Merasakan Lailatul Qadar Setiap Saat

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ, Jakarta; Guru Utama di Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute dan Pengasuh Pondok Pesantren & Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Mlagen, Rembang; Pengurus DPP PAN (Partai Amanat Nasional).

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bacaan Lainnya

اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً. اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

 

Kaum mu’minin wal mu’minat, jama’ah shalat Idul Fithri yang berbahagia.

Al-Qur’an adalah kitab yang mulia (al-Waqi’ah: 77, al-Buruj: 21). Dan segala yang berkaitan dengannya juga mendapatkan kemuliaan. Elite malaikat yang bisa mengaksesnya disebut al-Muthahharun, berarti mereka yang disucikan (al-Waqi’ah: 78). Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu disebut dengan sebutan al-Ruh al-Amin dan Ruh al-Qudus. Nabi Muhammad yang menerimanya, menjadi manusia paling mulia. Bulan yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan, yakni bulan Ramadlan, disebut sebagai sayyid al-syuhur, sehingga sering disebut dengan ungkapan Ramadlan karim. Dan malam saat al-Qur’an diturunkan, disebut dengan malam penuh keberkahan.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (al-Dukhan: 3)

Di kalangan umat Islam pada umumnya, malam itu paling terkenal dengan sebutan lailat al-Qadar (malam kemuliaan). Sebab, ayat yang menyebut dengan sebutan ini terdapat dalam surat yang tergolong dalam surat-surat pendek di juz 30 yang banyak dihafalkan oleh santri pemula.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. (al-Qadar: 1)

Makna kemuliaan pada kata al-qadr memang tidak familiar, karena kebanyakan orang jauh lebih sering mendengar kata qadar sebagai ketetapan. Namun, makna kemuliaan untuk kata al-qadr bisa ditemukan dasarnya pada ayat dengan konteks yang sangat mudah dirasakan, yaitu:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ ۖ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا ۖ وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

Dan mereka tidak memuliakan atau menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kalian jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kalian perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepada kalian apa yang kalian dan bapak-bapak kalian tidak mengetahui(nya)?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan mereka. (al-An’am: 91).

Di dalam ayat ini, Allah juga sekaligus menegaskan bahwa wahyu atau firman sesungguhnya adalah ilmu. Perspektif ini, juga dimiliki oleh banyak filsuf Yunani Kuno, sehingga muncul kata logika, yang berasal dari kata logos, yang arti dasarnya adalah firman. Jadi, ilmu yang sejati sesungguhnya datang dari Allah, Tuhan alam semesta. Untuk mendorong manusia memahami alam semesta, dan juga memberikan informasi tentang kehidupan setelah di dunia ini, Allah menurunkan panduan berupa wahyu; dan wahyu yang terakhir adalah al-Qur’an. Dia menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia, untuk menjalani kehidupan ini, sehingga bisa mendapatkan kebaikan di dunia dan juga di akhirat.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ

Bulan Ramadlan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (al-Baqarah: 185)

Karena menjadi wahyu yang terakhir, maka al-Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan li al-nâs) kapan pun dan di mana pun sejak ia diturunkan sampai akhir zaman. Untuk itu, umat Islam wajib memahami al-Qur’an agar bisa mengamalkannya secara benar. Kata kunci paling penting agar al-Qur’an senantiasa relevan sebagai petunjuk dalam kehidupan adalah rekonstruksi pemahaman atau penafsiran dengan senantiasa melakukan kontekstualisasi dan rekontekstualisasi. Sebab, tidak sedikit ayat di dalam al-Qur’an yang diturunkan sangat berkaitan dalam konteks ruang dan waktu saat itu. Karena itu, yang harus dilakukan adalah melakukan kontekstualisasi dan rekontekstualisasi al-Qur’an secara “kekinian dan kedisinian”. Namun, yang tak kalah penting adalah meluruskan pemahaman-pemahaman keliru dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga paham yang seolah memiliki dalil dalam al-Qur’an. Inilah yang seringkali menyebabkan umat Islam tidak mampu menghadapai perkembangan zaman. Umat Islam tertinggal dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Menjadi relevan ungkapan para pembaharu Islam, bahwa “al-Islam mahjuubun bi al-muslimiin”; Islam tertutupi oleh umat Islam sendiri. Kekeliruan-kekeliruan pemahaman itu haruslah dikoreksi secara segera.

