Apa sih makna santri itu? Menurut para ahli, santri adalah panggilan untuk seseorang yang sedang menimba ilmu agama Islam selama kurun waktu tertentu dengan jalan menetap di sebuah pondok pesantren. Santri tidak hanya mereka yang pernah belajar di pondok pesantren, tetapi juga mereka-mereka yang memiliki pemahaman dan cara pengamalan keagamaan sebagaimana layaknya santri, yaitu pemahaman Islam yang moderat (wasathiah), toleran (tasamuh), yang cinta tanah air karena dasar agama.
Ada sebuah pertanyaan, kenapa sih hari gini masih mau nyantri? Mulai dari perkembangan zaman yang serba digital, komunikasi serba canggih, hingga keadaan yang serba gemerlap, kok memilih hidup di pesantren, sedangkan santri serba dibatasi. Ponsel (telepon pintar), TV, internet pun dilarang. Sementara kaum santri justru harus ikut aturan pesantren yang tidak boleh memegang gadget sebagai simbol zaman. Kalau santri tidak ikut maju, maka akan tergerus dan tertinggal.
Tertinggal? Apa benar santri tertinggal? Ya, bisa dikatakan santri itu tertinggal dari teknologi yang serba canggih ini. Namun, segi positifnya, seorang santri akan lebih aman dari pengaruh jahat perkembangan dunia seperti pengaruh internet yang mengandung gambar-gambar pornografi, game-game yang tidak berfaedah, konten-konten yang tidak mendidik, dan sebagainya.
Penggunaan internet secara berlebihan juga akan mengakibatkan rasa malas serta menghambat kegiatan belajar dan menghafal pelajaran, beribadah dan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat lainnya. Seringnya berkomunikasi melalui internet dapat mengurangi komunikasi secara langsung atau tatap muka dalam pergaulan masa kini. Dampaknya sangat luar biasa. Memang yang jauh terasa lebih dekat. Akan tetapi yang dekat justru menjauh.
Pondok Pesantren yang tradisional itu kebanyakan tidak diperkenankan mengakses internet pada tahap pendidikan dasar, karena di dalam dunia maya semuanya sudah ada. Tidak dipungkiri, tidak hanya konten bermuatan positif yang mendidik, tetapi lebih dari itu, juga yang bermuatan negatif, sehingga dikhawatirkan anak-anak yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memfilter informasi dari internet bisa terjerumus dalam kawah hitam dunia digital.
Pengetahuan bisa didapat dimana saja, tidak hanya melalui media sosial. Santri bisa sering membaca buku atau kitab yang sudah diajarkan oleh pata kiai dan ustadz-nya. Santri juga bisa langsung bertanya pada kyai-nya dengan cara itu santri bisa lebih kreatif lagi untuk berfikir tanpa mengandalkan media sosial. Sebaliknya, mestinya media sosial digunakannya secara kreatif untuk berdakwah.
Boleh saja kalau sekedar mengakses internet. Tapi apakah pesantren tersebut sudah bisa memanfaatkan internet untuk menghasilkan suatu karya dan kebaikan. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan-pelatihan agar setiap pesantren bisa memanfaatkan teknologi internet untuk menghasilkan suatu karya dan kebaikan. Dalam dunia santri kita diajarkan untuk ta’dzim (baca: hormat) pada guru, bagaimana hidup sederhana, bersosialisasi dengan baik, dan memperdalam ilmu agama.
Tidak hanya itu, di dalam lingkungan pondok pesantren, kita juga bisa menjaga pergaulan lawan jenis yang semaki hari makin bebas saja. Miris rasanya, mendengar pergaulan anak muda jaman sekarang. Di mana-mana, seringkali kita mendengar para orang tua atau generasi zaman old mengeluhkan tentang cara bergaul anak-anak zaman sekarang yang sudah sangat jauh dari budaya “timur” bangsa kita.
Apalagi yang beragama Islam, tentu pergaulan-pergaulan yang tidak sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai dalam Islam. Karena itu, sangat beruntung, para pemuda yang memililih pesantren sebagai tempat untuk menempa diri, selain juga menghindarkan dari bahaya zaman yang semakin mengancam. Lalu, masihkan ada pertanyaan, hari gini kok masih nyantri? Mari berpikir sejenak. Wallahu a’lam.
Oleh: Putri Salsabila Adha Insani, Nyantri di Pondok Pesantren Ibnu Hadjar (PPIH), Ngaliyan. Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang