Ada Masanya ‘Rakatokan’ Menjadi Lumrah

Hendak menyampaikan klarifikasi singkat bahwa tulisan ini dibuat dengan orientasi pencarian dialektika pribadi. Para pembaca yang dirasa bijak diperbolehkan dengan sangat untuk mengkritisi apa saja yang diterangkan di dalamnya. Jangan sungkan untuk menyentuh kolom komentar dan menangguhkan opini teman-teman, karena dialektika dibangun dari bentroknya beberapa pemikiran.

***

Bukan sarkas, walaupun memang selera  fesyen model demikian sudah diterapkan sejak Generasi X memulai trend, bahkan hingga saat ini apabila kita semua memerhatikan. Namun, terdapat suatu kronik yang menceritakan tentang sejarah terbentuknya budaya kepemerintahan untuk “tidak memakai celana.” Hal ini tentu saja mengundang kontroversi dan keambiguan di mata khalayak, karena akan mengalami bentrok dengan norma kesopanan yang dipercaya sedari lama. Namun sepertinya hal ini menarik untuk dibahas, mengingat setiap golongan manusia memiliki sisi otentik mereka masing-masing. Ciri khas itu adalah wajah-wajah pembeda yang akan terus diingat oleh tiap-tiap manusia. Penting  untuk mengenal dan mempelajari ciri khas setiap manusia dan golongannya, supaya komplit pemahaman kita terhadap dunia dan apa yang ada di sebaliknya. Bukankah manusia diciptakan untuk belajar?

Dekrit ini diresmikan oleh Kaisar Honorius,  Pemimpin Tertinggi Kekaisaran Romawi Barat yang lahir pada tahun 384 M dan naik tahta 11 tahun setelahnya, menggantikan posisi ayahnya, Theodosius I. Dalam rentang waktu 28 tahun kepemimpinannya, Romawi Barat mengalami banyak pergolakan secara eksternal maupun internal.

Jauh dari masa kepemimpinan Honorius, Romawi telah berkembang dengan beberapa pemikiran global, termasuk cara berpakaian yang merupakan cerminan daripada nilai-nilai kekaisaran, strata sosial, dan pengaruh budaya. Pakaian merupakan hal yang sakral untuk dibahas.

Toga menjadi salah satu busana adaptasi dari Bangsa Etruria oleh Romawi Kuno yang ikonik dan terkenal. Toga adalah pakaian luar yang dipakai di atas tunik yang pada umumnya dipakai oleh kalangan laki-laki. Desain dan cara pemakaian yang spesifik pada Toga (tercatat ada 6 jenis toga) menjadikannya simbol status dan hak istimewa. Memiliki nilai pandang yang lebih spesifik, jenis Toga yang bervariasi dapat membedakan jabatan politik hingga perlambang duka suatu masyarakat.

Lain hal, Stola yang biasa dipakai oleh kalangan wanita dimaknai sebagai simbol feminitas dan kesopanan. Cara pemakaian Stola hampir sama seperti Toga, pakaian luar yang dipakai di atas tunik. Perbedaannya terletak pada gender saja.

Pada masa Theodosius I, celana dipandang sebagai perlambang status, identitas, dan karya asimilasi budaya yang sangat kuat. Namun, semakin kuat pengaruhnya di tengah masyarakat, maka semakin banyak pula kontroversi yang timbul. Celana dianggap sebagai pelecehan terhadap kulturistik Romawi yang telah berjalan secara turun-temurun. Honorius yang baru saja diangkat mengkritisi hal ini.

Pada masa pemerintahan Honorius, celana menjadi sebuah titik temu yang memancing perdebatan banyak pihak. Menurutnya, semakin tinggi popularitas celana dalam masyarakat Romawi, maka semakin tumpul pula kecintaan mereka pada tradisi Romawi Kuno yang telah mengakar. Di samping sebab celana dianggap sebagai produk globalisasi antara bangsa Romawi dengan musuh-musuh mereka di Eropa, celana  juga identik dengan pemakainya yang bar-bar. Dalam hal ini, Honorius berusaha untuk menjunjung tinggi supremasi dan warisan leluhur Romawi. Honorius dengan tegas melarang pemakaian celana di seluruh Romawi, bahkan beberapa bagian kecil di perbatasan.

Manusia selalu hidup berdampingan dengan konflik. Jika tidak bersumber dari eksternal, internal pun jadi. Pihak tentara yang tinggal di kawasan dingin menyatakan kontra dengan pengekangan budaya bercelana, terlebih mereka wajib bersinggungan langsung dengan musuh eksternal. Terlepas dari alasan militer, celana memberikan mobilitas yang jauh lebih baik daripada mode Romawi kuno. Mereka memandang kebijakan tersebut sangat merugikan fleksibilitas masyarakat yang tinggal di perbatasan. Lain hal, respon negatif muncul dari Stilicho, seorang jendral yang juga menjabat sebagai wali dan pelindung kaisar muda, setelah penetapan sanksi terhadap masyarakat yang mengenakan celana. Namun, penentangan tetap dilakukan oleh seluruh kalangan. Para pejabat pemerintahan yang sejalan dengan masyarakat mulai menutup mata, tidak mau tahu. Pun begitu dengan masyarakat yang menjadikan celana sebagai pakaian harian. Ini menjadi cikal-bakal hangusnya dekrit yang dibuat Honorius, yang kemudian berujung pada direspect masyarakat terhadapnya.

***

Berdasar pada kronik di atas, sikap Honorius terhadap pendirian untuk selalu bangga dan cinta terhadap orisinalitas warisan yang luhur memang patut diacungi jempol, meskipun penentangan banyak pihak tetap terjadi di kemudian hari. Kembali pada sistem ideal bernegara, yakni demokrasi yang menyatakan bahwa kepemimpinan terpusat pada kehendak rakyat. Selagi bertepatan dengan apa yang rakyat inginkan dan butuhkan, maka kebijakan harus berjalan selaras dengannya. Padahal, Romawi Kuno juga pernah mengadopsi kearifan Helenistik (eksternal) yang kemudian diafiliasikan dengan kearifan lokal dalam aspek busana, Chiton adalah produknya. Keterbukaan terhadap keberagaman itu adalah suatu hal yang penting, menurut pendapatku.

Silakan menafsirkan tulisan ini sesuka hati. Meskipun ini bukan seni, namun akan lebih ciamik jika buah pikir dari segala penjuru berkumpul dalam satu gagasan seperti ini. Entah para pembaca hendak menafsirkannya sebagai standar fesyen Gen X ke depan = primitif, hendak dipandang sebagai paradox bahwa masyarakat Romawi Kuno lebih dulu memiliki kecenderungan yang bagus dalam memilih fesyen berdasarkan kenyamanan dan fleksibilitas, atau hendak dilihat sebagai ciri-ciri akhir zaman, sebab salah satu tanda akhir zaman diyakini sebagai pelanggaran kode etik kesopanan dan kembali kepada kebudayaan di masa lampau, atau dengan tegas mengukuhkan argumentasi pada kubu kebebasan rakyat dalam bergerak dan memaksimalkan nilai fungsi dari suatu busana. Penulis kembalikan kepada pembaca.

(Sumber: National Geographic Indonesia)

 

Oleh : Aletheia Raushan Fikra Ukma, Wakil Ketua OSIS Terpilih SMAN 1 Sulang periode 2022/2023, Ketua Terpilih Pengurus Literasi SMAN 1 Sulang, Ketua Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) PR IPM Planet Nufo periode 2022/2023, Penulis 2 buku; Mengkaji Hari dan Arsip Insomnia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *