Kriminalisasi Meme Mahasiswi ITB: Menyempitnya Ruang Ekspresi Digital

MAHASISWI ITB bikin meme

Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) kini menghadapi proses hukum setelah mengunggah sebuah meme yang menampilkan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Meme tersebut tidak hanya bersifat lucu-lucuan, melainkan menyiratkan kritik terhadap arah kepemimpinan saat ini yang masih berada dalam bayang-bayang pengaruh Jokowi.

Alih-alih dianggap sebagai kontribusi dalam diskusi publik yang sehat di negara demokrasi, unggahan itu malah menyeret sang pembuat ke ranah pidana. Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam pembuatan meme justru dimanfaatkan oleh aparat sebagai dasar tuduhan penyebaran hoaks, bukan sekadar sindiran politik.

Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa kegaduhan di media sosial tidak serta-merta dapat dijadikan dasar pemidanaan. Penanganan hukum terhadap ekspresi digital harus mengikuti prinsip kehati-hatian sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak-hak konstitusional warga negara.

Karya mahasiswi ITB tersebut dapat dimaknai sebagai perlawanan simbolik. Apalagi dalam suasana pasca pemilu yang penuh ketegangan, meme menjadi sarana alternatif bagi masyarakat untuk menyuarakan kegelisahan, terlebih ketika saluran formal demokrasi terasa macet. Kritik terhadap kemungkinan dualisme kekuasaan, sebagaimana tergambar dalam meme tersebut, justru mencerminkan kewaspadaan publik yang seharusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi.

Bacaan Lainnya

Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya terdapat ruang yang luas bagi setiap individu untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan opini. Bila ada pembatasan atas dasar ketertiban umum, maka pembatasan itu harus jelas, proporsional, dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Namun, kasus mahasiswi ITB ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih rentan terhadap ekspresi yang berbeda dari arus utama. Bukannya menjadi arena aman bagi pluralitas gagasan, ruang digital justru terasa makin menyempit karena kekhawatiran terhadap simbol atau kritik yang menyimpang.

Padahal sejarah panjang kritik dalam budaya Indonesia membuktikan bahwa satir dan karya seni selalu punya tempat penting. Tokoh seperti W.S. Rendra dan Goenawan Mohamad telah lama menggunakan puisi, esai, dan ilustrasi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan. Ironis jika hari ini sebuah meme modern, malah dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Lebih dari sekadar perkara hukum, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar tentang arah demokrasi digital di Indonesia. Apakah negara masih memberi ruang pada kritik, atau justru semakin membungkamnya lewat pasal-pasal multitafsir? Demokrasi seharusnya memfasilitasi partisipasi masyarakat, termasuk dalam bentuk budaya populer seperti meme.

Negara sebaiknya tidak memadamkan suara-suara kritis, melainkan membuka ruang diskusi. Kritik terhadap fenomena kepemimpinan ganda yang digambarkan dalam meme merupakan ekspresi keresahan masyarakat yang wajar. Publik berhak mempertanyakan sejauh mana Prabowo memimpin secara mandiri dan apakah pengaruh Jokowi masih mendominasi.

Budaya populer memiliki peran penting dalam demokrasi. Sosiolog Ariel Heryanto pernah menyampaikan bahwa media populer merupakan sarana kontrol sosial yang efektif. Meme, sebagai bagian dari budaya itu, menyentil dan menggugah, yang justru merupakan fungsi penting dalam menjaga demokrasi agar tidak stagnan dan arogan.

Kita tentu tidak ingin kembali ke masa di mana kritik dianggap sebagai ancaman dan suara mahasiswa dibungkam dengan hukum. Penegakan hukum harus menjamin kebebasan, bukan menciptakan ketakutan untuk bersuara. Demokrasi tidak selalu menyenangkan bagi penguasa tetapi pemimpin yang dewasa seharusnya siap menerima ketidaksetujuan publik.

Kasus ini adalah batu ujian bagi demokrasi Indonesia. Ia mengukur sejauh mana kita bersedia menerima ekspresi yang mungkin tidak menyenangkan, dan seberapa kuat komitmen kita terhadap konstitusi serta prinsip negara hukum. Jika sebuah meme saja bisa memicu pemidanaan, lantas di mana lagi tempat kita untuk tertawa, berpikir, dan menyampaikan kritik?

Demokrasi bukan hanya soal pemilu lima tahunan. Ia hidup dalam keseharian: dalam status media sosial, tulisan opini, hingga meme yang kita bagikan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *