“Pagi Menyapa Jarak”

Pagi ini aku tak berjumpa dengan Mentari. Ia bersembunyi di balik mendung, atau mendung yang sengaja menutupi sinarnya dari pandangku. Begitu juga dua bola mataku yang sepagi ini tak berhasil menemukan wajah ayu perempuan sahabat hidupku itu. Ternyata, pagi ini kita terpisah jarak, Puan!

Antara diriku dan dirimu, terbentang lebih dari setengah ratus kilometer jarak. Meski begitu, aku tak mengartikannya sebagai suatu perpisahan. Karena dalam ada dan ketiadaanmu di sisiku, kau tetap hadir di hidupku. Bukan sekedar bayang atau angan, tetapi kau sudah menjadi nafasku.

 Pagi ini aku tak bersua dengan Melati. Ia bersembunyi di balik kerudung, atau kerudung yang sengaja membungkam wanginya dari hirupku. Begitu juga dua rongga hidungku yang sefajar tadi tak berhasil mencium kening basahmu berbekas air wudlu itu. Ternyata, tahajud kali ini aku tak bermakmum, Puan!

Antara sujudku dan sujudmu, terjeda lebih dari setengah menit detak. Meski begitu, aku tak mengartikannya sebagai suatu kesengajaan. Karena dalam suara dan diammu, kau tetap mengiang di benakku. Bukan sekedar ilusi atau halusinasi, tetapi kau sudah menjadi alarmku.

Adalah jarak yang memberi kesempatan kepada rindu untuk bersemi. Meski sebenarnya ‘aku mencintaimu tanpa jeda’ adalah yang tertanam di dalam hati.

Adalah jarak yang memberi kehidupan kepada candu untuk mengagumi. Meski sebenarnya ‘aku mencintaimu tanpa tanda’ adalah yang sebenarnya terjadi.

Pagi dan Jarak telah mendewasakan kita. Bahwa bersama tidak selamanya berdua. Tetapi diantara jarak itu, tahajudku dan tahajudmu, dluhaku dan dluhamu, tetap terlaksana bersama dengan sang waktu. Aku menghadap-Nya sendiri, kau pun menghadap-Nya sendiri.

Pagi dan Jarak juga telah mengingatkan kita. Bahwa dalam suka atau duka, bahagia atau luka, senang atau derita. Pagi harus tetap  terbit. Terpuruk harus lekas bangkit. Jangan biarkan sakit terus menjangkit. Kita harus tetap setia bersama. Minimal dengan do’a kala menghadap-Nya. Dan dalam do’a itulah kita saling menyapa. Meski nyatanya jarak berada di antara kita.

Setelah pagi tak bermentari dan melati tak mewangi, tinggal embun yang masih setia membasahi, sebagaimana kamu selalu menyejukan hati meski kita saling berjauhan posisi.

Setelah jarak benar-benar memisahkan, masih ingatkan satu hal yang pernah ku ajarkan? Yaitu bagaimana cara kembali kepada dekapku yang menghangatkan.

Hei, Puan! Musim hujan kabarnya telah datang. Tetapi  Puan, kapan kau akan datang?

 

Gunem, 04 Desember 2019

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *