Kisah  

Ibu, Bentuk Cinta Tuhan Kepadaku

Ibu, Bentuk Cinta Tuhan Kepadaku
Istimewa

Flashback 6 tahun lalu, wajah itu tak menangis, hanya diam, duduk termangu memandang pujaan hatinya pergi meninggalkan keluarga dengan menenteng tas besar di tangan kanan. Lelaki yang telah menikahinya 20 tahun lalu kini pergi tanpa sebuah alasan. Penggalan memori itu masih terekam dengan jelas dalam ingatan keluarga Raihana. Sulit untuk dihilangkan, mengingat keluarga Raihana pernah menjadi keluarga yang sempurna dilimpahkan segala kemudahan dan kebahagian.

Sudah 6 tahun kepergian lelaki yang pernah diharap menjadi surga dari seorang istri, dari peristiwa yang telah ia hadapi setelah kepergian suaminya, menjadikan perempuan paruh baya itu semakin kuat, ia semakin menjadi perempuan tangguh bagi keluarga terutama anak-anaknya.  Malam semakin larut dan sosok perempuan tangguh itu masih sibuk dengan pekerjaan merajut. Yapz, beliau perempuan yang dipanggil “IBU” oleh Raihana. Wajah perempuan paruh baya itu sudah menampakkan rasa lelah, namun semangat dan harapan untuk menyelesaikan pekerjaannya tidak tergoyahkan. Raihana menghampiri ibunya yang sedari tadi ia pantau dari depan kamar.

“Ibu, sudah pukul 23.44 WIB. Sudah saatnya istirahat, besok dilanjut kembali merajutnya”. Ucapan Raihana membuat ibunya terkejut karena kedatangannya yang tiba-tiba.

“Sebentar lagi akan selesai, tanggung jika diselesaikan besok. Kamu tau kan hasil rajutan ini harus segera disetorkan ke Pak Wawan, agar ibu bisa membayar SPPmu” jawab ibu dengan mata yang masih fokus ke rajutan dan tangan yang terampil mengaitkan benang.

“Jangan ibu pertaruhkan kesehatan demi SPPku yang tak seberapa, bisa aku bayar sendiri dengan bekerja setelah pulang sekolah”. Raihana tak mau kalah sembari ia memijat pelan pundak ibunya.

“Akan ada saatnya kamu bekerja, sekarang tidurlah, besok kau sekolah, jangan risaukan ibu”. Ucap ibu dengan melontarkan senyum ketenangan kepada Rihana. Raihana mematuhi perintah sang ibu untuk segera tidur, dia tidak ingin berdebat lebih panjang.

**

Mentari belum menampakkan diri dari ufuk timur, sedangkan perempuan paruh baya itu sudah memulai aktivitas di dapur, memasak, menyiapkan sarapan untuk kelima anaknya, setelah semua pekerjaan selesai ia segera melanjutkan menyiapkan diri berangkat ke pasar menjual dagangan.

“Bangun sholat subuh, Rai”. Ucap ibu di samping tempat tidur Raihana dengan membelai rambut panjangnya.

“Iya” jawab Raihana berusaha duduk dari tempat tidurnya dengan mata yang masih terpejam.

“Jangan lupa adik-adik dibangunkan untuk sholat, sarapan sudah ibu siapkan di dapur, hari ini jadwal uang saku untuk adikmu Agus dan Putri, oh ya! Jangan lupa titipkan Arkhan di rumah, Bu Amin”. Rentetan ucapan ibu dengan perhatiannya.

“Iya, Ibu”. Jawab Raihana dengan mata yang masih terpejam.

“Ya sudah segera beranjak dari kasurmu, ibu berangkat ke pasar”. Pamitnya. Dan Raihana mencium tangan ibunya, lalu ia segera beranjak dari tempat tidur untuk melaksanakan perintah.

Pagi ini Raihana sangat kewalahan mengurus dan menyiapkan keperluan adik-adik.

“Kak, di mana kaos kaki warna putihku?” Tanya Usman adik nomer 3 yang sekarang duduk di bangku kelas 2.

“Kak, tau kerudung Putri? Kemarin Putri taruh kerudungnya di sini, kenapa sekarang tidak ada?” Nampak wajah bingung dan kesal sambil menunjuk tempat jemuran.

“Kalian ingat-ingat lagi, terakhir barang yang kalian cari di mana, atau minta tolong, Mas Arkhan, untuk mencarikan, kalian lihat sekarang Kak Rai sedang ngapain?” Ucap ketusnya sembari berusaha memberikan makan kepada adik bontot yang berumur 5 tahun, Salsa anak perempuan terakhir di keluarga tersebut yang tugasnya hanya bermain mainan bekas kakak-kakaknya dulu.

“Sudah pukul 06.47 WIB”. Teriak Arkhan. Dan seketika mereka semakin bergegas menyelesaikan urusan mereka masing-masing. Suara gaduh semakin menjadi-jadi, Raihana lupa bahwa dirinya belum ganti baju seragam sekolah, setelah semua beres, mereka berhamburan keluar rumah sembari menunggu Raihana mengunci rumah. Di depan rumah mereka sudah siap sedia mendengarkan aba-aba dari Usman.

“ Saaaa…tuuuuuu, duaaaaa, tiii….gaaa lariiiiiiii”. Aba-aba dari Usman, membuat mereka bekejaran, tertawa, teriak, seperti tidak ada masalah yang sedang dihadapi. Bahagia itu sederhana, sesederhana tawa yang mereka lepaskan pagi ini. Sesampai di depan gerbang sekolah mereka mengelompok.

“ jadwal hari ini yang mendapat uang saku dari ibu, Agus dan Putri”. Ucap Raihana sembari memberikan uang saku ke adiknya.

“Yah ! lapar lagi, tidak jajan”. Gerutu Usman.

“Besok giliranmu yang mendapat uang saku dari ibu”. Ucap Arkhan dengan sikap dewasanya sambil mengelus kepala Usman.

“Tenang, kau tidak akan lapar hari ini, nih! kakak sudah bawakan bekal untukmu”. Kata Raihana sembari memberikan sebuah kotak makan kepada adiknya dengan senyum sumringah.

“Ada bonus juga dari kak Agus”. Ucap Agus memberikan sebagian uang saku ke adiknya.

“Yeiii dapat banyak, Kak Putri?” respon bahagia yang terlihat jelas di raut wajah Usman, dia berharap juga kepada kakaknya yang bernama Putri untuk memberikan bonus juga dengan ia menjulurkan tangan.

“Sudah dapat banyak bonus, aku kasih bonus peluk untukmu”. Jawab Putri dengan memeluk adiknya erat.

Setelah mereka berpisah di depan gerbang sekolah dan sesampai di kelas masing-masing. Ketika pergantian pelajaran ke tiga Pak Ali guru B.Indonesia hendak duduk di kursi guru, tiba-tiba Raihana ingat sesuatu.

“Salsa”. Ucapnya sepontan, dia lupa bahwa Salsa belum ia titipkan ke Bu Amin dan terkunci di dalam rumah.

“Bapak, mohon maaf, boleh saya izin pulang ke rumah? Adik saya terkunci di rumah”. Ucapnya dengan raut wajah cemas.

“Silakan”. Jawab bapak guru yang hendak duduk di kursi.

Dia berlari sekencang-kencangnya berharap segera sampai di rumah dan adiknya dalam keadaan baik-baik saja, yang difikirnya hanya salsa, salsa, dan salsa. Sesampai di depan rumah ia menenangkan diri sejenak mengatur nafas. Ketika dia memegang gagang pintu, pintu tersebut terbuka, dia semakin cemas dan berlari masuk ke dalam, tiba-tiba dia melihat Salsa sudah berada digendongan perempuan paruh baya itu, terlihat bahwa perempuan tersebut berusaha menenangkan anak yang sedang menangis, Raihana diam, menundukkan kepala, ada rasa takut dan sedih yang berkecamuk di hati, beberapa menit berlalu, ruangan itu masih hening tanpa ada yang memulai berbicara.

“Ibu, maaf”. Ucapnya dengan kata dan nada hati-hati agar tidak menyinggung hati perempuan paruh baya tersebut, terutama agar Salsa yang sudah tertidur digendongan ibu tidak terbangun karena suaranya.

“Bicara dengan ibu nanti setelah adikmu tertidur”. Jawabnya ketus.

Di dalam hati Raihana sudah menyimpan banyak firasat tidak enak, bahwa dia akan mendapat banyak nasehat dari ibunya. Benar saja, setelah Salsa tertidur di kamar ibu memanggilnya ke ruang tengah, tempat ibu merajut.

“Raihana, kamu lupa lagi mengenai tanggung jawabmu. Apa kamu tau bagaimana kondisi Salsa ketika ibu pulang dari pasar?, ibu sudah bilang ke kamu setiap hari jangan lupa menitipkan Salsa ke Bu Amin, apa susahnya hanya menitipkan saja, kita tidak dituntut membayarnya, apa kamu tidak khawatir dengan adikmu? Di mana tanggung jawabmu sebagai kakak? Kamu putri ibu yang paling besar, sekaligus anak pertama, kamu memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap adik-adikmu, kamu menjadi contoh bagi mereka, sudah berapa kali kamu melakukan kesalahan yang sama seperti ini, tolong bantu ibu”. Ucap perempuan paruh baya itu dengan nada meninggi.

“Ibu, apakah ibu tau bagaimana kondisi kami ketika hendak berangkat sekolah? Raihana tidak hanya mengurus diri sendiri dan Salsa, Bu. Adik-adik yang lain sering tanya ini itu, meminta tolong untuk dicarikan barang yang mereka cari tidak ketemu-ketemu, belum lagi memberi makan Salsa yang sering rewel, apakah ibu tau tentang itu? Memang ibu yang menyiapkan sarapan untuk kami, tapi apakah sekali saja ibu ada diantara kami ketika hendak berangkat sekolah? Jika Raihana lalai dalam melakukan tugas setiap pagi menitipkan Salsa, bukan berarti Raihana sengaja untuk tidak melakukannya”. Protes Raihana, menghela nafas.

“Maaf jika ibu sering menyalahkanmu, benar katamu, ibu memang yang menyiapkan sarapan untukmu dan adik-adik, tapi ibu tidak pernah ada diantara keseruan anak-anak ketika hendak berangkat sekolah, maaf jika ibu sering merepotkanmu dengan berbagai tugas, seharusnya ibu berikan tugas yang adil untuk anak-anak, tidak hanya kepadamu, maaf jika selama ini ibu sibuk mencari uang tanpa memikirkan perkembangan anak-anak ibu”. Ucap perempuan itu dengan penuh rendah hati.

“Bukan maksud Raihana membuat ibu merasa bersalah, seharusnya Raihana yang meminta maaf karena banyak menuntut ibu, seharusnya kami khususnya Raihana lebih membantu pekerjaan. Tidak semakin memperumit pekerjaan, Ibu. Terima kasih atas kerja keras ibu selama ini untuk kami, maaf Raihana sering melakukan kesalahan”.  Air matanya tiba-tiba mengalir, dia bersender ke pundak ibunya.

“Bolehkah Raihana bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kita?” Tanya Raihana.

“Heleh, mau kerja apa kamu? Mendapat perintah untuk menitipkan adik saja sering lupa, bagaimana jika kamu bekerja?” canda perempuan paruh baya itu sedari melontarkan senyum.

“Ibu”. Merasa tersindir.

“Kamu tau, nak? Apa yang membuat ibu bertahan sampai saat ini?” ucapnya sembari menatap mata Raihana dengan lekat. Jawab Raihana hanya menggelengkan kepala.

“ Ibu bertahan sampai saat ini hanya untuk kalian, kerja tidak kenal waktu yang terpenting kebutuhan dan sekolah kalian bisa ibu penuhi. Ibu tidak melarangmu untuk mandiri membantu perekonomian kita, ibu tidak menolak niat baikmu, tapi ibu ingin anak-anak yang ibu perjuangkan bisa menjadi manusiaa yang berilmu, berharta, dan berkuasa, sekolah dengan benar agar kamu dan adik-adikmu bisa menajdi manusia yang berilmu dengan ilmu tersebut anak-anak ibu diharapkan bisa mengamalkan ilmunya , bekerja secara maksimal karena ilmu yang mumpuni, kemudian berharta jika kamu berharta karena ilmu yang kamu punya orang akan lebih percaya, dan dengan kedua hal yang telah kamu dapat yang terakhir bertahta, dengan bertahtahlah ibu berharap kamu lebih mudah melakukan aapa yang ingin kamu lakukaan. Jika kamu sudah mendapatkan ketiga hal tersebut, maka harapan terbesar ibu, anak-anak ibu bisa lebih mudah membantu orang yang membutuhkan bantuan, Raihana. Sekarang kamu paham kenapa ibu belum mengizinkanmu untuk bekerja?” penjelasan tenang perempuan paruh baya itu.

“ Iya. Ibuku paling hebat. Terimakasih atas perjuangan ibu selama ini dan terima kasih tuhan, telah Engkau berikan bidadari surga turun ke bumi dan hadir dalam keluarga kami.” Masih dalam posisi menyenderkan kepala di pundak ibunya dengan senyum-senyum mata tertutup.

“Ibu” tiba-tiba langsung melihat wajah ibunya

“Ibu masih ingat laki-laki yang telah pergi 6 tahun lalu? Apakah ibu masih mencintainya?” Ledek Raihana

“Ayahmu?” Tanya balik perempuan itu dengan senyum yang terpancar

“Ibu, Raihana lupa, tadi Raihana izin untuk pulang” ucapnya dengan tiba-tiba

“Terus?” Tanya perempuan itu

“Raihana harus berangkat lagi, Bu. Assalaamu’alaikum”. Raihana langsung beranjak dari tempat duduk, menggapai tangan ibunya untuk salim kemudian lari.

“Wa’alaikumussalam, hati-hati di jalan, Rai” teriak perempuan paruh baya itu sembari tersenyum melihat tingkah putrid sulungnya.

Tulis Raihana dalam buku diary

Dia perempuan hebat yang aku kenal di dunia

Entah apa yang diselipkan Tuhan pada dirinya

Hingga dia menjadi perempuan tangguh dengan senyum indahnya.

Aku tidak pernah melihat tangisnya

Atau mungkin dia sering menangis, tapi tidak dihadapanku

Ku intip tidurnya

Wajahnya seluas tanjung

Tergores luka lama yang berusaha dia kubur

Kuatkan jiwa dan raganya, Tuhan

Kokohkan setiap langkah yang dipijaknya

Hingga aku yang akan menjadi tongkat untuk dirinya

Terima kasih Engkau berikan amanah untuknya seorang putri yang terlahir dari rahimnya

IBU, dia bentuk cintaMu kepadaku


Oleh: Silfiana Nur Indah Sari, kuli Tinta yang Suka Kontemplasi di Sepertiga Malam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *