanpa memahami maknanya bisa lebih dari tujuh kali lipat. Hafalan kepada ayat al-Qur’an yang tidak dipahami maknanya juga lebih cepat hilang dibandingkan yang dipahami maknanya. Abah Nasih menyimpulkan bahwa ada dua masalah yang disebabkan oleh menghafalkan teks tanpa arti atau makna: sulit hafal dan cepat lupa. Kedua, tidak mendapatkan inspirasi-inspirasi baru dari al-Qur’an. Menurutnya, ini adalah implikasi dari tidak memahami arti atau makna. Jika memahami makna, maka penghafal yang tentu saja selalu mengulang bacaan, akan mendapatkan pemahaman-pemahaman baru yang sangat menarik dan inspiratif.
Ketiga, tidak memiliki partner untuk terus menjaga dan memperkuat hafalan. Abah Nasih menegaskan bahwa partner ini secara umum ditentukan oleh lingkungan. Partner bisa teman, kolega, atau murid. Partner sangat diperlukan untuk memastikan hafalan benar-benar valid dengan cara melakukan saling simak. Keempat, tidak menemukan apa yang akan diperjuangkan selama dalam proses menghafalkan al-Qur’an. Abah Nasih menegaskan bahwa hal ini pun tetap berkaitan dengan pemahaman kepada makna. Motivasi yang bersifat abadi dan utuh adalah motivasi dalam ayat-ayat al-Qur’an yang dipahami. Penemuan tentang apa yang akan diperjuangkan, akan membuat semangat penghafal al-Qur’an makin membara. Al-Qur’an menjadi sebuah visi hidupnya yang harus diwujudkan dengan mengemban misi. Dan karena visi di dalamnya sangat besar, maka akan memacu adrenalin penghafal, sehingga menjadi pribadi yang tangguh dengan ambisi besar dan daya tahan yang kuat. Wallāhu a’lām bi al–shawāb.
Oleh: Ina Izatul Muna, Disciple 2012 Monash Institute, Dosen IAIN Salatiga