Jika seorang pahlawan diartikan sebagai seseorang yang telah memberi sumbangan besar kepada bangsanya, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Prof. Drs. Lafran Pane tentu telah melampaui definisi itu. Betapa tidak. Sejarah perjuangan HMI lekat dengan sejarah kelahiran dan pertumbuhan bangsa Indonesia. Sumbangsih kader HMI kepada negara ini ada hampir di segala lapangan. Dari sejak masa revolusi, zaman pembangunan, hingga era demokrasi saat ini eksistensi HMI tetap kokoh, dan sumbangsihnya kepada bangsa dan negara sangat nyata.
Terkait dengan sumbangan besar Lafran Pane kepada Repubik Indonesia melalui HMI, sejak 1 Maret 2016 secara resmi nama Lafran Pane diusulkan kepada pemerintah RI untuk ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Jurnal Komunitas Danau Toba 17 mewawancarai Dr Akbar Tandjung, Ketua Panitia Pengarah Pengusul Lafran Pane menjadi Pahlawan Nasional, pada 19 Februari 2016 lalu. Bertempat di Akbar Tandjung Institute yang berlokasi di kawasan Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan, kepada Hadi Winarto dari Jurnal Komunitas Danau Toba 17, dengan gaya bicara kalem dan mengalir Akbar Tandjung menguraikan pengusulan Lafran Pane menjadi pahlawan nasional.
———————————————————–
HW: Islam dan Nasionalisme menjadi kata kunci utama untuk memahami adanya dua pengaruh besar dalam pertumbuhan pribadi Pak Lafran Pane. Jika jejak sejarah perjalanan hidup Pak Lafran Pane “dipadatkan” untuk melihat bagaimana dua pengaruh besar itu bekerja membentuk pribadinya, gambarannya seperti apa ….
AT: Pak Lafran lahir pada 5 Pebruari 1922 di Sipirok, Sumatera Utara, dari keluarga yang mewarisi dua nilai yang kuat, keagamaan dan kebangsaan. Sutan Pangurabaan Pane, ayahanda Pak Lafran, itu dikenal sebagai tokoh masyarakat. Kakeknya bernama Abdurrahman Pane, seorang ulama. Keluarga ini juga dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah. Sutan Pangurabaan Pane bahkan juga aktif di Partai Indonesia (Partindo) dan merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Pak Lafran sempat masuk pondok pesantren di Sipirok, lalu meneruskan pada sebuah sekolah Muhammadiyah di Sibolga. Dan meneruskan lagi ke Medan untuk sekolah di Taman Siswa. Jadi sejak dari keluarga, Pak Lafran tumbuh dalam lingkungan keluarga Islam yang nasionalis.
Pada tahun 1937 Pak Lafran ke Jakarta, tetapi ini hanya sebentar, dan balik lagi, pulang kampung ke Sumatera. Lalu diceritakan setelah ini dia ke Medan. Pada masa peralihan inilah Pak Lafran menjalani masa remajanya, masa-masa yang kerap diceritakan dijalani dengan proses pencarian jati dirinya. Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1943, Pak Lafran ke Jakarta lagi, lalu bekerja di toko obat milik orang Jepang. Setelah itu, lingkungan pergaulannya meluas, dan perlahan Pak Lafran mulai bergabung ke kelompok anak-anak pemuda pejuang yang bermarkas di Asrama Menteng 31. Disini dia bertemu tokoh-tokoh pemuda seperti Adam Malik, Soekarni, Wikana, dan BM Diah. Kumpulan anak-anak muda nasionalis dan radikal di Asrama Menteng 31 ini kita kenal sebagai para pemuda perintis kemerdekaan. Di lingkungan ini Pak Lafran dikenal dengan pembawaannya yang low profile, tidak mau menonjolkan diri.
HW: Dua Indonesianis besar seperti Ben Andersen, misalnya, hadir dengan tesis bahwa pemuda berperan lebih besar dalam menentukan arus peristiwa yang berkulminasi pada proklamasi, tetapi George Kahin lebih menempatkan “golongan tua” sebagai pemain utama. Sementara itu, narasi yang dibangun dalam sejarah kita terkadang kurang jelas menempatkan posisi Pak Lafran Pane, terutama pada hari-hari paling penting menjelang kemerdekaan negara kita, lengkap dengan peristiwa yang menyertainya. Bisakah Bang Akbar menjelaskan proses yang rumit ini dan sesungguhnya bagaimana jalannya kejadian-kejadian di sekitar proklamasi?
AT: Kita bisa awali dari kisah para pemuda pejuang di Asrama Menteng 31. Para pemuda di Asrama Menteng 31 itu merupakan para pejuang kemerdekaan. Mereka berkeinginan Indonesia merdeka secepatnya. Tanpa campur tangan Jepang. Merdeka sebagai penentuan nasib sendiri, self determination. Dari mereka inilah ide menculik Bung Karno ke Rengasdengklok muncul. Tujuannya memaksa Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan Jepang. Para pemuda di Asrama Menteng 31 memang kurang suka Bung Karno dekat dengan Jepang. Mereka kurang setuju dengan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berdiri disponsori tentara pendudukan Jepang, meskipun badan itu bertujuan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah sekutu menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada Agustus 1945, keadaan berubah cepat. Sejak BPUPKI berdiri pada bulan Mei 1945, para pemuda sangat kritis dengan badan itu. Bisa dikatakan, sejak bulan Mei sampai Agustus 1945 mereka berpandangan bahwa para tokoh tua terlalu dekat bekerjasama dengan tentara pendudukan Jepang. Ide bahwa sebuah pernyataan kemerdekaan yang berbau pemberian Jepang tidak bisa diterima para pemuda ini. Para pemimpin tentara pendudukan Jepang di Jakarta dari awal bukan tidak merasakan sikap para pemuda pejuang ini. Mereka berusaha menarik hati para pejuang Indonesia yang anti sekutu, juga para pemudanya. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir sempat menjadi mentor para pemuda untuk kursus di bidang politik, ekonomi, dan hukum yang diadakan di Asrama Menteng 31. Semuanya di bawah kendali kekuasaan Jepang di Jakarta. Hanya saja, para pemuda tetap punya sikap sendiri, meskipun di permukaan mereka tampak bisa menerima kerjasama para pemimpin nasionalis dengan tentara pendudukan Jepang. Pak Lafran Pane adalah salah satu dari pemuda di Asrama Menteng 31 ini. Pak Lafran menjadi bagian tak terpisahkan dari kelompok pemuda pejuang ini.
Ada yang penting kita ungkapkan lagi di sini, terkait dengan Pancasila. Kita tentu masih ingat ketika Ketua BPUPKI, Dokter Radjiman Wediodingrat menanyakan, apa dasar negara Indonesia merdeka. Di situ Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, dan Supomo berusaha memberi jawaban. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 sangat bersejarah karena dalam pidato itulah untuk pertama kali nama Pancasila diperkenalkan. Lima Sila atau Lima Dasar yang disampaikan Bung karno itu adalah kebangsaan atau nasionalisme, peri-kemanusiaan atau internasionalisme, kerakyatan atau demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan. Lalu pada 22 Juni 1945 formulasi Pancasila yang kemudian dikenal dan tercantum dalam Piagam Jakarta mengalami penyempurnaan. Sila Ketuhanan diangkat menjadi Sila Pertama, dan semua sila mendapat tambahan anak kalimat. Sila pertama bunyinya “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” sedangkan sila yang lain sama seperti yang kita kenal sekarang. Ketika BPUPKI yang kerap dikatakan sebagai lembaga berbau Jepang oleh para pemuda telah berganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang lebih nasionalistis pada bulan Juli 1945, rumusan Pancasila masih seperti itu. Bahkan, sampai pada Hari Jumat, 17 Agustus 1945, atau pada hari ketika Bung Karno-Bung Hatta, sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Pancasila masih tetap seperti itu rumusannya. Pada hari Jumat itu juga, sekitar pukul 14.00, para tokoh yang mewakili kawasan timur Indonesia menemui Bung Hatta. Mereka mengatakan bahwa meskipun mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Menurut mereka dasar negara harus menjadi milik seluruh pejuang kemerdekaan Indonesia, walau para pejuang ini datang dari latar belakang berbeda. Kepada Bung Hatta mereka mengatakan agar rumusan Sila Pertama Pancasila diperbaiki. Jika Sila Pertama tidak dirubah, mereka akan mempertimbangkan keberadaan mereka dalam Republik Indonesia, bahkan kerap diceritakan mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia.
Sebagai negarawan Bung Hatta tahu persis apa konsekuensi dari pernyataan sikap para tokoh dari kawasan timur Indonesia ini. Intinya, ini masalah besar dan menuntut pemecahan segera. Terbayang oleh Bung Hatta kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan, yang merupakan puncak perjuangan panjang bangsa Indonesia, akan sia-sia saja jika kita pecah sebagai bangsa. Bung Hatta segera mengumpulkan para tokoh Islam anggota PPKI yang pada hari Jumat itu masih di Jakarta. Pada pukul 16.00 mereka bertemu dengan Bung Hatta, dan disampaikan kepada mereka tentang keberatan para tokoh kawasan Timur Indonesia yang mewakili umat Kristiani tadi. Para tokoh Islam ternyata menunjukkan sikap kenegarawanan yang tinggi. Kepada Bung Hatta mereka mengatakan menghargai aspirasi yang disampaikan para tokoh dari kawasan timur Indonesia itu. Lalu Sila Pertma Pancasila segera dirumuskan kembali, dan akhirnya disepakati menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan yang baru ini segera mendapat dukungan penuh para tokoh Islam, apalagi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sejatinya adalah ajaran tauhid, ajaran tentang keesaan Tuhan sebagaimana diajarkan dalam Islam. Pelajaran yang sangat bersejarah bisa ditunjukkan dari peristiwa ini, bahwa umat Islam rela berkorban demi persatuan nasional, demi keutuhan bangsa dan negara kita.
Langkah selanjutnya terasa makin mantap ketika pada 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Pada Sidang ini, Bung Karno dan Bung Hatta secara bulat diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, lalu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau UUD 1945 secara resmi disahkan menjadi konstitusi RI. Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil kerja Panitia Kecil atau Panitia yang diketuai Bung Karno dan terdiri dari 9 orang anggota PPKI, menjadi bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945 inilah terdapat rumusan Pancasila yang final, dan menjadi dasar negara kita sampai hari ini. Dengan ini semua, maka Jiwa besar para tokoh bangsa dari kalangan Islam wajib kita jaga dan kita pertahankan, wajib kita hormati.
Jadi Pak Lafran berada pada posisi yang dekat sekali dari berbagai arus peristiwa besar yang menentukan kelahiran bangsa kita itu, bahkan dia sebagai pemuda ikut terbawa oleh arus sejarah yang sangat besar ini. Kelak kita menyaksikan bagaimana Pak Lafran dalam mendirikan HMI suasana kejiwaannya masih berada di tengah gelora perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa kita ini. Selain itu, di Jakarta pada tahun 1970 diadakan pertemuan tokoh pergerakan kepemudaan perintis kemerdekaan. Undangan yang disampaikan untuk pertemuan itu diteken oleh Pak Adam Malik. Pak Lafran turut diundang pada pertemuan di Jakarta itu. Reuni para pemuda pejuang perintis kemerdekaan ini dengan jelas menjawab sendiri fakta sejarah tentang keterlibatan Pak Lafran dalam perjuangan kemerdekaan bangsa kita.
HW: Situasi pasca proklamasi, termasuk momen penting perpindahan pusat pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta, ikut mempengaruhi jalan hidup Pak Lafran Pane. Mohon penjelasan Bang Akbar, apa saja titik penting dalam perjalanan hidup Pak Lafran selanjutnya…
AT: Ada peristiwa penting pada bulan November 1945. Partai-partai berdiri setelah pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Nomor X pada awal November 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bahkan setelah ada maklumat itu umat Islam pun mendirikan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 7 November 1945, dan menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai bagi umat Islam Indonesia. Masyumi juga dianggap sebagai kelanjutan dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), sebuah badan yang dibentuk di masa penjajahan Jepang sebelumnya. Semua ormas Islam awalnya bersatu dan berhimpun di Masyumi. Pak Lafran dalam usianya yang masih muda menjadi bagian dari persitiwa-peristiwa penting ini. Tokoh-tokoh pemuda saat itu memang banyak berafiliasi pada partai sosialis.
Beberapa waktu sebelum proklamasi, di Jakarta para tokoh Islam mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI), dan Pak Lafran bergabung dengan sekolah ini. Setelah pusat pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, para tokoh Islam pejuang kemerdekaan yang mendirikan STI di Jakarta ikut hijrah ke Yogya. STI di Jakarta ikut diboyong pula ke Yogya, lalu berdirilah Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogya, yang nantinya akan berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Pak Lafran yang semula sekolah di STI Jakarta ikut hijrah pula ke Yogyakarta, lalu meneruskan studinya di STI Yogyakarta. Di STI Yogya Pak Lafran tidak selesai sekolahnya, lalu pindah ke Akademi Ilmu Politik, sebuah kampus cikal bakal UGM, dan pada 1949 kampus itu resmi menjadi UGM . Pada Januari 1953 Pak Lafran diwisuda sebagai sarjana politik dari kampus UGM. Ini prestasi luar biasa, karena Pak Lafran termasuk angkatan pertama sarjana ilmu politik di Indonesia. Setelah itu sepanjang sisa hidupnya Pak Lafran berkarir di jalur akademik sampai jadi profesor, dan mengajar di UII, UGM, dan IKIP Yogya.
HW: Pendirian HMI berlangsung sangat alamiah, tidak gegap gempita, tetapi justeru dibangun dengan basis gagasan yang sangat maju, dan bahkan bisa dikatakan melampaui jamannya. Bagaimana Pak Lafran dari kampus sekolah tinggi Islam bisa memiliki imajinasi sosiologis yang luar biasa ini?
AT: Pada saat HMI berdiri, di Yogya kan sudah ada organisasi mahasiswa bernama Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), dan Pak Lafran mewakili STI di PMY. Di situ Pak Lafran melihat PMY ideologinya agak condong ke Partai Sosialis Indonesia (PSI). Aktivitas keagamaan tidak tampak di PMY. Malah bisa dikatakan tidak ditemui semangat keagamaan di PMY. Dari sinilah Pak Lafran mulai terdorong berpikir mendirikan organisasi mahasiswa Islam.
Sebenarnya pada bulan November 1946 sudah terbersit di pikiran Pak Lafran untuk mendirikan HMI. Lalu Pak Lafran mengumpulkan kawan-kawannya, mahasiswa Islam yang di Yogya, untuk kumpul-kumpul di Masjid Kauman, Yogya. Di masjid ini dia lihat mahasiswa Islam yang datang, lalu diajak bicara, terutama tentang ide pendirian HMI. Memasuki bulan Januari 1947 ternyata sudah dapat teman yang banyak. Lalu pada 5 Pebruari 1947, tepatnya pada saat berlangsung kuliah tafsir, dia minta ijin pada dosen yang mengajar kuliah tafsir, namanya Pak Husein Yahya, bahwa dia akan mengumumkan sesuatu. Maka di situ Pak Lafran mengumumkan berdirinya HMI. Pak Lafran juga mempersilakan rekan-rekannya yang mendukung untuk bergabung ke dalam HMI, dan yang tidak setuju tetap dihormati sikapnya. Deklarasi berdirinya HMI di ruang perkuliuahan itu terjadi pada pukul 4 sore bertepatan dengan 14 Rabiulawal 1366 H. Dikatakan Pak Lafran latar belakang berdirinya HMI adalah untuk mempertahankan negara RI dan meningkatkan derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan syiar Islam. Jadi sejak hari pertama HMI berdiri, di situ sudah dibangun wawasan kebangsaan dan keislaman.
Dalam hal ini ada ungkapan Cak Nur yang cukup terkenal. Dalam diri seorang kader HMI, dalam mengekspresikan keislaman sekaligus menyatakan keindonesiaan. Komitmen keindonesiaan kader HMI senantiasa diinspirasi oleh nilai-nilai luhur Islam yang bersifat universal. Jadi antara keislaman dan keindonesian seperti dua sisi dari satu keping mata uang.
HW: Independensi merupakan salah satu kekuatan utama dari HMI. Konsep indenpensi HMI juga merupakan produk historis dari sejarah HMI sendiri. Benarkah pribadi Pak Lafran Pane dan sejarah hidup Pak Lafran ikut membentuk pola terhadap pembentukan tradisi independensi HMI ini?
AT: Ini pelajaran sejarah yang penting. Sejak awal berdirinya independensi HMI sudah ditegakkan. Pada saat HMI berdiri sudah ada Masyumi. Di dalam Masyumi ada seksi pemuda dan seksi pelajar, ada Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan ada Pelajar Islam Indonesia (PII). Ada banyak pertanyaan kepada Pak Lafran, sudah ada Masyumi, bahkan di dalam Masyumi sudah ada GPII dan PII, kok masih ada HMI. Pak Lafran merasakan ada kecurigaan terhadap pendirian HMI. Maka Pak Lafran pada tahun pertama usia HMI ini aktif menyosialisasikan keberadaan HMI, dan baru pada tahun kedua usia HMI dia sudah bisa bicara dengan tokoh-tokoh GPII di Masyumi. Di situlah Pak Lafran ditawari untuk bergagbung ke dalam Masyumi dan menjadi seksi mahasiswa dari Masyumi, Pak Lafran menolak dengan halus sambil menjawab, “akan saya bicarakan dulu dengan teman-teman saya”. Fakta sejarah menunjukkan, setelah itu Pak lafran tidak pernah lagi menjalin kontak dengan GPII, bahkan akhirnya diketahui Pak Lafran menolak bergabung, dan sejarah mencatat HMI tidak pernah gabung dengan Masyumi. Pak Lafran teguh dengan pendiriannya bahwa HMI memilih jalan independen.
HMI itu memang lahir sebagai bagian dari gerakan Islam modernis di Indonesia. Mirip-mirip Masyumi. Basis dua organisasi ini sama-sama di perkotaan. Kalangan akademisi Barat memiliki cara pandang tersendiri. Mereka memilah ada Islam modernis yang berbasis perkotaan, seperti Masyumi, Muhammadiyah, dan juga HMI, lalu ada Islam tradisionalis yang berbasis di perdesaan seperti Nahdhatul Ulama. Tetapi negara dan masyarakat kita terus berkembang, makin maju terbawa arus modernisasi, dan pemilahan desa-kota seperti itu hari ini menjadi kurang pas. Dan penolakan Pak Lafran agar HMI disatukan dengan Masyumi itu menggambarkan bahwa sebenarnya Pak Lafran sudah punya gambaran ideal tersendiri tentang bagaimana HMI akan dikembangkan di masa depan.
Jadi sikap independen beliau ini kuat sekali. Bahkan sampai beliau menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Pak Lafran tetap memilih independen. Saya yang mengusulkan Pak Lafran menjadi anggota DPA. Waktu itu saya usul ke Pak Soedharmono yang menjabat Wakil Presiden. Pak Harto setuju, maka Pak Lafran dialntik menjadi anggota DPA. Selanjutnya setelah itu saya dengar teman-teman di Golkar berusaha mendekati Pak Lafran agar beliau mau bergabung ke Golkar. Yang saya tahu, Pak Lafran tetap istiqomah, dan beliau tetap pada pendiriannya, tidak mau bergabung ke Golkar atau ke partai politik.
HW: Hari ini Pak Lafran Pane diperjuangkan menjadi pahlawan nasional. Apa saja pertimbangan yang diusung Keluarga Besar HMI/KAHMI dalam memperjuangkan Pak Lafran Pane?
AT: Ada tiga perspektif yang membuat Pak Lafran Pane kita usulkan menjadi pahlawan nasional. Pertama, pada perspektif kesejarahan, jelas Pak Lafran punya jasa yang besar dengan mendirikan HMI. Hari ini HMI melahirkan insan akademis dan para cendekiawan, mereka ini menduduki jabatan penting di berbagai kelembagaan, di perguruan tinggi, di masyarakat luas, di birokrasi negara dan pemerintahan. Ini merupakan bukti nyata dari jasa Pak Lafran kepada negara ini. Kedua, perspektif kesejarahan. Jangan lupa Pak Lafran Pane itu adalah salah satu pemuda pejuang perintis kemerdekaan, dan dalam perkembangan negara kita HMI memberi sumbangan besar di wilayah politik dan ketatanegaraan. Ketiga, terkait dengan perspektif keislaman dan keintelektualan. Melalui HMI, Pak Lafran mengenalkan nilai-nilai keislaman dengan cara yang baik, sehingga melalui HMI lahir Islam yang inklusif, moderat, toleran, menghargai kemajemukan, dan berorientasi kepada kemodernan. Definisi pahlawan adalah orang yang telah melahirkan karya yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bangsa dan negara. Dengan tiga perspektif itu, Pak Lafran menurut kami memenuhi syarat menjadi pahlawan nasional.
HW: Sejauh ini sudah seberapa jauh langkah yang dilakukan untuk memperjuangkan Pak Lafran Pane menjadi pahlawan nasional?
AT: Setelah Pak Lafran pane kita usulkan menjadi pahlawan nasional, kami aktif bergerak dengan melaklukan seminar-seminar. Sampai saat ini kami sudah mengadakan seminat tentang Pak Lafran Pane di 18 propinsi, tepatnya di 20 kota dari 18 propinsi itu. Alhamdulillah kegiatan ini mendapat respon yang baik. Pengusulan Pak Lafran menjadi pahlawan nasional sudah dimulai dari Yogyakarta, dan dilakukan langsung oleh Walikota Yogyakarta Pak Hariyadi Suyuti, pada 5 Pebruari 2016. Sebelum itu kami juga sudah ziarah ke makam Pak Lafran di Yogya, lalu menyerahkan konsep pengusulan Pak Lafran ke Pemkot Yogya. Kami ini kan mewakili unsur masyarakat. Proses selanjutnya, setelah aspirasi ini kami bawa ke Pemkot Yogya, lalu oleh Pemkot Yogya diusulkan secara berjenjang, yaitu diusulkan ke Pemerintah Propinsi DIY, selanjutnya dinaikkan lagi ke Departemen Sosial RI. Pengusulan juga dilakukan oleh Pemda Tapanuli Selatan tempat Pak Lafran dilahirkan, dan selanjutnya usulan ini dinaikan ke pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Dari Bengkulu yang merupakan tempat kelahiran Ibu Lafran Pane juga diusulkan, dari Dati I Propinsi Bengkulu. Ormas-ormas yang sudah memberi dukungan juga banyak, salah satunya Muhammadiyah. Bahkan dari kalangan perguruan tinggi juga banyak. Prof Thomas Venturi, Rektor Universitas Pattimutra, Ambon, juga memberi dukungan. Di Unpati berdiri patung Pak Leimena, pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), yang sudah diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 2011. Pak Leimena ini dulu dikenal bersahabat dengan tokoh-tokoh Islam, bahkan Pak Leimena membela HMI dari aksi PKI yang mau mengganyang HMI. Jadi sangat wajar jika Pak Lafran diangkat menjadi pahlawan nasional seperti Pak Leimena.Di Kupang, mahasiswa PMKRI juga mendukung Pak Lafran jadi pahlawan nasional. Di Universitas Sam Ratulangi, Manado, ada tokoh GMKI bernama Maramis, masih kerabat dari Pak A.A Maramis tokoh kemerdekaan kita, yang secara terbuka mendukung pengusulan Pak Lafran Pane jadi pahlawan nasional. Ini semua menjadi masukan yang berharga untuk Depsos, jadi bahan bagi panitia seleksi, hingga akhirnya Pak Lafran ditetapkan menjadi pahlawan nasional.
Oleh: Hadi Winarto, Metro TV