Sebagai insan yang sama-sama lahir di Desa Mlagen, Rembang, Jawa Tengah, saya cukup mengenal sosok Mohammad Nasih, meskipun baru bertatap muka pada tahun 2012 silam ketika saya sedang menjalankan rangkaian tes masuk Monash Institute Semarang.
Mas Nasih, begitu anak-anak dan masyarakat Mlagen memanggilnya, dikenal sebagai sosok yang sukses di bidang akademik. Bagaimana tidak? Pada tahun 2010, ia sudah menyelesaikan studi S3. Sebuah fenomena langka, memang. Jangankan S3, jenjang sarjana (S1) saja pada tahun itu—di desa saya—belum banyak. Nampaknya kesuksesan dalam bidang akademik itu sampai detik ini, dalam lingkup satu desa (Mlagen-red), belum ada yang bisa memecahkan capain Mas Nasih.
Namun capaian akademik Mas Nasih itu seolah tenggelam. Rasa kagum saya—mungkin juga sebagian masyarakat Mlagen kala itu—terhadap Mas Nasih berubah drastis. Perubahan itu dimulai ketika pada tahun 2004, ia maju menjadi salah satu calon legislatif (caleg) DPR RI Dapil Jateng I dari Partai Amanat Nasional (PAN). Pada saat inilah, Mas Nasih lebih dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah. Alasan ini logis karena ia memilih PAN–yang identik dengan Muhammadiyah– sebagai kendaraan dalam politiknya.
Bagi saya, juga sebagian besar masyarakat Desa Mlagen, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang dipandang sebelah mata. Bahkan tidak sekedar itu, ada yang menilai—saya termasuk dalam golongan ini—bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang jelek, negatif, organisasi Islam yang bertentangan dengan Islam. Sehingga, selain tidak mendapatkan ruang di dalam pikiran masyarakat desa saya kala itu, aktivis Muhammadiyah juga harus dijauhi. Mengapa? Karena, sekali lagi, dianggap ‘sesat’. Dengan demikian, jangankan menaruh hormat dan kagum pada Mas Nasih, yang ada justru saya tidak suka (sinis), bahkan sempat menganggapnya sebagai ‘lawan’.
Pandangan saya tersebut tidak lepas dari cara beragama (ber-Islam) saya dahulu, yakni berdasarkan kata orang lain (Islam warisan), penganut NU akut sehingga fanatik berlebihan. Ditambah lagi ‘miskin’ pengetahuan, terutama pengetahuan dalam bidang agama. Akibatnya, cara beragama seperti ini auto membawa saya ke dalam lembah suram yang bernama kolotisme yang berujung pada pandangan sempit nan dangkal. Hal ini terlihat, salah satunya, dari pandangan saya yang menganggap bahwa hanyalah NU (Nahdlatul Ulama) yang benar, selain NU, salah.
Selain mimimnya pengetahuan dalam bidang agama (Islam), cara beragama saya masih warisan dari orang tua atau tokoh spiritual di lingkungan saya kala itu. Di mana hampir semua tokoh agama adalah mereka yang memiliki mazhab dan organisasi sama. Parahnya, dalam konteks untuk mempertahankan status quo, pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam memahami suatu teks yang memiliki beragam makna dan sumber, mereka mengutip pendapat ulama yang memiliki pandangan yang searah dengan mazhab atau organisasi yang dianut tanpa menyebutkan pendapat dari mazhab lain. Hemat kata, tidak ada wacana atau pendapat ulama lain yang berkembang dan disampaikan kecuali yang berhaluan Nahdlatul Ulama. Ruang perbedaan yang di dalamnya mengemukakan dialektika seorang mujtahid dari berbagai golongan tidak bisa ditemukan di sini.
Hasil didikan dengan model cara beragama sebagaimana di atas adalah generasi yang kolot, fanatik berlebihan terhadap organisasi selain yang dianut, mudah membid’ahkan, dan lain sebagainya. Generasi yang gagap terhadap perbedaan. Walhasil, afiliasi organisasi keagamaan Islam saja seringkali menjadi penyebab masalah kecil atau besar yang seolah tak berkesudahan. Kira-kira seperti inilah Islamku yang dulu.
Abana dan Pemahaman Islamku
Namun, setelah saya mengenal dunia yang lebih luas dari sekedar sebuah desa, kemudian bergaul dengan banyak orang dari berbagai golongan, suku etinis dan organisasi, pandangan dan cara beragama saya berubah drastis. Berubah dalam artian lebih komprehensif dan memiliki banyak perspektif, tidak kagetan, juga tidak fanatik berlebihan.
Di balik perubahan pemahaman dan cara ber-Islam saya dari kolot (eksklusif) menjadi inklusif, dan tradisionalis menjadi reformis, ada sosok Abana Mohammad Nasih. Beliau-lah yang mengajarkan saya tentang banyak hal, bahkan yang membongkar pemahaman Islam saya yang dulu. Berdasarkan beberapa hasil kajian bersama Abah Nasih, setidak-tidaknya terdapat lima pemahaman Islamku yang baru, tak seperti pemahaman Islamku yang dulu.
Pertama, sentuhan yang membatalkan wudlu. Adalah benar bahwa Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika salah satu tubuh seorang lelaki menyentuh badan istri (perembuan bukan mahrom) baik dengan tangan atau selainnya, maka batal wudlunya. Pendapat Imam Syafi’i ini didasarkan kepada firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: 6.
Dalam tafsir at-Thabari dijelaskan bahwa Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Umar, Ashim, da Ibnu Amir membaca kalimat dalam QS. Al-Maidah ayat 6 menjadi lâmastum. Sedangkan al-Kisa’i membacanya: lamastum dan kalimat ini mempunyai tiga makna: pertama, kalimat lamastum bermakna jâma’tum (berjima’). Kedua, bermakna bâsyartum (bersenang-senang atau meraba-raba).
Ketiga, mencakup semua makna tersebut secara bebarengan. Yang demikian ini merupakan makna kalimat berdasarkan pemahaman kebanyakan orang atau mufassir. Hanya ada satu tokoh saja yang mengartikan kata ini agak berbeda, yakni Muhammad bin Yazid, yang mengatakan bahwa lâmastum bermakna qabaltum ( mencium) atau memandangnya. Sebab, kedua kalimat tersebut mengandung makna aktif. Sedangkan lamastum bermakna ghasyaitun (memeluk) atau masastum (menyentuh). Lihat Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurthubi Juz 5: 529-540.
Mengenai hukum ayat ini, para ulama berbeda pendapat. Setidaknya terdapat empat golongan. (1), makna menyentuh dalam ayat ini hanya dikhususkan dengan tangan, sedangkan orang yang junub tidak disebutkan, sehingga wajib membasuh tubuhnya dengan tangan tetapi cukup dengan air saja. Jelasnya, tidak ada jalan baginya untuk tidak mandi junub ketika ingin menunaikan shalat. Adapun kelompok yang berpandangan seprti ini adalah Abu Umar dan Ibnu Mas’ud.
(2), kata menyentuh dalam konteks ayat ini secara khusus dimaksudkan adalah sentuhan ketika berjima’. Alhasil, orang yang junub harus mandi atau tayamum, sedangkan orang yang menyentuh perempuan dengan tangannya saja, maka tidak termasuk dalam golongan ini. Singkatnya, penjelasan terakhir ini mengisyarakatkan bahwa ia tidak dikatakan berhadas—tidak batal wudlunya. Ulama yang mengatakan demikian itu salah satunya adalah Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi).
Pendapat di atas diperkuat oleh Hadits yang diriwayatkan oleh A-Daraqathni, dari Aisyah, bahwa Nabi Saw. mencium beberapa istrinya kemudian ia keluar menunaikan shalat dan tidak berwudlu lagi (HR. Ad-Daraquthni, Sunan Ad–Daraquthni (1/138). Kemudian, ada sahabat (Nurwah-red) bertanya kepada Aisyah: “Bukankah itu kamu sendiri?” mendengar hal tersebut, Aisyah tersenyum simpul (Qurtubhi, 530.).
(3), menyentuh dengan tujuan jima’ atau menimbulkan syahwat, maka wajib wudlu. Jadi, titik tekan golongan ini adalah menyentuh dengan tangan tanpa menimbulkan syahwat tidak membatalkan wudlu. Jika yang terjadi sebaliknya; menyentuh seorang wanita dengan syahwat, maka ia harus wudlu. Lebih jauh lagi, ketika seorang laki-laki menyentuh perempuan kemudian laki-laki itu ereksi atau keluar madzi, maka wudlunya menjadi batal. Pendapat ini merupakan ijtihad Imam Malik (Madzhab Maliki).
(4), Golongan Asy-Syafi’i. Bagi Imam Syafi’i, jika salah satu tubuh seorang laki-laki menyentuh badan perempuan atau istrinya baik dengan tangan atau selainnya, maka batal wudlunya.
Perbedaan dikalangan ulama tidak bisa dihindarkan. Yang terpenting, perbedaan itu jangan sampai menimbulkan sikap saling menyalahkan. Orang yang menganggap perbedaan sebagai sebuah penghinaan terhadap kelompok tertentu, kata Rumadi adalah sikap kekanak-kanakan dalam beragama (Zuhri Qudsi, 2007). Dalam hal ini, petuah Ibnu Rusyd patut dicanangkan. Ulama asal Andalusia itu pernah berujar: ra’yuna shahih yuhtamil al-khata’, wa ra’yu ghairina khata’ yahtamil al-shahih ( pendapat kami benar, tetapi ada kemungkinan mengandung kesalahan; dan pendapat selain kami salah tetapi mungkin juga mengandung kebenaran).
Point penting dari ungkapan ulama kenamaan di abad pertengahan itu adalah tidak perlu memutlakkan pemahaman dan pendapat tertentu. Sebab, kebenaran mutlak itu hanya satu, yaitu milik Allah Saw.
Akan tetapi, kebanyakan orang Indonesia mengetahui dan menganut pendapatnya Imam Syafi’i saja. Tak ayal jika ada seseorang memakai pendapat Imam Hanafi yang mengatakan bersentuhan dengan wanita saja tidak membatalkan wudlu, dianggap sebagai sebuah keanehan, bahkan disalahkan. Barangkali fenomena seperti ini wajar mengingat materi ke-Islaman yang disuguhkan para alim-ulama atau guru kita adalah Madzhab Syafi’i saja, sehingga ada kecenderungan menyalahkan kelompok lain.
Pelajaran yang dapat diambal adalah kita harus bermadzhab secara kritis, yakni tidak mengacu pada satu madzhab saja. Lebih dari itu, kita juga harus mencari sendiri kebenaran tersebut. Jangan taqliq buta! Inilah yang diajarkan, bahkan berkali-kali ditekankan oleh Abana kepada saya dan muridnya.
Kedua, memegang al-Qur’an harus wudlu. Dulu, tepatnya ketika saya duduk di bangku Madrasah Diniyyah kelas 5 wustho, guru saya pernah menjelaskan bahwa ketika memegang al-Qur’an—entah dibaca atau hanya sekedar memegang—harus mempunyai wudlu. Dalil yang digunakan oleh guru saya adalah surat al-Waqi’ah ayat 79 (La yamassuhu illa al-muthahharun).
La yamassuhu illa al-muthahharun menjadi bahasan panjang lebar para ulama. Kebanyakan, para ulama mempersoalkan apa yang dimaksud dengan yamassuhu dan kemana pengganti nama pada kalimat tersebut tertuju, dan siapa pula yang dimaksud dengan al-muthahharun.
Dalam Tafsir al-Misbah karya Quraish disebutkan bahwa mayoritas ulama memahami pengganti nama tersebut tertuju pada al-Qur’an yang dinyatakan terdapat di kitab yang terpelihara. Atas dasar tersebut mereka memahami kata al-mutahahrun dalam arti malaikat. Sebab, manusia tidak bisa dibayangkan mempu mencapai lauh al-Mahfudz itu. Selain itu, ayat dipahami sebagai bantahan kaum musyrikin yang menduga bahwa al-Qur’an adalah karya jin dan dukun yang dibiskkan oleh setan.
Ada lagi yang memahami pengganti kata tersebut tertuju kepada al-Qur’an, yakni yang berbentuk mushhaf/kitab suci. Atas dasar itu, sementara ulama berpendapat bahwa al-qur’an tidak boleh disentuh dengan tangan siapapun yang tidak suci dari hadats besar dan atau kecil.
Ulama yang berpendapat bahwa memegang al-Qur’an haruslah dalam keadaan suci, yakni berwudhu adalah Imam Maliki, Syafi’i, dan salah satu riwayat yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal. Adapun Abu Hanifah, ia menilai perintah bersuci itu anjuran (Quraish Shihab, 2012: 382-382).
Uraian di atas sungguh sangat jelas bahwa yang dimaksud orang yang disucikan adalah malaikat. Dengan demikian, memegang al-Qur’an tanpa wudlu sebenarnya tidak menjadi masalah yang berarti seperti anggapan orang di kampung. Orang di kampung menganggap bahwa memegang al-Qur’an harus wudlu terlebih dahulu. Jika tidak, maka ia berdosa. Bisa dibayangkan ketika kita sedang makan-makanan yang dapat menyebabkan kentut berkali-kali. Pastinya waktu membaca al-Qur’an akan banyak yang tersita. Apalagi ketika dalam keadaan jauh dari air bersih. Jika harus mempunyai wudlu terlebih dahulu sungguh merepotkan banget, bukan? Singkatnya, membaca al-Qur’an tidak harus wudlu. Kalau wudlu terlebih dahulu itu lebih baik.
Ketiga, orang kaya masuk surga belakangan. Diakui maupun tidak, sebagian besar dari kita memiliki pandangan bahwa kelak, di akhirat, orang kaya akan masuk surga belakangan. Hal ini dapat dipahami mengingat para kiai atau ulama baik di pesantren maupun di luar pesantren—dalam forum pengajian—seringkali mengampanyekan bahwa menjadi orang miskin yang sabar, selalu bersyukur, dan rajin beribadah lebih mulia dari pada orang kaya. Bahkan, tak tanggung-tanggung, para alim-ulama dengan percaya diri menyodorkan sebuah hadits terkait hal ini.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang miskin akan masuk surga mendahului orang-orang kaya selama setengah hari atau sepadan dengan 500 tahun.” (H.R. Turmidzi : 2277).
Tak berhenti sampai di sini, lazimnya, para alim-ulama atau kiai salaf memberikan penjelasan tambahan bahwa kelompok yang pertama kali minum telaga Rasulullah yang lebarnya sepanjang perjalanan satu bulan adalah orang miskin. Mereka (alim-ulama-red) berpandangan bahwa orang miskin akan mendahului orang kaya masuk surga karena orang kaya masih disibukkan dengan hisabnya.
Sebagaimana yang mafhum dipahami bahwa setiap perbuatan, umur, anggota tubuh, harta, dan semua yang pernah dimiliki dan digunakan manusia kelak akan dihisab. Dalam konteks ini, orang miskin secara otomatis tidak begitu mengahadapi kerepotan yang berarti ketika masuk tahab penghisapan harta. Sebab, orang miskin tidak mempunyai harta. Berbeda dengan orang kaya pastinya lebih sibuk dan rumit karena ditanya ini dan itu, apakah hartanya digunakan dijalan Allah atau justru digunakan untuk zina dan lain sebagainya.
Namun, hadits tersebut jika dipahami seperti halnya uraian di atas sungguh sangat disayangkan. Betapa tidak. Implikasi dari pandangan tersebut adalah miskin itu lebih mulia dari pada kaya tetapi cobaannya dan pertanggung-jawabannya berat sekali. Adalah benar jika orang miskin itu akan masuk surga terlebih dahulu. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa walaupun orang miskin lebih dahulu masuk surga dari orang kaya, namun derajat dan kemuliaan di dunia dan di akhirat pastilah lebih tinggi orang kaya. Logikanya sederhana, jika orang miskin bisa syukur, beribadah rajin, tetapi orang kaya bisa melakukan lebih dari itu, yakni beramal yang berkaitan dengan harta; bersedekah, infaq, wakaf, naik haji, membina sekaligus memberdayakan anak yatim, aqiqah, dan masih banyak lainnya.
Kesimpulannya, kita harus kaya raya dan berkuasa tetapi tidak boleh meninggalkan sifat baik orang miskin yang selalu bersyukur dan taat beribadah. Pada akhirnya, kemuliaan manusia di hadapan Sang Maha Penguasa Alam Semesta adalah derajat ketaqwaan (QS. Al-Huujarat: 13).
Keempat, zuhud yang keliru. Satu lagi cara ber-Islam penulis yang perlu diluruskan di masa kekinian adalah konsep zuhud. Selama ini, alim-ulama salaf memaknai zuhud sebagai benci kehidupan dunia sehingga harus ditinggalkan jika benar-benar ingin mengenal Allah secara mendalam (ma’rifat-red). Alhasil, implementasi dari pandangan seperti ini adalah hidup miskin semiskin-miskinnya dengan cara menjauhi materi yang berbau duniawi. Lebih dari itu adalah menyepi dari keramaian. Tentu sangat lucu sekali cara pandang zuhud yang demikian ini. Bagaimana tidak, hidup di dunia kok dibuat serepot dan sekolot itu. Apakah zuhud harus menolak kenikmatan dunia dan dibuktikan dengan cara berpakaian seperti gembel? Apakah milyader tidak bisa dikatakan zuhud? Sungguh ngeri sekali cara beragama seperti ini!
Zuhud bukanlah berpakaian seperti gembel, identik dengan “orang miskin”, duduk di masjid per puluh-puluh jam dan tidak melakukan kegiatan lain selain berdzikir. Model zuhud seperti ini adalah zuhud orang pada zaman dahulu. Bahkan, sejarah mencatat bahwa kegiatan para sufi seperti yang telah disebut di atas adalah supaya mendapat kepercayaan kepada masyarakat bahwa ia adalah ahli ibadah sehingga ketika ia meminta-minta akan dikasih.
Persoalan zuhud adalah persoalan tasawuf. Berbicara terkait tasawuf, alangkah lebih baiknya menyinggung pemikiran tokoh kenamaan sepert Fazlur Rahman yang kala itu ia sungguh getol mengkritik habis-habisan para sufi. Tak heran jika Fazlur Rahman mengatakan bahwa ajaran-ajaran moral sufi yang diwariskan selama ini tidak sesuai dengan al-Qur’an. Selain itu, kebanyakan pemikir kreatif di dunia Islam “dipasung” oleh dunia sufieme. Lebih jauh lagi, Rahman mengatakan bahwa matrik panteisme yang mendominasi wacana sufisme adalah salah satu yang jelas-jelas menyimpang. Jadi, ajaran model seperti ini, menurut Rahman merupakan barang adopsi dari luar Islam yang tidak ada dalam al-Qur’an (Sibawaihi, 2007: 29). Atas dasar ini pula, Rahman menawarkan paradigma neosufisme.
Lebih detailnya, Prof. DR. Hamka, menjelaskan bahwa konsep zuhud adalah tidak termotivasi terhadap dunia, kemegahan, harta benda, dan pangkat (Hamka, 1987: 226). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pelaku zuhud tidak melulu harus meninggalkan urusan duniawi sama sekali. Titik tekannya zuhud adalah tidak bergantung atau terikat pada urusan duniawi. Terkait hal ini, Imam Ahmad berkomentar bahwa zuhud adalah ketika mendapatkan sesuatu tidak terlalu euforia. Ketika kehilangan sesuatu, tidak bersedih. Singkatnya, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna ketika di akhirat. Dengan demikian, seoarang milyader pun bisa menjadi seseorang yang zuhud dengan catatan harta tersebut digunakan untuk kebaikan kelak di akhirat.
Mengakhiri uraian ini, penulis mengajak kepada umat Islam—terutama penganut Islam doktriner—untuk segera menginstal ulang pemahaman keislaman. Mari kita ber-Islam secara kritis. Oleh karena itu, mari kita lepaskan belenggu Islam yang dulu dan beku, yang menjadikan pemahaman kita parsial dan “benci” terhadap pembaharuan. Dan tak kalah pentingnya kita harus kritis terhadap sebuah tradisi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pembacaan tradisi dengan pendekatan objektivitas dan rasioanlitas (Ali Riyadi, 2007: 149). Sebuah tradisi yang direpresentasikan oleh teks atau budaya tertentu tidaklah sekedar produk sejarah belaka, melainkan dapat hidup terus.
Berbagai pemahaman yang kaya sebagaimana telah diuraikan di atas tidak pernah saya dapatkan di bangku sekolah selama hampir belasan tahun. Namun, ketika saya masuk dan berproses di Monash Institute Semarang, banyak pemahaman dan pencerahan baru yang saya dapatkan. Di sinilah Abana turut menjadi guru spiritual saya yang mampu melepaskan belenggu Islamku yang dulu. Tentu masih banyak pemahaman lain yang disampaikan oleh Abana dalam kajian-kajian bersama beliau, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun, lima poin di atas setidaknya merupakan representasi betapa pemahaman keislaman saya dulu kurang komprehensif.
Oleh: Muhammad Najib, CEO Baladena.ID, Mahasiswa Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta