Abah Nasih dan Keluarga Ideologis

Baladena.ID/Istimewa

Seorang santri maju di tengah perkumpulan dalam agenda kajian Shubuh. Dia maju sampai di tengah-tengah kami, setelah sebelumnya ditelfon oleh mentor untuk datang, karena santri itu tidak ada di tempat kajian dan tidak mengikuti jamaah Shubuh. Kemudian disusul oleh Abah yang telah menunggu dengan membawa sajadah yang telah dilipat, turut menghampiri santri yang maju tadi.

“Paakkkkk”.

Sontak semua santri terkejut dan tidak percaya. Abah menampar santri itu menggunakan sajadah, tepat di kepala bagian kiri sampai pecinya terlempar. Suasana pun berubah menjadi hening sehening-heningnya. Untuk pertama kali, seorang Abah Nasih yang sabar, disiplin, penyayang, melakukan itu di hadapan para santri. Adakah Abah tidak mampu  menahan emosi? Apa salah seorang santri itu sehingga mendapat ‘hadiah’ seperti itu di depan umum?

Adalah Sholahuddin Abdullah, santri Monash Institute angkatan 2015 yang berasal dari Mlagen, Rembang. Dan tenyata ia masih memiliki hubungan keluarga dengan Abah Nasih.  Adik kandung dari adik ipar beliau, suami Bu Ella.

“Kapan kamu sadar? Kenapa kamu tidak bisa diatur?” tanya Abah dengan nada setengah lirih menahan emosi agar tidak meninggi. Gus Sholah hanya diam menunduk tak berani memberi jawaban.

“Semoga pukulan tadi mengubah isi kepalamu menjadi lebih baik. Mulai sekarang, kamu harus keluar, tidak boleh tinggal di pesantren ini”. Putusan Abah segera diberikan.

***

Abah adalah orang yang selalu konsisten (istiqomah) dalam setiap perkataan maupun perbuatan. Beliau adalah seorang kiai yang memiliki komitmen tinggi dan memiliki perhatian yang luar biasa kepada para santrinya. Bahkan beliau mengenal satu persatu nama santrinya beserta kelebihan dan kekurangannya. Bagaimana bisa, seorang Abah Nasih dalam kasus ini melakukan hal di luar kebiasaan? Bahwa sebelumnya, terhadap semua kasus santri yang melanggar dan memenuhi syarat untuk dikeluarkan, Abah tak perlu memanggil semua santri untuk berkumpul, bahkan tidak peduli dan tidak perlu berbicara lagi kepada santri yang layak untuk dikeluarkan itu.

Adalah sebuah peraturan yang telah disepakati bersama, antara pengasuh dan para santri, bahkan orang-orang yang mengenal Monash Institute paham betul, bahwa santri yang tinggal di Monash tidak boleh merokok. Ketahuan atau tidak, apabila seorang santri benar-benar melakukan hal yang dilarang itu, sudah sepantasnya untuk keluar secara otomatis. Dan hal ini, salah satu pelanggaran yang ternyata dilakukan oleh Gus Sholah, keluarga Abah sendiri.

Dalam hal rokok, Abah tidak seutuhnya se-iya dengan para ‘ulama’ yang memberikan fatwa bahwa rokok itu haram, tetapi beliau memiliki pandangan bahwa meninggalkan sesuatu yang tidak memiliki manfaat yang jelas, itu wajib. Bukan hanya rokok yang sampai saat ini tidak jelas manfaatnya, duduk manis berdiam diri tanpa melakukan suatu aktivitas pun dianggap sesuatu yang tidak memiliki manfaat. Maka segala hal yang tidak mendatangkan manfaat harus ditinggalkan oleh para santri. Hal ini ditekankan oleh QS. al-Mu’minun ayat 3: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”.

Selepas ‘penamparan’ selesai, dan Gus Sholah diperkenankan untuk pergi meninggalkan forum, kembali Abah menekan kan kepada para santri.

“Siapa saja, yang melanggar peraturan dan merusak sistem yang telah kita sepakati, wajib baginya untuk keluar meninggalkan pesantren ini, tidak peduli dia adalah saudara saya, keluarga saya, atau siapa saja yang melanggar, wajib untuk keluar”.

Setelah itu, Abah kembali mereda dan berada pada tingkat ketenangan. Bahwa penamparan itu dilakukan Abah, dengan harapan agar Gus Sholah memiliki kesadaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Penamparan itu pun, tidak dilakukan dengan tanpa pertimbangan sebelumnya, tetapi beliau memilih menggunakan sajadah untuk menampar yang disimbolkan sebagai tempat kepala untuk bersujud. Jadi tidak sepenuhnya salah, apabila tempat untuk menaruh kepala saat shalat, dipukulkan ke kepala Gus Sholah yang sering sekali melakukan pelanggaran.

Keluarga Ideologis

Secara umum, keluarga adalah orang-orang yang memiliki ikatan darah. Dalam istilah kedokteran disebut sebagai keluarga biologis. Namun ada juga orang di luar itu yang dianggap sebagai keluarga, yaitu orang-orang yang memiliki pemikiran yang sama, visi dan tujuan yang sama, maka mereka bisa juga disebut juga sebagai satu keluarga. Kata tenarnya dalam istilah Abah Nasih adalah keluarga ideologis.

Sepenggal kisah nyata di atas bukan semata untuk mengurangi martabat Abah Mohammad Nasih sebagai seorang guru, ayah, dan teman diskusi. Tapi lebih pada penekanan ibrah yang dapat diambil bagi kita semua, betapa beliau juga menyayangi para santri sebanding dengan keluarga (biologis) sendiri. Betapapun penamparan itu merugikan kedua belah pihak, tetapi semoga yang diharapkan dari peristiwa tersebut, Gus Sholah menjadi pribadi yang lebih baik, begitupun hubungan keduanya yang sampai saat coretan ini ditulis, masih terjalin dengan sangat baik.

Ketika mengajar, Abah sering berkata: “Orang-orang yang mengetahui visi saya, kemudian memahami serta mau berjuang bersama, berjamaah melakukan misi-misi itu, memiliki kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan cita-cita membangun umat dan bangsa, maka pantas baginya disebut sebagai keluarga”.

Dan dengan kisah ‘dikeluarkannya Gus Sholah’ dari Monash Institute, secara tidak langsung, Abah memberikan pelajaran bahwa, manusia memiliki derajat yang sama. Tidak ada anak emas atau seseorang yang dispesialkan atau diistimewakan. Semua sama adanya. “Dan bukankah orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang-orang yang paling bertakwa?”

Semua santri memiliki hak yang sama dalam memperoleh materi pelajaran. Hak yang sama dalam tempat tinggal, hak yang sama dalam menjalani peran masing-masing, serta menunaikan hak dan kewajiban. Bersaing secara sehat untuk menjadi intelektual, aktivis, dan profesionalis. Kualitas-kualitas yang harus dimiliki santri Monash Institute sebagai bekal untuk berjuang membangun umat dan bangsa.

Abah menerapkan prinsip “merit system”. Siapa yang punya prestasi atau kemampuan, maka dialah yang berperan. Tidak peduli siapapun itu. masih punya hubungan keluargapun, kalau tidak memiliki resonansi yang sama, akan terpental dari sistem. Inilah cara Abah membangun keluarga ideologis. Keluarga besar Monash Institute. Tidak hanya itu, Abah Nasih tentu akan membuat keluarga biologis untuk menjadi keluarga ideologis jugam tentu dengan takaran dan tekanan yang tepat. Semoga segala daya upaya yang ditempuh menghasilkan hal baik dan besar di masa depan. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Editor: Anzor Azhiev

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *