“Excellent with al-Qur’an”, jargon itu tidaklah semata mata muncul tanpa peristiwa yang luar biasa. Sudah dapat dipastikan, seseorang yang menjadikan al-Quran sebagai motto hidup adalah orang yang benar-benar paham dan memiliki hubungan erat dengan al-Qur’an. Benar saja, jika memperhatikan riwayat hidup Abah Nasih yang bahkan sempat tidak percaya pada Tuhan akan tergambar bagaimana fase hidayah itu mulai masuk dalam diri Abah Nasih, sehingga dapat mempercayai al-Quran bukan hanya sebatas percaya, melainkan sampai mempunyai argumentasi yang dapat diterima oleh akal.
Excellent sendiri artinya adalah luar biasa atau unggul. Tidak sedikit orang akan mengaitkan “unggul” itu dengan profesi atau akademisi. Berbeda dengan Abah Nasih yang mengaitkan unggul dengan al-Qur’an. Baginya, seseorang yang unggul adalah orang yang mampu menghafal al-Qur’an dengan baik dan memahami serta mengamalkan isinya. Anggapan itu tidak terlepas dari pencarian Abah Nasih selama hidupnya dari sejak kuliah hingga berumah tangga. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian bukti bahwa al-Qur’an adalah kitab yang paling benar.
Ketika memasuki bangku perkuliahan, ia berkenalan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), salah satu organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia, dan masuk menjadi bagian darinya. Di HMI, Nasih muda mulai mengalami guncangan spiritual. Apalagi ia sering berdiskusi dan membicarakan eksistensi Tuhan. Bukan hanya itu, ia juga sampai menafsirkan al-Qur’an secara liberal. Itulah salah satu penyebab Nasih muda pernah mengalami guncangan batin yang menyebabkan dirinya menjadi atheis.
Himpunan Mahasiswa Islam juga menjunjung tinggi kebebasan, di antaranya kebebasan berpikir. Oleh sebab itu, Nasih gemar mengonsumsi buku-buku paradigma Barat yang memengaruhi cara berpikir Nasih muda kala itu.
Jangankan percaya pada al-Qur’an, kepada Allah saja ia tidak percaya. Padahal Nasih adalah seorang hafidz al-Qur’an. Ia menyelesaikan hafalannya ketika duduk di bangku kelas dua SMA. Namun seiring berjalannya waktu, hafalan itu tidak lantas membuat ia terikat untuk membentengi akidahnya. Dalam buku Membangun Umat dan Bangsa (2016), Mokhamad Abdul Aziz menuliskan bahwa Nasih pernah sampai kepada pemikiran bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad, bukan wahyu Tuhan. Karena pemikirannya yang ekstrem tersebut, dia pernah sampai dituduh kafir (murtad) oleh teman-temannya. Bahkan, ketika mendengar kabar tentang “kemurtadan” putranya, sampai-sampai Ibu Nasih menjadi sangat marah dan membenci dirinya.
Hal tersebut terjadi karena keragu-raguannya terhadap agamanya sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, ia sadar dan kembali ke jalan yang benar. Walau melalui proses yang sangat panjang dan cukup melelahkan, akhirnya ia mendapat hidayah untuk menerima sepenuhnya Islam. Memang tidak sesimpel yang dituliskan, karena ia masih merasa belum puas dan masih ada sedikit keraguan yang menghantuinya. Apalagi ia adalah orang yang menilai sesuatu dengan logika atau rasionalitas. Maka dari sejak itu, ia terus berupaya mencari tahu tentang kebenaran agama dan ajaran yang selama ini ia anut. Berbagai buku dan kitab tafsir karangan ilmuwan-ilmuwan (baca: ulama’) Islam, sebagian besar ia pelajari dan telaah demi mendapatkan informasi yang lebih komprehensif.
Menggunakan cara berpikir rasional
Dari berbagai buku dan tafsir klasik sampai kontemporer yang telah ia pelajari, ditambah dengan upaya-upaya lainnya, akhirnya dia pun menemukan bukti kebenaran al-Qur’an, yang kini membuatnya lebih “mantap” dalam ber-Islam. Di antaranya ada beberapa yang ia dapatkan dari buku “Membumikan al-Qur’an”, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, yang merupakan salah satu ulama’ terkemuka di Indonesia.
Pertama, al-Qur’an tetap terjaga keasliannya sejak pertama kali turun hingga sekarang, bahkan hingga akhir zaman. Dalam buku tersebut tertulis bahwa Muhammad Husain al-Thabathabaiy pernah menuturkan, “Salah satu bukti bahwa al-Quran yang berada di tangan kita sekarang adalah al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau perubahan adalah berkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.”
Kedua, keunikan susunan huruf pada al-Qur’ an. Berdasarkan penelitian Rasyad Khalifah, huruf-huruf hija’iyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam al-Qur’an, semuanya habis terbagi 19. Jumlah ini sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm All(a)h al-R(a)hm(a)n al-R(a)him. (Huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab).
Huruf qaf yang merupakan awal dari surah ke-50; huruf-huruf kaf, ha’, ya’, ‘ayn, shad, dalam surah Maryam; huruf nun yang memulai surah Al-Qalam; huruf ya’ dan sin pada surah Yasin; huruf tha’ dan ha’ pada surah Thaha; jumlah keseluruhan huruf-huruf tersebut yang berada di dalam al-Qur’an, kesemuanya habis dibagi 19. Huruf-huruf ha’ dan mim yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’ mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114 X 19, yakni masing masing berjumlah 2.166.
Bilangan-bilangan inilah yang oleh Rasyad Khalifah dijadikannya sebagai bukti keotentikan al-Qur’an. Sebab, seandainya ada ayat yang hurufnya kurang atau lebih satu pun, maka jumlah perkaliannya akan menjadi kacau dan tidak sesuai dengan angka 19 tersebut.
Selain bukti-bukti yang ditemukan Nasih dari Buku karya Quraish Shihab tersebut, ada pula beberapa bukti lain yang ia temukan dari sumber-sumber lain, di antaranya:
Pertama, prediksi al-Qur’an tidak hanya tepat, tetapi juga sangat presisi. Letak ketepatan prediksinya itu, karena al-Qur’an menyebutkan kata yang berkait erat dengan angka. Misalnya terdapat pada QS. ar-Ruum ayat 2-4, yang menceritakan tentang pengolok-olokan yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap orang-orang Islam. Mereka mengatakan bahwa orang-orang Islam pasti akan kalah dengan orang-orang kafir tersebut. Sebab, tersiar kabar bahwa bangsa Romawi yang beragama dan mempunyai kitab suci sekalipun telah dikalahkan oleh bangsa Persia yang menyembah api dan tidak memiliki kitab suci.
Demikian pula, menurut mereka, orang-orang Islam pasti akan dikalahkan oleh mereka, karena mereka juga tidak memiliki kitab suci. Hal tersebut membuat orang-orang Islam yang diperolok seperti itu merasa bersedih hati, dan akhirnya mengadu kepada Rasulullah. Setelah itu, turunlah surah ar-Ruum ayat 2-4 yang menyebutkan bahwa beberapa tahun lagi (antara enam sampai sembilan tahun), bangsa Romawi akan dapat berbalik mengalahkan bangsa Persia. Dan ternyata benar, tepatnya pada tujuh tahun setelah ayat tersebut turun, bangsa Romawi akhirnya dapat mengalahkan bangsa Persia.
Jika al-Qur’an salah sedikit saja dalam menyebutkan waktunya, misalnya, maka al-Qur’an pasti akan menjadi bahan tertawaan semua orang pada kala itu. Lebih parah lagi, bahkan bisa saja orang-orang yang awalnya beragama Islam, tetapi karena ternyata al-Qur’an salah dalam hal itu, menjadi keluar dari Islam (murtad). Tetapi kenyataan berkata sebaliknya. Bangsa Romawi ternyata dapat memenangkan pertempuran sesuai dengan yang telah “diramalkan” di dalam al-Qur’an tersebut. Hal itu akhirnya semakin menambah keyakinan dan kemantapan orang-orang Islam dalam menganut kepercayaannya.
Kedua, makin banyak informasi ilmiah yang disampaikan di dalam al-Qur’an yang terbukti. Di dalam al-Qur’an telah dinyatakan bahwa jasad Fir’aun, raja Mesir kuno yang terkenal otoriter dan bahkan sampai mengaku sebagai tuhan itu akan terjaga (tidak rusak) dan akan ditemukan pada masa mendatang, sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya (QS. Yunus: 92).
Ketiga, bisa dihafalkan di luar kepala, bahkan oleh anak kecil sekalipun. Tidak ada satu pun buku maupun kitab suci di dunia ini yang dapat dihafalkan sebagaimana al-Qur’an, baik dalam konteks kualitas hafalan maupun kuantitasnya. Bahkan, sampai sekarang jumlah penghafal al-Qur’an terus mengalami peningkatan. Semakin banyak dan terus meningkat.
Itulah di antaranya argumentasi yang Abah Nasih dapatkan dalam pencariannya. Argumentasi-argumentasi ini sangatlah berguna bagi muslim dalam mendakwahkan Islam bukan hanya di kalangan intelektual muslim, tetapi juga kepada orang-orang non-muslim. Tentunya dengan menggunakan rasionalitas, diharapkan mampu melawan paradigma Barat yang menganggap Islam adalah agama tahayul, mitos dan tidak rasional (pseudo ilmiah).
Pada akhirnya, Abah Nasih membangun Monash Institute, agar tidak ada lagi muslim yang tersesat dalam berpikir terutama soal akidah. Terlebih, mahasiswa memiliki kebebasan berpikir yang berbahaya apabila tidak di arahkan kepada suatu kebenaran. Abah Nasih sudah melalui fase itu, sehingga dengan berdirinya Monash Institute, diharapkan mampu mencegah terjadinya penyesatan-penyesatan berpikir sehingga mampu menjadi mahasiswa yang “exellent with al-Qur’an”.
Oleh: Muchammad Sirojul Munir, Disciple Monash Institute angkatan 2018 dan Menteri Pendidikan Kabinet Militan