 

اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ

Kaum mu’minin wal mu’minat, jama’ah shalat Idul Fithri yang berbahagia.

Ada banyak kasus yang perlu dilakukan koreksi, kontekstualisasi, dan rekontekstualisasi dalam kehidupan kita sekarang ini. Dan dengan cara itulah, kita akan bisa merasakan bahwa al-Qur’an seolah-olah baru saja diturunkan kembali. Al-Qur’an, walaupun telah diturunkan empat belas abad yang lalu, akan terasa kembali vitalitasnya dalam kehidupan kita sekarang dan di tempat kita berada dengan segala konteksnya.

Di antara contoh kasus kesalahpahaman yang perlu dikoreksi adalah menjadikan al-Baqarah: 83 sebagai dasar pelaksanaan puasa kita sekarang. Sebab, al-Baqarah: 183 dan 184 adalah dasar pelaksanaan puasa bagi umat Islam paling awal. Dan karena pelaksanaannya sangat memberatkan karena waktu puasanya sehari semalam, maka banyak sahabat yang gagal dalam melaksanakannya. Karena itulah, kedua ayat tersebut dinaskh dengan ayat 185 dan 187. Secara lebih detail, Ibnu Katsir di dalam tafsirnya memberikan penjelasan bahwa puasa yang dimaksud dalam kedua ayat 183-184 bersifat wajib pilihan dan waktu pelaksanaannya bukan di bulan Ramadlan, melainkan tiga hari setiap bulan yang sekarang dikenal dengan puasa ayyâm al-bîdl, yaitu tiga hari pada tanggal 13, 14, dan 15. Yang tidak mau melakukannya bisa menggantinya dengan membayar fidyah dengan memberikan makan kepada orang miskin. Waktunya hampir sehari semalam, sehingga tidak ada makan sahur. Praktis kesempatan untuk makan, minum, dan juga melakukan hubungan suami istri hanya antara waktu maghrib dan isya sampai tidur malam. Setelah itu harus kembali menjalankan puasa. Karena banyak yang mengalami kegagalan, bahkan di antaranya adalah elite sahabat yang terkenal, Umar Bin Khaththab, maka Allah memberikan keringanan. Bukan hanya teknisnya diubah dengan mengumpulkan puasa di bulan Ramadlan sebagaimana terdapat dalam ayat 185, tetapi juga keringanan hampir 50% waktunya sebagaimana dalam ayat 187.

Konsep mengenai takdir dan sunnatullah selama ini banyak yang terbalik. Yang mestinya sunnatullah dianggap sebagai takdir, sehingga menyebabkan sebagian besar umat ini terjebak ke dalam paradigma fatalisme. Padahal konsep takdir terdapat pada ayat tiga ayat dalam al-Qur’an yang salah satunya terdapat dalam surat yang termasuk dalam kategori paling sering dibaca, yaitu surat Yasin: 38-39.

وَالشَّمْسُ تَجرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ – وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (Yasin: 38-39).

Jelas sekali bahwa takdir dalam al-Qur’an dikonsepsikan sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah. Sedangkan yang bisa berubah sesuai dengan kehendak bebas manusia adalah sunnatullah. Hukumnya adalah sebab dan akibat. Jika manusia beriman dan bertakwa, maka Allah akan memberikan berkah, dan sebaliknya jika mendustakan dan berbuat kedurhakaan, maka yang terjadi adalah adzab. Sunnatullah itulah yang terjadi pada umat-umat di masa lalu.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (al-A’raf: 96)

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Ali Imran: 137)

Contoh lain adalah ketika kita menghadapi isu-isu kemodernan, misalnya isu-isu tentang humanisme dan feminisme. Humanisme hanya membincang tentang kebaikan dilakukan untuk sesame manusia, tetapi tidak memiliki basis ketuhanan yang benar. Al-Qur’an memberikan perspektif yang sangat jelas dalam surat al-Ashr: 1-3 yang menegaskan pentingnya satu kesatuan antara iman dan amal saleh, bahkan ditambahkan lagi ketegasan perlunya memerintahkan kepada kebenaran dan kesabaran. Namun, sayang sekali, ayat ini sering disalahpahami, bahwa sumpah Allah demi waktu adalah karena pentingnya waktu, tetapi banyak disia-siakan oleh sebagian orang. Padahal, surat ini ingin menegaskan bahwa banyak orang yang telah menggunakan waktunya untuk beramal baik, tetapi tidak menghasilkan balasan yang lebih baik di akhirat. Penyebabnya adalah mereka tidak mendasarkan amal kebaikan itu kepada iman yang benar kepada Allah Swt.. Ini ditegaskan dalam al-Kahfi: 103-105.

Contoh terakhir berkaitan dengan desakralisasi. Dan ini penting, karena kehidupan kita adalah rangkaian sejarah yang terhubung dengan kejadian dan prakti-praktik kebudayaan di masa lalu yang sebagiannya menghasilkan kata dan tindakan yang tidak bisa diubah, atau setidaknya masih diakomodasi karena berbagai pertimbangan. Sebagian kalangan menganggap warisan budaya itu langsung dianggap sebagai kesesatan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam nerasa. Padahal al-Qur’an memberikan perspektif yang bisa dikatakan longgar dan lebih melihat kepada motifnya. Di antara contoh ayat tentang ini adalah al-Baqarah:

 إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 158)

Ayat ini, kalau dipahami tanpa konteks akan membingungkan, karena akan menghasilkan pemahaman bahwa hukum sa’i lebih baik ditinggal. Pemahaman literal ini bisa ditarik dari frase “maka tidak dosa untuk sa’i antara keduanya”. Akan tetapi, kalau dipahami dengan konteksnya, maka maksudnya tidak demikian, atau bahkan sebaliknya, karena justru akan membuat kita memiliki panduan jelas dalam melakukan kontekstualisasi dan rekontekstualisasi yang menunjukkan bahwa al-Qur’an memang kitab panduan yang luar biasa. Dengan hanya yang kini ditulis dalam 604 halaman, tetapi kanduangannya meliputi seluruh aspek kehidupan dari zaman ke zaman, dari medan ke medan yang lainnya.  Ayat ini diturunkan karena para sahabat saat itu khawatir menjadi musyrik dengan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Sebab, di kedua tempat itu dan di antaranya terdapat banyak patung atau berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik. Kekhawatiran itulah yang menyebabkan ayat ini turun, memberikan ketenangan bahwa walaupun mereka beribadah di tengah-tengah perangkat paganisme saat itu, tetapi tidak membuat mereka menjadi syirik. Melakukan sa’i di antara patung-patung itu bukanlah sebuah dosa. Dalam kehidupan kita sekarang, ayat ini bisa dijadikan sebagai landasan bagi ketiadaan larangan pengembangan seni patung. Apalagi ditambah dengan kisah dalam al-Qur’an tentang Nabi Sulaiman yang membangun kerajaannya dengan berbagai ornamen yang diantaranya adalah patung-patung.

يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (Saba’: 13)

 

اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اَللَّهُ اَكْبَرْ

Kaum mu’minin wal mu’minat, jama’ah shalat Idul Adlha yang berbahagia.

Akhirnya, dengan terus merenungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan visi melakukan koreksi pemahaman, kontekstualisasi, dan rekontekstualisasi, kita akan merasakan seolah-olah al-Qur’an baru saja diturunkan kembali. Ayat-ayat al-Qur’an akan selalu memberikan vitalitas baru kepada kita dalam menjalani seluruh aspek kehidupan. Marilah kita berdoa, semoga Allah memberikan bimbingan kepada kita semua agar tak pernah bosa melakukan tadabbur al-Qur’an.

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الاَحْيِاءِ مِنْهُمْ وَالاَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ فيَا قَاضِيَ الحَاجَاتِ

اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ والعفو عىد الحساب بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَالْمُسلِمِين وَاجْمَعْ كَلِمَةَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْحَقِّ يَا رَبَّ الْعَلَمِينَ

اَللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ

اَللَّهُمَّ رَبَّنَا تَـقَـبَّلْ مِنَّا صَلاَتَنَا وَتُبْ عَلَينا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ  وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *