Namaku Fajri Ardiansyah, biasanya dipanggil Fajri. Aku adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakakku bernama Ahmad, sedangkan adikku bernama Mira. Ayahku merupakan sosok yang hebat. Beliau selalu bekerja keras untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarganya.

Aku juga memiliki seorang ibu yang tak kalah hebat. Beliau adalah sosok ibu yang sangat aku kagumi. Tak hanya cantik, tapi juga baik dan penyayang kepada siapapun terutama kepada anak-anaknya.

Aku sangat beruntung memiliknya, karena beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi hidupku. Namun, saat itu aku belum mengerti betapa pentingnya sosok seorang ibu.

Suatu ketika liburan akhir semester, kami sekeluarga merencanakan pergi liburan ke rumah nenek dengan menaiki mobil. Namun, di tengah perjalanan terjadi peristiwa yang tak terduga. Kecelakaan pun terjadi akibat pengendara motor yang menerobos lampu merah. Akibatnya, keluargaku menjadi korban kecelakaan. Ibuku mengalami luka kecil. Tetapi beruntung, aku dan kedua saudaraku selamat dari peristiwa tersebut. Namun, kondisi ayahku sangat menyedihkan, banyak sekali darah yang keluar dari kepalanya. Seketika itu juga ibu pingsan karena melihat kondisi ayah.

Mobil yang kami naiki pun rusak, karena ditabrak oleh pengemudi tak bertanggung jawab tadi. Kami pun segera dibawa oleh warga setempat ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit,  ibu dan ayahku langsung di bawa ke ruangan untuk di cek kondisinya. Namun, ayahku berbeda, beliau dibawa ke ruangan UGD.

Kemudian kami langsung pergi menuju ruangan ibu untuk menemuinya. Saat kami masuk, ternyata ibu sudah sadar dari pingsannya. Karena tidak menemui keberadaan ayah, kemudian ibu bertanya kepada salah satu perawat yang ada di ruangan tersebut.

Baca Juga  Mata Air si Tanah Gersang

“Suster, di mana suamiku?” tanya Ibu dengan perasaan cemas.

“Eee… begini, Bu, saat ini suami Ibu sedang dioperasi di ruangan operasi, karena suami Ibu mengalami pendarahan yang sangat banyak di kepalanya,” jawab Suster dengan perasaan ragu-ragu.

Seketika ibu terkejut, karena mendengar jawaban suster tadi. Kami pun yang sedang berada di sana juga terkejut, karena kami pun tahu kondisi ayah memang sangat parah sejak tadi.

“Lalu bagaimana kondisinya saat ini, Sus?” tanya Kak Ahmad dengan perasaan khawatir.

“Sampai saat ini kondisinya masih lemah, sama seperti sebelumnya,” jawab suster lagi.

Kami pun tak bisa berkata apa-apa, bahkan ibu pun kembali pingsan setelah mendengar jawaban suster tadi. Aku yang melihat kondisi ibu, merasa kasihan terhadapnya. Karena aku tahu, ibu pasti sangat mengkhawatirkan kondisi ayah saat ini.

“Suster apakah aku boleh melihat kondisi Ayah?” tanya Mira dengan tiba-tiba.

“Boleh, Dek. Silakan jika ingin ke sana,” jawab Suster.

Kemudian kami pun langsung bergegas menuju ruangan ayah yang sedang dioperasi. Sesampainya di sana, kami sangat terkejut ketika melihat kondisinya. Begitu banyak darah di kepalanya. Bahkan Kak Ahmad sampai menangis ketika melihat kondisi Ayah yang begitu banyak dilumuri darah di kepalanya.

Seketika itu juga dokter yang menangani ayah datang menghampiri kami dan kemudian bertanya.

“Apa kalian anak dari Pak Arman?” tanya Dokter.

“Ya, Pak Dokter,” jawabku dengan yakin.

“Hmm.. bagaimana kondisi Ayah saat ini, Dok?” tanyaku dengan ragu.

Baca Juga  Asal-Usul Hari Down Syndrome Sedunia 21 Maret dan Tema Kampanye 2022

“Eeee… begini, Dek. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong ayahmu. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Dia lebih sayang kepada ayahmu,” jawab Dokter tersebut dengan perasaan kecewa karena gagal menolong pasiennya.

Mendengar jawaban tersebut, Kak Ahmad semakin menangis tak karuan. Aku pun hanya diam dan tak bisa berkata apa-apa. Lidahku tercekat untuk mengucapkan walau hanya satu kata. Tak terasa air mataku pun berlinang menetesi di bajuku. Sedangkan adikku, Mira tak mengerti apa maksud jawaban dokter tersebut.

“Maksudnya dokter itu apa sih, Kak?” tanya Mira polos.

“Ayah sudah gak ada di sini lagi, Dek,” jawabku singkat.

Kemudian Mira pun ikut menangis, karena Mira merasa sangat kehilangan sosok ayah. Kami pun segera kembali ke ruangan tempat ibu dirawat. Sesampainya di sana, Ibu kembali bertanya kepada kami.

“Bagaimana kondisi ayahmu?” tanya Ibu dengan cemas.

“Anu, Bu. Kata dokter, Ayah sudah meninggal,” jawabku sambil meneteskan air mata.

Ibu yang saat itu baru sadar dari pingsannya , kemudian mendengar kabar ayah telah meninggal. Beliau menangis sejadi-jadinya. Jawabanku tadi seakan akan menusuk jantung ibu.

Sejak peristiwa tersebut, ibu lah yang harus mengurus keperluan keluarga. Mulai dari mengurus kami, pekerjaan rumah, bahkan mencari nafkah. Pagi-pagi sekali ibu sudah bangun untuk menyiapkan sarapan kami. Kemudian berangkat bekerja, sorenya baru pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ibu hanya berisitirahat beberapa menit. Kemudian setelah merasa cukup, ibu kembali melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian, menyapu, bahkan mengurus kami.

Baca Juga  Ibu, Bentuk Cinta Tuhan Kepadaku

Saat jam makan sore, tiba-tiba Mira bertanya kepada ibu perihal pekerjaannya itu.

“Bu, kok semenjak ayah meninggal Ibu sering banget pulang sore?” tanya Mira.

“Ya mau bagaimana lagi, Nak. Ayahmu kan sudah meninggal, jadi Ibu harus bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga kita,” jawab Ibu.

“Apa Ibu nggak lelah, melakukan hal tersebut sendirian?” tanyaku memotong percakapan.

“Ya jelas Ibu lelah, Nak. Tapi demi kalian Ibu rela melakukan apapun, karena Ibu sangat mencintai dan menyayangi kalian,” jawab Ibu menjelaskan.

Kami pun bangga sekaligus terharu karena memiliki seorang ibu yang sangat kuat dan sayang kepada kami. Namun, di balik sosok Ibu yang kuat, ternyata ibu juga memiliki hati yang sangat rapuh. Tak jarang aku mendengarnya menangis, karena teringat sosok ayah. Tetapi ibu adalah orang yang sangat kuat, kehilangan seorang suami tak membuatnya goyah, justru ibu semakin kuat untuk menjalani kerasnya kehidupan. Saat itu pun akhirnya aku sadar, betapa pentingya sosok seorang ibu.

 

Oleh: Tyas Fadilah Rahman

Ketua Organisasi Pondok Pesantren Nurul Furqon, Santri-Murid Kelas XI SLTA Alam Planet Nufo Mlagen Pamotan Rembang

RAMADHAN SEBAGAI BULAN LITERASI

Previous article

Hikmah Kisah Adam dan Strategi Pembinaan Ummat

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi