Menemukan Keseimbangan Jiwa: Memahami Kesehatan Mental melalui Spirit Moral dalam Al-Quran

Kesehatan mental telah menjadi isu sosial yang semakin mendalam dan kompleks dalam masyarakat saat ini. Salah satu fakta sosial yang mencolok adalah peningkatan kasus gangguan kesehatan mental di seluruh dunia. Mengutip dari laman kompas.com mengatakan bahwa menurut WHO hampir 1 miliar orang di seluruh dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini juga naik secara signifikan saat pandemi Covid 19 yang mengharuskan adanya pembatasan sosial.

Di Indonesia sendiri menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022 tercatat ada 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja sudah sampai kepada gangguan mental. Selanjutnya, terdapat kurang lebih 25 persen warga di 53 daerah di jawa tengah mengalami gangguan jiwa ringan.

Selain itu, perkembangan teknologi dan media sosial juga memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental, terutama bagi para remaja yang merupakan pengguna sosial media paling banyak. Kehidupan yang semakin terhubung secara digital membuat remaja lebih rentan terhadap perbandingan sosial dan tekanan untuk selalu tampil sempurna di media sosial. Ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada individu yang merasa tertekan oleh ekspektasi yang tidak realistis.

Media sosial juga dapat berperan dalam menyebarkan berita palsu atau informasi meragukan yang dapat menyebabkan kecemasan atau ketidakpastian. Terkadang, berita palsu atau konten yang meresahkan dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial, dan individu mungkin kesulitan membedakan antara informasi yang akurat dan yang tidak. Di sinilah masyarakat harus berpikir kritis mengenai informasi apapun yang mereka dapatkan.

Secara umum, kesehatan mental adalah sebuah keadaan seseorang yang merasa sejahtera. Hal ini tampak dari dirinya yang mampu memahami potensi yang ada di dalam diri, memiliki kemampuan untuk mengatsi tekanan hidup normal dalam berbagai situasi, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, dan dapat memberikan kontribusi kepada kelompok atau lingkungan sekitarnya. Keadaan-keadaan yang berkebalikan dengan hal tersebut dapat dikatakan sebagai gangguan kesehatan mental.

Dalam perspektif agama Islam, kesehatan mental erat kaitannya dengan sebuah konsep spiritual, seperti dijelaskan di dalam surah al-Ra’du “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.“ Zikir atau mengingat Allah bisa dilakukan dengan cara melaksanakan beribadah shalat, menolong sesama, beribadah akan menjadikan manusia memiliki energi positif untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Islam juga menekankan pentingnya hubungan sosial dalam menjaga kesehatan mental. Rasulullah SAW mengajarkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan keluarga, teman, dan tetangga, serta untuk memberikan dukungan sosial dalam masa-masa kesulitan. Dalam Al-Quran, Allah SWT menyebutkan pentingnya “silaturahmi” atau menjaga hubungan keluarga sebagai tindakan yang mendatangkan rahmat dan keberkahan.

Pada kisah nabi-nabi terdahulu, Allah Swt juga memberikan pelajaran mengenai kesehatan mental. Seperti di dalam surah al-Qashas yang menceritakan tentang masa Nabi Musa as dan ibunya yang pada saat itu pemerintahan negara berada di tangan fir’aun yang sangat kejam. Pada masa itu, firaun melakukan berbagai kekerasan, penindasan hingga memecah belah masyarakat, dan pada masa  Nabi Musa kecil, fir’aun memerintahkan bala tentaranya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dan kemudian membiarkan hidup bayi-bayi perempuan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada ibu Nabi Musa untuk menghanyutkan Nabi Musa ke sungai supaya tidak tertangkap oleh fir’aun.

Beberapa saat kemudian, istri fir’aun menemukan Nabi Musa yang hanyut di sungai untuk kemudian ia jadikan sebagai anak angkat, dan karena fir’aun di dalam beberapa cerita sangat menghormati atau bahkan takut dengan istrinya maka fir’aun pun memperbolehkannya. Dengan perintah Allah menghanyutkan Nabi Musa itu pun ibu Musa menjadi sangat bersedih karena kehilangan anaknya. Namun dengan kekuasaan Allah Swt dan usaha yang dilakukan oleh ibu dan saudari Nabi Musa, akhirnya Musa pun dikembalikan kepada ibunya untuk kemudian Nabi Musa disusui dan dirawat sebagaimana mestinya. Hal ini terdapat dalam firman Allah “Maka Kami kembalikan dia (Musa) kepada ibunya, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati, dan agar dia mengetahui bahwa janji Allah adalah benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” Demikianlah buah dari kesabaran dan usaha maksimal yang dilakukan oleh ibu dan keluarga Nabi Musa.

Selain itu, Allah Swt juga menceritakan kisah yang menarik tentang Nabi Yusuf yang selalu mendapat kekerasan secara verbal bahkan secara fisik oleh saudara-saudara tirinya. Di dalam surah Yusuf diceritakan tentang betapa saudara-saudara Nabi Yusuf sangat membencinya karena Yusuf dianggap sebagai anak kesayangan dibandingkan dengan saudara-saudara tirinya. Saudara-saudara tiri Nabi Yusuf menipunya untuk mengajak bermain, padahal kemudian Nabi Yusuf dibuang ke dalam sumur lalu diperjualbelikan sebagai budak. Tidak hanya sampai di situ, Nabi Yusuf pun sempat dipenjara oleh kerajaan karena difitnah oleh istri al-Malik (sebutan untuk semacam gubernur) di negeri Mesir yaitu Zulaikha.

Nabi Yusuf dituduh hendak melakukan pelecehan seksual oleh Zulaikha, padahal justru malah sebaliknya, Nabi Yusuf lah yang hendak dilecehkan oleh Zulaikha karena pada saat itu posisi Nabi Yusuf adalah sebagai budak atau pelayan. Dengan kesabaran dan kecerdasan yang dimiliki Nabi Yusuf, akhirnya dia pun dibebaskan dari penjara setelah beberapa waktu karena bisa membuktikan ketidakbersalahannya. Lalu berkat kemampuan dan keilmuannya dia dapat menyelamatkan negeri Mesir dari paceklik yang panjang, oleh karena itu dia pun dijadikan sebagai bendaharawan negeri, hal ini tercatat dalam ayat “Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.”

Melihat realita tentang isu-isu kesehatan mental yang ada pada saat ini maka sesungguhnya itu telah terjadi dan dilewati oleh nabi-nabi terdahulu. Dari perjalanan hidup Nabi Musa dan Nabi Yusuf dapat dilihat bahwa betapa beratnya tugas mereka dalam menjalankan tugas-tugas kenabian dan membawa pesan-pesan dari Tuhan untuk umatnya yang tentunya mereka merasakan sebuah tekanan psikologis. Nabi Musa yang dulunya hendak dibunuh karena kekejaman pemerintahan fir’aun namun kemudian karena kegigihan dapat bertahan dan bahkan membalikkan kekuasaan atas fir’aun dengan izin Allah Swt. Kemudian Nabi Yusuf pada saat remaja yang sering mendapat bullying dari saudara-saudaranya hingga dijual sebagai budak, kemudian difitnah dan pada akhirnya dapat menjadi salah seorang penguasa negeri Mesir karena kemampuan dan kredibilitas yang dimilikinya.

Jika kita lihat dan kita bandingkan dengan seksama, isu kesehatan mental dari zaman nabi sampai zaman moderen ini telah mengalami banyak sekali perkembangan dan kompleksitas. Teknologi dan pengetahuan tentang ilmu psikologi juga terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan manusia. Namun, yang perlu kita sadari bersama sebagai pemuda muslim adalah bahwa selain bersifat sebagai hukum, kitab suci al-Qur’an juga menyampaikan banyak sekali spirit-spirit moral kepada manuisa. Inilah pentingnya untuk kita harus memahami apa isi yang terkandung dalam setiap surah di dalam al-Qur’an. Dengan begitu kita dapat mengkontekstualisasikan dan menangkap spirit moral yang tersampiakan di dalamnya agar kita dapat membangun pikiran yang positif dalam menghadapi perkembangan berbagai problematika di setiap waktu.

Wallau a’alam bi al-sawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *