Berdiri di Jalan Sunyi

Baladena.ID/Istimewa

Judul di atas saya anggap tepat untuk Mohammad Nasih. Kedekatan hubungan saya dengan Mohammad Nasih tidak sedekat Mokhamad Abdul Aziz dan Su’udut Tasdiq, teman seangkatan saya di Monash Institute. Nama terakhir adalah orang yang menyesatkan saya ke jalan kebenaran yang  dipandu oleh Mohammad Nasih. Mungkin sekitar 5 tahun, pastinya tahun 2011-2016, saya jalani perkaderan secara super intensif sebagai mahasantri Mohammad Nasih Di Monash Institute. Pada periode tersebut, markas besar Monash Institute beberapa kali pindah yang awalnya di rumah kontrakan Ringinsari II, sampai akhirnya sekarang punya bangunan megah sendiri di Jalan Tanjungsari Barat I dan II, Tambakaji, Ngaliyan.

Menghidupkan sosok Mohammad Nasih di antaranya dengan penerbitan buku ini tentu diwarnai maksud mengangkat ke permukaan sosok teladan. Sosoknya yang menginspirasi keringnya keteladanan dan pribadi yang inspiratif. Jika ada sosok malaikat yang nampak di dunia ini, orang itu adalah Mohammad Nasih. Sudah banyak rumah perkaderan yang Mohammad Nasih dirikan, mulai dari Semarang, Jakarta, hingga di pelosok Desa Mlagen demi menciptakan kader penerus yang berdikari dan siap memimpin negeri. Itu dilakukannya tidak dengan maksud mengkultus-individukan seseorang (dan berdasarkan pengalaman, pastinya beliau tidak berkenan diperlkukan demikian), tidak juga memaksakan, melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, utamanya integritas dan kebersihan hati dalam berjuang.

Saya masih ingat betul kisah dibalik awal mula Monash Institute didirikan. Demi menjaga integritas dan kebersihan hati dalam berjuang, Mohammad Nasih membiayai sendiri pendirian Monash Institute di Semarang dari hasil penjualan panen tebu di Mlagen. Awal mulanya Mohammad Nasih menggaet kader-kader unggulan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk dijadikan Mentor mahasantri periode-periode awal. Para mentor tersebut diberikannya amanat untuk mengajar ilmu-ilmu yang dapat menunjang prestasi mahasantri di kampus. Secara tidak langsung, selain menjadi guru, para mentor juga menjadi senior saya di HMI, karena seluruh mahasantri Monash Institute berhimpun di HMI. Sebagaimana wajarnya senior di organisasi, para mentor juga banyak memberikan arahan-arahan teknis organisasi yang pastinya searah dengan pandangan hidup di Monash Intitute.

Yang paling berkesan bagi saya, Mohammad Nasih sebagai pengasuh memperlakukan mentor dan kami anak didiknya ibarat keluarga. Dirinya menyebut kami sebagai keluarga ideologis, yang berarti hubungan kekeluargaan kami disatukan oleh persamaan prinsip dan pandangan hidup yang sama. Ketulusan dan keikhlasannya sebagai seorang guru dan teladan sangat dalam saya rasakan. Setelah pulang dari Jakarta, tujuan utamanya adalah mengajar di Monash Institute. prinsip keteguhan niat dalam menuntut ilmu dengan dibarengi kerja keras dengan disiplin tinggi adalah prinsip utama yang ditanamkannya kepada mahasantri.

Sebagai seseorang yang telah lama hidup di Jakarta, terhitung kira-kira semenjak menempuh S2  Ilmu Politik di Universitas Indonesia pada tahun 2003, Mohammad Nasih memiliki jaringan politik yang luas dan namanya dikenal banyak orang. Kiprah politiknya terhitung bagus melihat usianya yang masih muda. Bahkan, Mohammad Nasih lebih seringnya bergaul dengan politisi yang jauh lebih tua darinya, misalnya, AM Fatwa, Zulkifli Hasan, Fakhri Ali, dan lain-lain. Kiprahnya di dunia akademis juga terbilang sangat mentereng. Mohammad Nasih masuk dalam jajaran pengajar di program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia dan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Namun, itu semua bukanlah jalan yang Mohammad Nasih anggap sebagai jalan perjuangan yang sesunggunya. Ketertarikannya untuk masuk dalam pusaran politik Republik ini tidak sebesar ketertarikannya untuk menciptakan kader muslim, intelektual, profesional yang tujuannya demi memakmurkan Indonesia. Dirinya lebih tertarik menempuh jalan sunyi kembali ke daerah dan desa-desa untuk mendidik anak-anak mudanya dengan berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Langkah nyatanya dibuktikan dengan merekrut anak-anak muda pilihan yang kemudian dikuliahkan dan diberikan pendidikan tambahan di asrama. Tidak berhenti di situ, baru-baru ini ia mendirikan SMP yang kegiatan belajar mengajarnya menyatu dengan alam. Sebuah terobosan yang jarang sekali diambil oleh kebanyakan orang. Semua itu dibiayainya dengan dana sendiri dan dana-dana lain yang sifatnya tidak mengikat demi menjaga independensi dan kemurnian perjuangan tanpa mengharapkan profit sedikitpun.

Juga perlu diamati bahwa Mohammad Nasih mengambil jalan sunyi tersebut tidak secara instan dan tiba-tiba. Ketika masih S1, Mohammad Nasih sering menjadi pemateri di training-training Himpunan Mahasiswa Islam sampai ke pelosok-pelosok desa. Dari situ, dirinya menjadi terbiasa menyampaikan materi keIslaman di depan publik. Berbekal kemampuan membaca kitab-kitab klasik dan hafalan al-qur’an 30 juz, tak jarang ilmu-ilmu yang belum banyak diketahui orang ia sampaikan. Selain itu, kemapuan kepemimpinannya terasah berkat aktif berorganisasi di HMI dari tingkat Komisariat sampai dengan Pengurus Besar. Diskusi, aksi, dan publikasi sudah menjadi kebiasaannya yang melekat hingga kini.

Selain seorang cendikia dan aktivis, Mohammad Nasih juga man in the action. Walaupun berkecimpung di dunia pendidikan dan politik di Jakarta dan Semarang, tidak membuatnya meninggalkan dunia pertanian di desa. Terhitung puluhan hektar lahan pertanian ia kelola dengan melibatkan tenaga pertanian dari desa. Tujuannya untuk mengurangi pengangguran yang masih banyak sekali menyebar di pedesaan. Prinsip yang sangat saya kagumi darinya dalam mengelola pertanian adalah bertani asalkan tidak rugi saja sudah dianggapnya untung. Yang penting banyak masyarakat desa yang bisa tercukupi kebutuhannya dari pertanian yang ia kelola. Dan jika ada keuntungan walaupun sedikit, akan ia alokasikan untuk memberdayakan umat.

Mohammad Nasih, mungkin tidak sekedar nama, tetapi sosok yang berintegritas, berbicara lugas, dan bersedia mengambil jalan yang tidak populer demi kemaslahatan banyak orang. Sebenarnya saya sangat tidak suka menggunakan kata “merakyat” dalam menggambarkan seseorang, tapi memang kata itu pantas disematkan kepada sosok Mohammad Nasih.

Oleh: Muhammad Iqbal Haidar, Disciple 2011 Monash Institute, Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.

banner 300x250

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *