MENERUSKAN AGENDA REKONSTRUKSI PEMIKIRAN (Bagian I)

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Pengajar Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang dan Pengasuh Pesantren Planet NUFO Rembang

Dalam acara pernikahan sahabat saya, Helmi Irkham, di Kendal, saya bertemu dengan Mas Anas “AU” Urbaningrum. Setelah acara selesai, Mas AU meminta saya untuk menjadi pemberi “ular-ular” dalam acara buka bersama PB HMI angkatan 1997-1999 di kediamannya, Duren Sawit, Jakarta Timur tanggal 1 Maret 2023. Tentu saja, tawaran Mas AU itu saya iyakan. Bukan, hanya karena Mas AU adalah senior saya, tetapi saya merasa bahwa forum alumni HMI adalah forum yang paling memungkinkan saya bicara tentang apa saja yang tidak mungkin saya angkat dalam forum yang lain. Sebab, para aktivis HMI sudah dibiasakan untuk berpikir bebas dan berdialektika. Apalagi saya ingin agar para alumni HMI tertarik untuk memasukkan anak-anak mereka ke Planet NUFO yang saya disain untuk mempersiapkan mereka menguasai al-Qur’an, sainstek, dan memiliki keterampilan hidup untuk menjadi pengusaha.

Maka forum di rumah Mas AU saya manfaatkan untuk mengangkat tema besar melanjutkan ide Muhammad Iqbal untuk melakukan rekonstruksi pemikiran religius dalam Islam. Sebab, memang cukup banyak pemikiran yang dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Islam telah mengalami distorsi, bahkan melenceng jauh, bahkan tidak sedikit yang berkebalikan. Tanpa kami koordinasikan, ketika Mas AU diminta untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata sebagai shahibul bayt, yang disampaikannya adalah seputar HMI sebagai organisasi yang melahirkan banyak birokrat dan politisi, tetapi masih minim melahirkan pengusaha dalam arti yang sesungguhnya. Padahal dalam politik berbiaya tinggi yang disebabkan oleh yang disebutnya dengan amplopisme, para aktivis bisa “tersungkur” dalam Pemilu. Ini adalah kerasahan saya sejak tahun 2008 dan mendorong saya pada tahun 2011 mendirikan sebuah pesantren mahasiswa yang saya beri nama Rumah Perkaderan Monasmuda Institute di depan kampus III UIN Walisongo Semarang dengan motto “Berilmu, Berharta, dan Berkuasa” dan kemudian juga Pesantren “Planet NUFO” Nurul Furqon di kampung kelahiran saya, Rembang.

Di antara yang saya angkat dalam forum di rumah Mas AU adalah paradigma tentang takbiratul ihram, harta kekayaan, dan khilafah agar bisa menyambung apa yang telah dimulai Mas AU. Soal takbiratul ihram saya angkat agar semua yang hadir, yang walaupun tidak memiliki latar belakang disiplin keilmuan Islam bisa terlibat, karena setiap hari melakukannya minimal lima kali. Masalah yang saya angkat adalah distorsi pemahaman tentang takbiratul ihram yang terjadi dalam kurikulum pendidikan Islam dan ini sangat fatal. Dan untuk meyakinkan tentang distorsi pemahaman itu, saya bertanya kepada audiens tentang kenapa takbir yang pertama dalam shalat itu disebut takbiratul ihram?

Ternyata jawaban yang muncul dari salah satu audiens malam itu adalah sama dengan pengertian yang ada dalam banyak kitab fikih yang digunakan di pesantren di Indonesia. Disebut takbiratul ihram karena mengharamkan segala sesuatu yang sebelumnya halal menjadi haram. Saya kemudian menanyakan contohnya yang dijawab dengan makan, minum, dan kentut. Lalu saya mengajak untuk berlogika sederhana: apakah berdosa kalau orang yang shalat kentut setelah takbiratul ihram? Sebagian besar menjawab tidak, tapi batal. Di sinilah masalahnya mulai terpahami dengan mudah. Ternyata dengan logika sederhana saja, definisi takbiratul ihram yang telah mengendap sejak sekolah dasar dan menengah itu runtuh total. Dan makna takbiratul ihram yang sesungguhnya bisa dipahami dengan mudah dengan istilah-istilah yang sudah sangat populer di kalangan umat Islam, yang awam sekalipun.

Jadi persoalannya ada pada kekeliruan memaknai ihram yang hanya dimaknai dengan mengharamkan. Sebab, ihram berasal dari kata ha-ru-ma, ya-h-ru-mu, hu-r-ma-tan. Kata hurmatun diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hormat. Karena itu takbiratul ihram mestinya dipahami sebagai takbir sebagai penanda kita masuk dalam aktivitas menyucikan atau menghormati Allah Swt.. Dengan analogis sederhana, shalat adalah upacara. Kalau dianalogkan dengan upacara bendera, ada pembina upacara dan juga bendera merah putih yang mendapatkan penghormatan dipimpin oleh pemimpin upacara. Sedangkan pemimpin shalat adalah imam.

Pemahaman itu bisa ditelusuri dari beberapa ayat dalam al-Qur’an dan juga hadits Nabi. Makna asli haraam adalah suci, sehingga kata haraam dilekatkan pada kata masjid yang merupakan rumah paling awal yang dibangun di Makkah sebagaimana disebut al-Qur’an:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Isra’: 1)

Yang menarik adalah, Masjid al-Aqsha yang disebut dalam ayat ini juga memiliki nama lain Baytul Maqdis, artinya adalah rumah yang suci. Jadi, kedua masjid, baik yang ada di Makkah maupun yang ada di Palestina, keduanya disebut sebagai tempat yang suci dan karena itu harus dimuliakan.

Makkah dan sekitarnya juga disebut sebagai tanah haram. Batasannya bagian utara adalah Tan’im, berjarak 6 km dari Makkah, bagian selatan adalah Adhah, jaraknya 12 km dari Makkah, bagian timur adalah Ji’ranah, berjarak 16 km dari Makkah, bagian timur laut adalah Wadi Nakhlah jaraknya 14 km dari Makkah, dan bagian barat dibatasi oleh Syamisi, berjarak 15 km dari Makkah. Wilayah ini disebut tanah haram tentu saja bukan dimaksudkan sebagai larangan untuk dimakan, tetapi karena wilayah ini disucikan oleh Allah, sehingga ada berbagai konsekuensinya. Di antaranya adalah kaum musyrikin tidak boleh memasukinya, karena mereka dinilai najis sebagaimana ketetapan al-Qur’an.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا ۚ وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Taubah: 28)

Karena itulah, bacaan-bacaan dalam shalat, bisa dikatakan hampir secara keseluruhan adalah ungkapan penghormatan kepada Allah. Mekanismenya diatur dalam surat al-Nahsr ayat terakhir:

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (al-Nashr: 3)

Dalam konteks ini, makna kata tasbih kadang sinonim dan kadang berhimpitan dengan kata hurmat. Maka cara menyucikan dan memuliakan Allah dalam ayat ini adalah membaca tasbih, hamdalah, dan istighfar. Dan ketiga ungkapan itu terdapat dalam iftitah, al-Fatihah, bacaan ruku’, bacaan i’tidal, bacaan sujud, dan juga bacaan di antara dua sujud.

Dengan memahami makna takbiratul ihram ini dengan benar, akan bisa dipahami orientasi shalat yang dilakukan. Kalau pemahaman yang salah sebagai takbir yang mengharamkan segala sesuatu yang sebelumnya halal seperti makan, minum, dan kentut, maka shalat bertujuan untuk menghindari ketiganya. Namun, jika dipahami sebagai takbir sebagai penanda untuk menyucikan dan memuliakan Allah, maka shalat diorientasikan secara total untuk berfokus demi menyucikan, memuliakan, dan menghormati Allah Swt.. Sedangkan menghindari makan, minum, dan kentut untuk sementara waktu hanya sekedar konsekuensi saja agar shalat benar-benar bisa dijalankan secara khusyu’ dan tawadlu’, karena sedang berhadapan dengan raja di atas raja (maalik al-mulk).

Nah, pemahaman ini memerlukan ilmu alat dasar dan penguasaan kepada al-Qur’an dan hadits. Dengan jalan ini, para kader HMI yang dalam setiap upacara resmi selalu menyanyikan hymne HMI benar-benar bisa “turut al-Qur’an dan hadits, jalan keselamatan”. (BERSAMBUNG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *