Oleh: Ayyub Fatwa Ibrahim, Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang
Dalam kehidupan modern yang serba materialistik, di mana kesuksesan sering diukur dari akumulasi harta dan pencapaian duniawi, keteladanan Nabi Muhammad saw. justru menawarkan paradigma berbeda. Bagaimana seorang manusia pilihan Allah—yang sebenarnya mampu hidup dalam kemewahan—memilih jalan pengorbanan total: menginfakkan hartanya, mempertaruhkan nyawanya, dan mengorbankan segala kenikmatan dunia demi tegaknya kalimat Allah.
Inilah trilogi pengorbanan yang tidak hanya menggetarkan hati sahabatnya di masa lalu, tetapi terus menjadi inspirasi abadi: pengorbanan harta yang melampaui batas kedermawanan biasa, pengorbanan jiwa dalam medan jihad yang penuh risiko, dan yang paling mendasar—pengorbanan hawa nafsu melalui keimanan yang tak tergoyahkan. Ketiganya bersatu dalam diri Rasulullah, menciptakan revolusi spiritual yang mengubah peta peradaban manusia.
Artikel ini akan mengupas bagaimana ketiga bentuk pengorbanan ini tidak hanya menjadi konsep ideal, tetapi benar-benar hidup dalam setiap tarikan nafas dakwah Nabi.
Mulai dari kesederhanaan hidupnya yang kontras dengan kekayaan Khadijah, keberaniannya memimpin peperangan dengan luka yang menganga, hingga keteguhannya menghadapi boikot dan cemoohan—semuanya adalah mozaik pengorbanan yang menantang kita untuk bertanya: “Seberapa besar kita benar-benar mencintai Allah?”
Nabi Muhammad saw adalah sosok yang sangat agung. Bahkan, nama beliau yang diberikan oleh kakeknya mengandung makna mendalam, yaitu harapan agar beliau menjadi manusia yang terpuji, baik di langit maupun di bumi. Ada kisah menarik tentang asal-usul nama beliau.
Suatu hari, Abdul Muththalib melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama tiga rekannya, yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang pendeta dan terlibat percakapan. Ketiganya ditanya tentang asal mereka, dan mereka menjawab bahwa mereka berasal dari Makkah. Sang pendeta kemudian bertanya apakah sudah ada orang yang bernama Muhammad di antara mereka, karena menurutnya, dialah yang akan menjadi Nabi terakhir.
Karena informasi dari pendeta itulah, Abdul Muththalib memberi nama cucunya—yang lahir dari Aminah binti Wahhab, istri putranya, Abdullah—dengan nama Muhammad. Ketika ditanya mengapa memilih nama yang tidak umum pada masa itu, ia menjelaskan bahwa ia ingin cucunya kelak dipuji oleh seluruh penghuni langit dan bumi. Tak hanya Abdul Muththalib, ketiga rekannya juga terinspirasi untuk menamai anak-anak mereka yang baru lahir dengan nama Muhammad, berharap salah satu dari mereka akan terpilih sebagai nabi. Namun, Allah SWT telah menetapkan bahwa Muhammad bin Abdullah-lah yang diangkat sebagai rasul terakhir. Beliau adalah manusia sempurna yang menjadi teladan utama bagi umat manusia.
Keteladanan ini juga ditegaskan oleh Allah di dalam al-Qur’an:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab: 21)
Lalu, apa saja keteladanan Rasulullah saw. dalam konteks mengharap rahmat Allah dan mempersiapkan diri menghadapi hari akhir?
Sebenarnya sangat banyak, namun dapat dirangkum dalam tiga poin utama:
1. Menjadi Pribadi yang Profesional, Mandiri, dan Memberdayakan
Sejak kecil, Nabi Muhammad saw. telah menunjukkan kemandirian. Menurut Abu Bakar al-Syirazi, sebelum menginjak usia empat tahun—saat masih diasuh oleh Ibu Halimah as-Sa’diyah di Kampung Bani Sa’d—beliau sudah terbiasa menggembala kambing dan unta. Bahkan, beliau mampu menangani unta yang termasuk hewan besar dan sulit dikendalikan.
Kemampuan beliau dalam mengelola hewan ternak menarik perhatian pamannya, Abu Thalib, sehingga mengajaknya bergabung dalam kafilah dagang ke luar negeri saat usianya masih belia. Dalam perjalanan inilah beliau bertemu dengan Pendeta Buhaira’, yang meramalkan bahwa Muhammad kecil akan menjadi orang besar. Pengalaman magang ini membentuknya menjadi seorang profesional terpercaya, sehingga dijuluki al-Amin (yang dapat dipercaya). Reputasinya inilah yang menarik perhatian Khadijah, seorang pengusaha sukses, yang kemudian menikahinya. Pasangan ini tidak hanya sukses secara finansial, tetapi juga memberdayakan banyak orang melalui kebaikan dan kejujuran mereka.
2. Ketundukan Total kepada Allah (Muslim Kâffah Berdasarkan Ilmu dari Firman-Nya)
Di usia 40 tahun, Nabi Muhammad saw. menerima wahyu pertama dari Allah SWT. Sejak saat itu, seluruh ajaran yang beliau terima dijalankan dengan kepatuhan penuh, sebagai wujud ketundukan mutlak kepada Allah SWT. Inilah esensi menjadi muslim kâffah—seorang yang berserah diri secara total berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah.
Keteladanan Rasulullah dalam hal ini mengajarkan bahwa ketaatan bukan sekadar ritual, melainkan penerapan Islam secara menyeluruh dalam akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan seluruh aspek kehidupan. Dengan mengikuti beliau, kita bukan hanya meneladani kekasih Allah, tetapi juga membuktikan kecintaan kita kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ، وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
3. Kesediaan Berkorban untuk Agama Allah dengan Harta dan Jiwa
Nabi Muhammad saw. adalah teladan utama dalam pengorbanan total demi menegakkan agama Allah. Beliau tidak hanya menginginkan kesuksesan pribadi, tetapi juga kebahagiaan bersama—baik di dunia maupun di akhirat. Sepanjang hidupnya, beliau mendakwahkan Islam dengan pengorbanan harta, tenaga, bahkan nyawa.
Nabi Muhammad dan Khadijah—yang awalnya merupakan pasangan kaya raya—tidak segan menginfakkan seluruh kekayaannya untuk dakwah. Harta yang bisa digunakan untuk kehidupan mewah justru dihabiskan demi menyebarkan Islam, membantu kaum lemah, dan membela kebenaran.
Ketika situasi mengharuskan peperangan—dengan risiko kehilangan nyawa—Nabi saw. tidak ragu memimpin langsung. Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan lainnya adalah bukti bahwa dakwah beliau bukan untuk keuntungan duniawi, melainkan demi menegakkan kalimatullah.
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (at-Taubah: 41)
Keteladanan Nabi Muhammad saw. dalam hal pengorbanan harta dan jiwa merupakan pelajaran abadi tentang ketulusan dan konsistensi. Yang menakjubkan dari sikap beliau adalah bagaimana seorang yang sebenarnya mampu hidup berkecukupan justru memilih kesederhanaan, dan seorang yang berhak menikmati kekayaannya justru lebih memilih menginfakkannya di jalan Allah. Ini bukan pengorbanan biasa, melainkan bukti nyata bahwa kecintaan kepada Allah harus mengalahkan segala keterikatan duniawi.
Kehidupan Rasulullah memperlihatkan paradoks yang mengagumkan: semakin banyak beliau memberi, semakin banyak pula orang yang tertarik kepada Islam. Kesederhanaan hidupnya yang nyata, pengorbanan harta yang tulus, dan kesiapan mempertaruhkan nyawa untuk agama justru menjadi daya tarik utama dakwahnya. Banyak yang masuk Islam bukan karena retorika belaka, tetapi karena melihat langsung ketulusan dan konsistensi antara apa yang diajarkan dengan apa yang diamalkan.
Inilah pelajaran penting bagi kita semua. Di era dimana materialisme seringkali menggerus nilai-nilai spiritual, keteladanan Nabi mengingatkan bahwa hakikat kekayaan sejati terletak pada kemampuan memberi, bukan menumpuk. Bahwa kesuksesan sejati diukur dari seberapa besar kontribusi kita untuk agama dan umat, bukan dari seberapa banyak yang kita kumpulkan untuk diri sendiri.
Semoga kita dapat meneladani sikap mulia ini – menjadi pribadi yang tidak hanya pandai berkata-kata tentang pengorbanan, tetapi benar-benar membuktikannya dalam tindakan nyata, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw.