Langkah tegas Menteri Agama Fachrul Razi yang akan menindak aparat sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS) yang ngotot memakai cadar bagi perempuan dan celana cingkrang bagi laki-laki saat bekerja, untuk berhenti saja sebagai PNS, menimbulkan pro kontra.
Terutama dalam hal larangan pemakaian cadar (burqa), yang menurut Fachrul Razi, dengan alasan demi keamaan. Fachrul Razi beragumen bahwa jika ada orang yang berkunjung ke rumahnya pakai helm, maka akan diusir, diangap tidak sopan. Padahal helm dan cadar adalah dua hal yang berbeda. Tidak apple to apple untuk membandingkan keduanya.
Pernyataan Fachrul Razi ini mengingatkan kita dengan pernyataan mantan Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson dalam sebuah artikel di surat kabar Daily Telegraph pada tahun 2018. Ia mengatakan bahwa “para wanita Muslim yang mengenakan burqa (cadar) seperti “kotak surat”. Ia lalu menyamakan mereka dengan “para bandit bank”.
Menurut penulis pernyataan Fachrul Razi dan Boris Johnson bisa dinilai sebagai fenomena bola salju Islamofobia. Jika Islamofobia itu dari non-muslim, bisa dimaklumi. Tapi, jika Islamofobia dari kalangan Islam sendiri? Jika Menteri agama Republik Indonesia masih phobia dengan Islam, lalu apa yang akan terjadi dengan ajaran Islam di kemudia hari. Apakah semua ajaran Islam akan disebut dengan ajaran yang mengandung unsur radikalisme?
Busana Kultur
Alkisah ketika Adam dan Hawa turun dari surga dan tinggal di bumi, yang pertama dilakukan adalah bagaimana instink malu dapat diatasi. Mereka segera merangkai-rangkai daun untuk menutup auratnya. Tidak pernah terlintas di benak kedua hamba yang sedang memikul dosa san rasa bersalah ini bahwa daun-daun itu mungkin kotor, banyak bulu ulat. Daun-daun itu kasar, tidak indah dan mudah sobek. Paling penting tidak malu.
Berbusana nampaknya hasil dari budaya manusia setelah berhadapan dengan situasi dan tantangan. Wilson mengatakan bahwa busana merupakan perpanjangan dari tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh yang menghubungkan dengan dunia sosial sekaligus memisahkannya. Dikatakan bahwa Kata ”busana” diambil dari bahasa Sansekerta ”bhusana”. Namun dalam bahasa Indonesia terjadi penggeseran arti ”busana” menjadi ”padanan pakaian”. Meskipun demikian pengertian busana dan pakaian merupakan dua hal yang berbeda. Busana merupakan segala sesuatu yang kita pakai mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Busana ini mencakup busana pokok, pelengkap (milineris dan aksesories) dan tata riasnya. Sedangkan pakaian merupakan bagian dari busana yang tergolong pada busana pokok. Jadi pakaian merupakan busana pokok yang digunakan untuk menutupi bagian-bagian tubuh (Henk Schulte Nordholt, Outward Appearances; Dressing State and Society in Indonesia, LKiS Yogyakarta, hlm. 1).
Dan sekarang, berevolusilah pakaian manusia menuju kesempurnaannya, sehingga ia mampu menahan dingin, menepis panas, menolak angin dan mampu memberi perlindungan kepada manusia dari ganasnya alam dan membantu manusia tumbuh berkembang dalam suasana sehat dan aman. Manusia hidup sehat dalam kehangatan selimut pakaian sepanjang masa.
Melihat cerita Adam dan Hawa, memberikan keterangan bahwa semula pakaian manusia hanya berhubungan dengan perlindungan dan keamanan fisik. Namun perkembangan baru, yang terjadi secara evolusi juga muncul. Pakaian-pakaian orang primitive di pedalaman, dalam bentuknya yang khas, terdiri dari bahan-bahan yang kuat, lebih halus, dianyam dengan rapi. Pada sudut-sudut tertentu dari pakaiannya dihiasi dengan gambar-gambar binatang, tengkorak, anak panah dan lain-lain. Aspirasi seni yang tinggi tengah tumbuh menyertai perjalanan lambat dari perjalanan bentuk pakaian menuju kesempurnaannya.
Dan sekarang manusia memiliki kesempurnaan pakaian, sehingga busana mereka memiliki tiga dimensi. Melindungi badan dan wadah dirinya, terbentuk dalam ukuran yang ideal dan dihiasi dengan berbagai karya seni sesuai dengan citra rasa dan karsa manusia.
Mungkin hal itu terjadi ketika bahan-bahan pakaian manusia terbuat dari bahan-bahan yang sudah ditenun, dijahit dan dipolakan. Apa yang kita lihat dewasa ini, busana yang melekat pada diri manusia tinggallah wujud nyata dari hasil budaya dan buah dari apresiasi seni yang terus bergulir, tanpa aliran yang pasti dan tanpa batas akhir yang mutlak. Mode busana akan terus berkembang.
Busana Religi
Islam hadir dalam konteks sosio-historis masyarakat Arab yang tidak mau mengakui eksistensi perempuan. Anak-anak perempuan yang baru dilahirkan akan dikubur hidup-hidup dan hak hidup perempuan tidak dianggap sebagai manusia, melainkan disamakan dengan barang saja yang diwariskan ketika suami mereka meninggal dunia. Perempuan juga bisa dinikahi dalam jumlah yang tak terbatas.
Lalu Islam datang membalik paradigma dan kebiasaan masyarakat Arab tersebut. Islam memuliakan perempuan dengan menjamin hak-haknya sebagai manusia. Islam menjamin hak perempuan untuk dilindungi kehormatan, akal, harta, jiwa, agama dan keamanannya. Islam juga menjamin hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Perempuan juga dijamin hak berpolitiknya oleh syariah Islam.
Dalam hal jaminan terhadap kehormatan. Melalui hukum-hukum yang menyangkut pergaulan antarlawan jenis, Islam telah menjaga perempuan agar kehormatannya terlindungi. Islam mewajibkan perempuan untuk menutup aurat, mengenakan jilbab dan kerudung ketika keluar rumah, menundukkan pandangan, tidak ber-tabarruj (berdandan berlebihan), tidak berkhalwat, bersafar lebih dari sehari-semalam harus disertai mahram, dan lain-lain.
Semua hukum-hukum tersebut sejatinya bukanlah untuk mengekang kebebasan perempuan. Bahkan sebaliknya, dengan aturan tersebut perempuan dimuliakan karena dapat beraktivitas tanpa ada ancaman. Sebab, mereka yakin bahwa Allah Swt akan melindungi perempuan karena mereka telah terikat dengan aturan Allah Swt. Dalam hukum-hukum tentang pernikahan, pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik dan penganiayaan terhadap istri adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Dalam hal busana, Islam pun mengaturnya sebagai wujud mengangkat derajat kaum perempuan dan jaminan terhadap kehormatan perempuan. Dalam bentuk jilbab. Ada ulama’ yang berpendapat dengan dasar dari al-Qur’an dan hadits bahwa cadar juga sebagai bentuk penjagaan kehormatan perempuan.
Bagi Muhammad Nāşiruddīn al-Albāniy atau yang dikenal dengan al-Albāniy mengatakan bahwa pembahasan seputar jilbab muslimah merupakan hal yang sangat penting. Apalagi melihat bahwa telah banyak wanita muslimah terpedaya dengan peradaban Eropa. Para muslimah ini akhirnya bersolek dengan cara “jahiliyah pertama” dan menampakkan anggota tubuh mereka yang sebelumnya mereka malu untuk menampakkannya kepada bapak dan mahramnya (Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy, Hijāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah (Beirūt: al-Maktabah al-Islāmiy, 1407H/1987M), hlm.3.)
Dalam masalah cadar (niqab), al-Albāniy menegaskan bahwa cadar tidaklah wajib tetapi sunnah dan mustahab, dimana wanita yang mengenakan cadar berarti ia telah mengikuti jalan yang ditempuh istri-istri Rasulullah saw (ummāhatul mukminīn). (Muhammad Nāşiruddin al-Albāniy, Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah (‘Amman: al-Maktabah al-Islāmiyah, 1314 H), hlm.6.)
Lain halnya dengan al-Albāniy, Muhammad bin Şālih al-‘Usaimīn atau yang dikenal dengan al-‘Usaimīn dalam karyanya “Risālah al-Hijāb” mengatakan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. untuk menyempurnakan akhlak. Adapun di antara akhlak yang disyariatkan ialah rasa malu, sedangkan di antara jalannya adalah dengan berhijab serta menutup wajah karena wajah adalah sumber dari fitnah.
Dengan kata lain al-‘Usaimīn menyatakan bahwa wajibnya menutup muka atau mengenakan cadar bagi muslimah merupakan manifestasi dari ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jilbab. Al-‘Usaimīn menambahkan, bahwa jika Allah memerintahkan untuk menjulurkan jilbab wanita muslimah sampai ke dada dan kaki-kaki mereka, tentunya menutupkan jilbab ke muka mereka itu lebih penting. (Muhammad bin Şālih al-‘Usaimīn, Risālah al-Hijāb (Riyād: Dār al-Qāsim, 1417 H), hlm.4.) Hal ini disebabkan karena wajah adalah sumber bagi orang lain untuk dapat mengatakan bahwa fulanah cantik.
Berbusana adalah Kewajiban dan Hak
Mari sama-sama membaca dasar hukum Undang-Undang Dasar tahun 1945 tepatnya pasal 28 dan pasal 29. Bahwa konstitusi negara Indonesia telah menjamin kebebasan beragama, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Cadar adalah salah satu dari praktek beribadahnya seorang muslimah. Dan berdasarkan Pasal 28 dan pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, berbusana dengan cadar menjadi hak muslimah Indonesia. Bahkan bisa menjadi kewajiban, bagi mereka yang menyakini hal itu adalah wajib. Maka, negara maupun masyarakat tidak boleh melakukan upaya untuk melarang seseorang melaksanakan praktek ibadahnya, karena bisa melanggar Undang-Undang Dasar 1945.
Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum, kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.
Dalam Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Dengan pasal ini, kita dituntut untuk menghargai mereka yang bercadar. Kita harus dewasa dalam beragama. Agama Islam memiliki perbagai macam perbedaan dalam memahami teks. Itu sunnatullah. Maka, untuk apa kita larang mereka yang bercadar?
Coba kita renungkan. Masihkah kita bersikukuh melarang wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar, sementara diantara perempuan ada yang mengenakan pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian yang terbuka itu lebih banyak menimbulkan dampak negatif dan menurunkan derajat dan martabat perempuan.
Jika kita, sampai saat ini masih belum berani melarang kultur busana yang terbuka padahala hal itu sangat berlawanan dengan agama, lalu kenapa kita capek-capek memerangi cara busana yang menurut sebagaian saudara kita adalah berbusana yang menjaga martabat wanita. Biarkanlah mereka berbusana. Berbusana adalah hak dan kewajiban semua orang. Wa Allāh A’lām bi ash-Shawwāb.