Belum lama ini, Litbang Kompas memaparkan hasil jajak pendapat tentang kiprah salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam hasil jajak pendapatnya itu, data yang diperoleh cukup beragam, meskipun kalau dicermati lebih lanjut, tidak ada hasil yang baru.
Data-data tersebut cenderung stagnan dari tahun ke tahun, berputar seputar narasi “ormas keagamaan terbesar”, toleransi, radikalisme dan serupanya. Tidak aneh pula misalnya, data hasil jejak pendapat tersebut tentang ekonomi dan kesehatan, masih sangat rendah.
Oleh karena itu, mesti dibedakan antara NU dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). NU merupakan warisan para pendiri dalam bentuk ormas keagamaan yang telah berjasa dalam turut memerdekakan bangsa ini.
Sehingga dalam perkembangannya, apa yang disebut NU dengan PBNU akan berbeda, bahkan dengan perbedaan yang sangat mencolok. PBNU belakangan semakin terdistorsi makna dan cakupannya, sebab PBNU telah banyak terkontaminasi para politisi dan yang tak kalah rusaknya adalah orang-orang kultural NU tetapi mentalnya politisi.
Distorsi berikutnya seperti yang telah diungkapkan Ayik Heriansyah, salah seorang Pengurus LDNU Jawa Barat yang dengan tepat telah memotret fenomena orang-orang yang sering kali “di-NU-NU-kan”, mereka sebetulnya bukanlah orang NU, tidak punya jejak ideogi dan keilmuan NU/Pesantren, tetapi karena kepentingan pragmatis lalu di-NU-NU-kan.
Yang paling kentara adalah Erick Thohir yang secara simsalabim didapuk menjadi Ketua Lakpesdam PBNU menggantikan Ulil Abshar Abdalla. Fenomena ini telah lama dan banyak terjadi di setiap level pengurus sampai ke daerah-daerah.
Fakta sosial itu, menjadi semakin distortif, manakala perkembangan Islam di Indonesia mengalami lompatan-lompatan yang kerap mengundang ketakjuban. Terutama berkat munculnya para ulama seperti Buya Yahya, Ust Abdul Somad, Ust Adi Hidayat, Ust Felix Siauw, Ust Hanan Attaki dan lain serupanya, sehingga berormas Islam pada zaman kiwari tidak dianggap menjadi sebuah keharusan yang signifikan.
Umat Muslim sudah tidak lagi terjebak fanatik ormas keagamaan, sebab mereka dengan leluasa bisa mempelajari berbagai produk keislaman dengan segala nasihatnya yang beragam dari para ulama-ulama yang viral di media sosial.
Berkat media sosial, umat Muslim menjadi lebih inklusif bisa memperoleh keleluasaan untuk menyimak berbagai wawasan keislaman tanpa terbelenggu sekat ormas keagamaan. Umat Muslim semakin cerdas dan mereka dengan leluasa merasa puas dapat belajar kepada Buya Yahya, yang keilmuan dan amaliyahnya dekat dengan NU, tetapi sangat akrab dengan komunitas umat Muslim hijrah. Apalagi Buya Yahya juga tidak fanatik ormas keagamaan dan tidak menjadi pengurus ormas keagamaan tertentu. Demikian seterusnya umat Muslim dapat langsung bergerak bebas mengukuti kajian Islam bersama Ust Adi Hidayat yang dekat dengan Muhammadiyah, Ust Felix Siauw yang dekat dengan HTI dan seterusnya.
Belum lagi kita membahas berkaitan dengan polemik Habib dari klan Ba’alawi yang begitu menguras emosi, di mana mereka yang berpolemik itu sebagian besar yang dekat dengan ideologi kultural NU di akar rumput. Belum lagi kita menyaksikan fenomena dakwah salafi wahabi yang semakin mendapat tempat di hati umat Muslim. Dakwah salafi wahabi semakin kreatif dan inovatif. Mereka melakukan ekspansi kajian-kajian Islam secara terbuka dan meluas, di kantong-kantong umat Muslim yang selama ini diasosiasikan dekat dengan NU, Muhammadiyah dan lainnya. Mereka dakwah dengan begitu percaya diri, dengan dakwah Islam yang sangat distingtif yakni mengusung misi “kembali ke sunah.”
Boleh dicoba oleh Litbang Kompas, kalau jajak pendapatnya itu bisa dilakukan dengan lebih objektif dengan menyertakan beberapa pertanyaan krusial berikut ini: bagaimana melihat PBNU yang terbukti bermain politik praktis saat Pilpres kemarin? Bagaimana respon publik tentang konsensi tambang yang diberikan kepada PBNU? Demikian berbagai pertanyaan ihwal polemik Habib klan Ba’alawi, perseteruan dengan Habib Luthfi bin Yahya dan PATMAN, ratapan Gus Yahya soal Rumah Sedekah NU di Jawa Timur, perusahaan-perusahaan pribadi yang mengatasnamakan NU, konflik PBNU versus PKB, dan masih banyak lagi.
Demikian betapa peliknya bicara soal NU dan PBNU, bagaimana pucuk pimpinan PBNU bisa melakukan manajemen organisasi keagamaan dengan baik, masih belum optimal. Transformasi ormas keagamaan NU harus segera dilakukan dan ini memerlukan sokongan dari banyak pihak. Terjebaknya PBNU pada zona nyaman, terjebak dalam lubang distorsi dan anomali adalah karena fenomena anggah-ungguh yang selama ini disematkan publik yang sangat berlebihan kepada NU. Bahkan sekelas PBNU, bisa terbukti tertinggal jauh oleh hanya kepengurusan PCNU Magelang yang berada di daerah, salah satu PCNU yang telah diakui torehannya dalam memberdayakan organisasi. Potret inilah yang disebut Ayik sebagai fenomena “NU tanpa NU.” Kalau sudah begini harus bagaimana?
Wallahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah, 1 Februari 2025.