Dr. KH. Mohammad Nasih al-Hafidh, M.SI. adalah seorang hamba Allah yang dikaruniai kemampuan multi. Ia adalah seorang politikus, pengajar, dan sekaligus pengusaha. Nasih juga termasuk sosok individu yang memilih jalan yang tidak banyak diambil oleh kebanyakan orang. Salah satu indikatornya, jika kebanyakan pengusaha hanya melakukan investasi uang dan/atau saham kepada perusahaan, tapi Nasih justru berbeda. Ia melakukan investasi manusia dengan membangun sebuah rumah perkaderan yang ia beri nama “Monash Institute”. Nama ‘Monash’ itu adalah singkatan dari nama dirinya, yaitu Mohammad Nasih (Monash).
Monash Institute adalah sebuah lembaga pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang didirikan pada April 2010, dan benar-benar merekrut dengan sistem perkaderan terstruktur, sistematis, dan terukur pada 2011, sehingga angkatan pertama yang dibina adalah angaktan 2011. Angkatan pertama ini, Nasih sering sebut sebagai generasi pejuang. Karena dalam kondisi itu, semua serba merintis, bahkan dimulai dari rumah kontrakan. Semua, baik Nasih sendiri, para ustadz dan mentor, serta para disciples di Monash Institute, harus berjuang demi bertahan.
Dalam konteks ini, Nasih berkaca pada pendapat Ibnu Khaldun tentang teori siklus. Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya sebuah peradaban menjadi lima tahap (Muqaddimah: 175) yang memunculkan tiga generasi, yaitu: generasi pejuang, generasi penikmat, dan generasi perusak. Nasih tidak ingin angkatan-angkatan selanjutnya termasuk dalam kategori generasi penikmat, atau bahkan generasi perusak. Karena itu, Nasih berusaha semaksimal mungkin dalam membina anak didiknya dengan kedisiplinan tinggi, agar tidak menjadi dua generasi terakhir.
Investasi manusia itu ia anggap penting, karena Nasih belajar banyak tentang agama Islam dan ilmu sosial, terlebih politik, sehingga mengetahui bagaimana orang harus melakukan rekayasa sosial. Pasalnya, demi keberlangsungan peradaban yang lebih baik, generasi-generasi pejuang harus dipersiapkan sejak dini. Negaralah yang pertama kali harus hadir untuk melaksanakan amanat konstitusi itu. Namun, dia menganggap kehadiran negara belum cukup untuk menyelesaikan problem itu, sehingga ia berpikir membantu negara dengan mengambil peran untuk mempersiapkan generasi-generasi tersebut.
Perjalanan Nasih membina kaum muda belia sebenarnya dijalankan sejak menjadi mahasiswa, yakni ketika aktif sebagai instruktur di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia hampir setiap pekan mengelola training organisasi mahasiswa terbesar dan tertua tersebut. Nasih juga tidak meninggalkan struktur HMI, karena menurutnya kekuasaan sangat signifikan digunakan untuk perbaikan.
Karena rekam jejak yang telah dicapainya, Nasih dijuluki sebagai seorang cendekiawan, akademisi, dan aktivis muda yang mendedikasikan diri untuk pengkaderan kaum muda belia. Ia sering diundang di mana-mana yang berhubungan dengan pembangunan sumber daya manusia, terutama anak-anak muda. Namun, Monash Institute tetap menjadi prioritasnya. Sebab di situlah ia bisa menerapkan ide-gagasan pengembangan SDM dengan seluas-luasnya tanpa pengaruh kepentingan apapun dan dari siapapun.
Meski, dalam membangun Monash Institute, Nasih sama sekali tidak pernah melibatkan pihak lain, terutama negara (baca: pemerintah), gagasan perkaderannya tidak ia lepaskan dari soal visi membangun negara. Dengan melihat krisis kepemimpinan ideal yang terjadi di mana-mana, Nasih lewat lembaga yang didirikan, menanamkan visi untuk melahirkan calon pemimpin umat dan bangsa yang memiliki kemampuan: ‘ilmu al-‘ulama, amwal al-aghniya’ dan siyasat al-muluk wa al-mala’. Trilogi itu dengan bahasa yang lebih sederhana disebutkan dengan istilah “berilmu, berharta, dan berkuasa.”
Untuk menggapai visi tersebut, Nasih dalam program lembaganya, memberikan beasiswa kepada lulusan sekolah menengah (MA/SMA/SMK) yang memenuhi syarat dan ketentuan untuk kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Universitas Indonesia (UI), dan/atau Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam (STEBANK) Saefudin Prawiranegara Jakarta. Kemudian dibina dengan berbagai macam program yang bertujuan untuk melahirkan para pemikir-penulis dan pengusaha muda muslim yang dapat mengkonseptualisasikan permasalahan umat dan bangsa, serta mampu mengupayakan solusinya.
Kendati hasilnya tidak terlihat secara langsung, Nasih tetap optimis dengan jalan yang diambilnya. Sebab, Nasih berkeyakinan bahwa suatu saat nanti, ia akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan siginifikan dibandingkan dengan investor pada umumnya. Keuntungan yang dimaksud di sini tidak hanya melulu pada soal duniawi saja, melainkan ukhrawi juga. Sebagaimana yang dikatakan Mohammad Nasih bahwa orang miskin fokus menabung, orang kaya fokus investasi, dan investasi yang paling menarik adalah ukhrawi.
Dalam konteks dunia, investasi adalah sebuah ikhtiar untuk melawan inflasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “inflasi” memiliki arti kemerosotan nilai uang (kertas), karena banyak dan cepatnya uang tersebut beredar, sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Karena itu, cara yang paling ampuh untuk mengatasi inflasi adalah berinvestasi. Investasi yang paling signifikan adalah investasi manusia.
Mohammad Nasih pernah berkata, “Jika ingin untung dalam jangka waktu bulanan, tanamlah padi, jagung, dan/atau sayur-sayuran. Jika ingin untung dalam jangka waktu tahunan, tanamlah pohon Jati, pohon Kelapa, dan/atau pohon Mahoni. Tapi, apabila ingin untung dalam jangka waktu berabad-abad ke depan, tanamlah manusia.” Pendapat Nasih ini mirip dengan sebuah kata bijak China Kuno yang berbunyi: “Jika Anda berencana untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika Anda berencana selama sepuluh tahun, tanamlah pohon. Jika Anda berencana selama 100 tahun, didiklah manusia.”
Menurut Nasih, cara yang paling efektif untuk mengembangkan sumber daya manusia adalah melalui kaderisasi super intensif. Pendidikan formal sudah terbukti belum cukup mampu mendidik manusia Indonesia yang memiki karakter unik, maka perkaderan menjadi alternatif pilihan, meski pada perjalanannya Nasih tidak mengabaikan pendidikan formal dari kader binaanya. Mereka justru didorong agar menempuh pendidikan tinggi, tidak hanya cukup S1 (sarjana), tetapi juga S2 (magister) dan sampai jenjang S3 (doktor).
Meskipun sebelumnya, jalan yang diambil Nasih ini diragukan oleh banyak kalangan, Nasih tetap berkomitmen dan yakin bahwa untuk membangun SDM yang handal, maka cara yang paling strategis adalah dengan kaderisasi. Menurut Nasih, untuk melahirkan kader, perlu seleksi, lalu membinanya dengan super intensif. Tidak bisa dengan ceramah semalam dua malam sepekan. Namun, ceramah keliling tetap diperlukan agar umat tidak dimakan serigala.
Karena komitmen yang tinggi yang dijalankan Nasih dalam mengurusi rumah perkaderan yang didirikan, banyak kalangan, baik politikus, akademisi, maupun pengusaha yang tertarik untuk mengikuti jalan yang diambil oleh Nasih. Terbukti, ia diminta untuk menjadi penasihat di beberapa rumah perkaderan yang didirikan di berbagai tempat. Tidak jarang, bahkan ada yang datang ke Monash Institute untuk studi banding memastikan bagaimana sistem yang dijalankan di sana.
Salah satu upaya yang sudah berhasil sampai pendirian rumah perkaderan di daerah adalah yang dilakukan oleh kader-kader HMI Cabang Jember. Mereka ingin mengadopsi sistem perkaderan yang ada di Monash Institute. Karena itu, pada suatu kesempatan, mereka mengirim 4 (empat) kader sebagai delegasi untuk melakukan studi banding dan pembinaan langsung tentang perkaderan di Monash Institute.
Hingga akhirnya, mereka melakukan langkah konkret dengan mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama “Jember Islamic Institute”. Tentu saja dengan sistem yang tidak sama. Sebab, bagi Nasih, sistem pendidikan itu tidak bisa di-copy-paste begitu saja. Sebab, harus menyesuaikan kultur dari masing-masing manusia yang ada. Manusia itu berbeda-beda, dan karena itulah investasi manusia melalui kaderisasi memiliki dimensi yang unik yang tidak akan ditemukan di investasi lainnya. Wallahu a’lamu bi al-shawaab.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, Presiden XIV Monash Institute, Direktur “Asshiyaap” Angkringan Pergerakan PW GPII Jawa Tengah.
Editor: Anzor Azhiev
Comments