Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengajar Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang dan Pengasuh Pesantren Planet NUFO Rembang
Motto Rumah Perkaderan Monasmuda Institute Semarang “Berilmu, Berharta, dan Berkuasa” yang kemudian sering dijadikan yel-yel di Pesantren dan Sekolah Alam Planet NUFO Rembang “Cerdas, Kaya, Berkuasa” sesungguhnya diinspirasi pertama kali oleh pernyataan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani; laa yanbaghii li al-faqiir an yatashaddaa wa yatashaddara li irsyaad al-naas illaa an a’thaahu Allah ilm al-ulamaa’ wa siyaasat al-muluuk wa hikmat al-hukama’ (tidak layak bagi seorang salik thariqah untuk menjadi mursyid kecuali Allah telah menganugerahkan kepadanya tiga hal: keilmuan yang kokoh, keterampilan politik para penguasa, dan kebijaksanaan para ahli hikmah). Ungkapan ini begitu merasuk dalam pikiran saya saat saya kuliah S3 ilmu politik UI.
Saya melihat kemiripannya dengan ungkapan HOS Cokroaminoto “Sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu, secukup-cukup harta, dan sepintar-pintar siasat”. Ada satu lagi aktivis-pemikir yang gagasannya selaras dengan keduanya, yaitu Ali Syariati yang mengatakan bahwa revolusi bisa berjalan kalau ada tiga kekuatan berkolaborasi: raushan fikr (intelektual tercerahkan), bazari (pedagang), dan asykari (tentara).
Saat itu saya juga baru saja membaca sebuah disertasi bahwa para anggota DPR yang terpilih menghabiskan biaya yang rata-rata fantastis sampai milyaran rupiah. Karena itu, ungkapan ketiga tokoh besar itu saya padukan menjadi “Ilm al-Ulamaa’, wa Amwaal al-Aghniyaa’, wa Siyaasat al-Muluk wa al-Mala’, kapasitas keilmuan para ulama’, harta kekayaan orang-orang kaya, dan ketrampilan politik para penguasa dan elite politik”. Saya menambahkan kata al-mala’ setelah kata muluuk, yang saya artikan dengan bahasa kekinian dengan “elite politik”, karena di dalam al-Qur’an, kata ini beberapa kali disebut dalam kisah para penguasa negara-negara besar yang disebut oleh al-Qur’an.
Saya mengganti hikmat al-hukamaa’ dengan amwaal al-aghniyaa’ karena hikmat al-hukamaa’ bisa diasah dan didapatkan dari kedalaman ilmu yang benar-benar diimplementasikan dalam ranah politik, sehingga menghasilkan strategi dan taktik. Tetapi untuk merebut kekuasaan, di era sekarang dan sesungguhnya juga sejak dulu, diperlukan biaya yang tidak kecil. Tanpa politik uang pun, biaya politik tetap diperlukan dan jumlahnya cukup pasti signifikan. Sebab, untuk membangun ketokohan diperlukan kedermawanan dan berbagai aktivitas yang basisnya adalah uang. Ilmu adalah dasar. Sedangkan harta kekayaan adalah bukti bahwa ilmu itu aplikatif untuk juga menundukkan dunia, sehingga bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Namun, di kalangan umat Islam, terutama karena disebarkan oleh para ustadz populer dengan audiens kalangan awam, yang dominan adalah paradigma negatif tentang harta kekayaan. Seolah-olah, harta kekayaan adalah penghalang dari keintiman kepada Allah. Pandangan dan sikap tidak tepat umat Islam kepada harta kekayaan menyebabkan sebagian besar mereka tertinggal secara ekonomi. Dan itu sangat berpengaruh kepada capaian-capaian berikutnya.
Tentu saja itu tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad. Nabi Muhammad memulai “karirnya” sebagai seorang pedagang dan menikah dengan Khadijah, seorang pengusaha besar yang harta kekayaannya sering diungkapkan sebesar 2/3 kekayaan Makkah. Karena Khadijah sudah mendapatkan informasi bahwa suaminya adalah calon rasul terakhir yang mengemban beban perjuangan besar, maka sejak awal ia telah mempersiapkan diri untuk menjadi penolongnya, di antaranya dengan merelakan seluruh harta kekayaannya menjadi alat perjuangan. Sejak awal menikah, Khadijah sudah memberikan pernyataan tegas bahwa suaminya boleh menggunakan harta kekayaannya untuk apa pun yang diinginkannya. Dan benar, harta kekayaan itu kemudian habis untuk membantu banyak orang, dari memberi makan, pakaian, sampai memerdekakan para sahabat yang sebelumnya adalah budak belian. Karena semua telah dihabiskan, sering digambarkan bahwa Khadijah meninggal dalam keadaan di bajunya terdapat 83 tambalan.
Sayangnya, karena Nabi Muhammad dan istrinya menghabiskan harta kekayaan itu, justru dipahami bahwa harta kekayaan tidak penting. Nabi dan Khadijah bukan meninggalkan atau membuang harta kekayaan mereka, tetapi menggunakannya untuk keperluan dakwah. Tanpa sikap pengorbanan itu, apa yang dilakukan oleh Nabi bisa-bisa mendatangkan tuduhan bahwa ia hanya mencari pengaruh dan uang. Al-Qur’an bahkan sampai memerintahkan ungkapan tegas bahwa yang dilakukan Nabi bukan untuk itu.
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ
Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu bayaran pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. (al-Syura: 23)
Ungkapan semacam ini diulang-ulang oleh al-Qur’an dengan menggambarkan rasul-rasul yang lain yang juga melakukan hal yang sama. Mereka berdakwah sama sekali tidak meminta upah. Sebab, apa yang diberikan oleh Allah sudah jauh lebih baik dan juga lebih banyak. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan Khadijah, juga para sahabat, mestinya memantik kesadaran bahwa setiap perjuangan memerlukan pengorbanan, dan bentuknya yang paling nyata adalah mengorbankan harta kekayaan yang dicintai. Sederhananya adalah uang. Secara teoritik hal ini bisa ditangkap dari perspektif materialism historis Karl Marx yang secara jelas mengatakan bahwa sejarah ini digerakkan oleh materi. Tanpa kerelaan Nabi Muhammad dan istri tercintanya menghabiskan harta kekayaan, tidak akan pernah ada Islam yang tersebar sebagaimana sekarang.
Walaupun demikian, di Makkah, karena tidak memiliki kekuasaan politik, selama 13 tahun dan para sahabat paling awal melakukan dakwah kultural dengan jumlah pengikut yang belum signifikan. Diperkirakan hanya ribuan orang saja.
Al-Qur’an juga memandang harta kekayaan sebagai al-khayr (kebaikan). Kata ini juga bisa bermakna superlatif.
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.
Lebih dari itum secara tegas al-Qur’an menyatakan bahwa kebajikan tidak akan pernah bisa didapatkan, sampai seseorang mau menginfakkan harta kekayaan yang dicintainya.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Ali Imran: 92)
Di antara fungsi harta kekayaan yang disebutkan oleh al-Qur’an adalah jihad fii sabiilillah. Dan untuk ini jumlah yang diperlukan seringkali sangatlah besar dan tidak bisa hitung-hitungan.
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 261)
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (al-Nisa’: 95)
Mengeluarkan harta kekayaan diperlukan, karena orang-orang yang memiliki visi sebaliknya juga menggunakan harta kekayaan mereka. Karena itu, kebutuhan kepada harta kekayaan tentu saja tidak terhindarkan. Untuk mendapatkan keunggulan, maka strateginya harus lebih baik, dan untuk itu seringkali memerlukan lebih banyak uang. Al-Qur’an juga menyebutkan tentang hal ini.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan, (al-Anfal: 36)
Bedanya, kalau orang beriman mengeluarkan harta untuk jihad akan mendapatkan balasan besar dari Allah.
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (al-Taubah: 20)
لَٰكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (al-Taubah: 88)
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (al-Taubah: 111)
Nah, kalau pada zaman Nabi, yang sering disebut sebagai jihad fii sabiilillaah adalah perang. Substansinya sesungguhnya adalah memperjuangkan eksistensi dan perkembangan agama Allah, agar nilai-nilainya bisa ditransformasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya, dakwah kultural Nabi di Makkan kemudian dilanjutkan dengan dakwah struktural di Madinah dengan menjadi pemimpin politik tertinggi di Yatsrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah. Dalam hanya kurang lebih sepuluh tahun saja, jumlah pemeluk Islam meningkat secara drastis. Pada saat meninggal dunia, pemeluk Islam sudah mencapai jumlah 112 ribuan orang, ada yang mengatakan 120 ribuan orang, dan ada juga yang mengatakan 140 ribuan orang.
Di era sekarang, perebutan kekuasaan dilakukan secara prosedural melalui mekanisme demokrasi prosedural bernama Pemilu. Dan untuk memenangkan jihad politik ini, kapital finansial sangat diperlukan. Apalagi dalam masyarakat dengan tingkat IQ rata-rata yang tergolong sangat rendah. Untuk menang, tidak hanya membutuhkan yang sering disebut dengan ongkos politik, tetapi juga money politic. Lalu, apakah para aktivis hanya akan menjadi rombongan tenaga ahli yang tidak memiliki kuasa atas pembuatan kebijakan politik? Tentu saja jangan sampai itu terus terjadi. Maka harus ada jalan baru agar kekuasaan bisa didapatkan. Di antara sarana yang harus disiapkan adalah harta yang ada di tangan, bukan memasukkannya ke dalam hati, agar mudah dilepaskan, digunakan untuk berjuang. (BERSAMBUNG)