TA’AWWUDZ DAN AYAT-AYAT SETAN

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Pengasuh Pondok Pesantren & Sekolah Alam Planet NUFO (Nurul Furqon) Rembang, Guru Utama di Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang, dan Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ

Dalam hampir seluruh kitab tafsir, diskursus tentang ta’awwudz bisa dikatakan terbatas dan terhenti pada seputaran hukum membacanya sebelum membaca al-Qur’an. Dan sebagian besar ulama’ tafsir mengatakan bahwa membacanya adalah sunnah, walaupun ada ayat yang secara tegas memerintahkannya. Sebab, dalam pandangan mereka, cukup banyak perintah dalam al-Qur’an yang tidak harus dikerjakan. Tetapi mengerjakannya adalah keutamaan.

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (al-Nahl: 98)

Karena kajian yang sangat terbatas pada persoalan hukum, maka ada dimensi sejarah dan konsepsi yang tidak tergali yang menjadi latar belakang perintah untuk membaca ta’awwudz ini. Implikasi lebih jauhnya adalah tuduhan di zaman modern bahwa al-Qur’an berasal dari setan yang di antaranya dituduhkan oleh Salman Rushdi di dalam novel imajinatifnya “The Satanic Verses”, tidak pernah dijawab secara intelektual. Yang muncul hanyalah sekedar sikap emosional untuk menghabisi nyawa sang penulis yang membuatnya makin terkenal, bahkan dalam skala internasional.

Sesungguhnya, perintah ini berlatar belakang konteks masyarakat Arab yang memiliki kepercayaan bahwa para penyair yang memiliki kemampuan menggubah kalimat-kalimat yang sangat indah memiliki khadam (pembantu, sekutu) jin. Karena Nabi Muhammad secara tiba-tiba menyampaikan kalimat-kalimat puitis yang luar biasa, maka sebagian besar mereka menuduhnya telah kerasukan jin (majnûn). Padahal yang datang kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan ayat-ayat dengan kualitas sastra tak tertandingi itu bukanlah jin sebagaimana anggapan masyarakat Arab Jahiliyah, melainkan Malaikat Jibril. Dan untuk memastikan bahwa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah benar-benar wahyu dari Allah, maka Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad berlindung kepadaNya dari setan yang terkutuk. Perintah untuk berlindung kepada Allah dari setan itu tidak hanya sekali, dan tidak hanya dalam konteks hendak membaca al-Qur’an.

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-A’raf: 200)

Satu lagi ayat yang nyaris sama dengan ini adalah:

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 36)

Selain itu, al-Qur’an juga menginformasikan bahwa penyebab orang-orang yang saat itu mengingkari ayat=ayat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah kesombongan belaka.

إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ ۙ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ ۚ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Ghafir: 56)

Mereka ini oleh al-Qur’an juga disebut sebagai setan. Mereka adalah elite-elite suku yang merasa tersaingi atau bahkan terkalahkan, karena ayat=ayat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad benar-benar melampaui hasil karya sastra yang sebelumnya telah ada.

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (al-Baqarah: 14)

Jika pun Nabi Muhammad adalah sekedar penyair, maka mereka telah kalah. Apalagi Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka mereka merasa bahwa suku mereka akan menjadi sangat inferior. Di antara sikap ini muncul dari Abu Jahal yang bernama asli Amr bin Hisyam dan berjulukan Abu al-Hakam ketika ditanya oleh al-Akhnas bin Syuraiq sahabatnya tentang pribadi Nabi Muhammad.

“Wahai Aba al-Hakam, beritahukan kepadaku tentang Muhammad, apakah dia orang yang jujur atau pendusta?”

Abu Jahal menjawab: “Celakalah kamu. Demi Allah, sungguh Muhammad adalah seroang yang jujur. Bahkan kami dulu menjulukinya sebagai al-Amin. Namun, kalau anak-anak Qushay itu sudah memegang al-liwa’ (mengatur urusan perang), hijabah (memegang kunci ka’bah), siqayah (memberikan minum kepada jama’ah haji dan umrah), dan sekarang juga di dalamnya ada kenabian, maka kami kebagian apa?”

Para pemimpin yang menolak Nabi Muhammad itulah yang memberikan pengaruh-pengaruh buruk kepada masyarakat, sehingga mereka kemudian juga terpengaruh untuk menolak Nabi Muhammad. Karena itulah mereka juga mendapatkan sebutan sebagai setan sebagaimana terdapat dalam beberapa ayat, di antaranya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (al-An’am: 112)

Untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah, bukan dari jin yang menjadi agen-agen para penyair, maka Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menantang siapa pun untuk melakukan kolaborasi dengan jin untuk membuat yang seperti al-Qur’an. Al-Qur’an sekaligus menegaskan bahwa tak akan pernah ada yang sanggup melakukannya.

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (al-Isra’: 88)

Dan sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an, sampai kapan pun tidak akan ada yang mampu membuat seperti al-Qur’an, walaupun hanya sepuluh surat, bahkan walaupun hanya satu surat yang paling pendek.

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al=Qur’an itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (Hud: 13)

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (al-Baqarah: 23)

Berulang-ulang al-Qur’an menegaskan bahwa al-Qur’an tidak diturunkan melalui setan. Setan tidak mungkin mampu melakukannya, karena mereka tidak pernah bisa mendengar al-Qur’an, mereka dijauhkan darinya.

وَمَا تَنَزَّلَتْ بِهِ الشَّيَاطِينُ – وَمَا يَنْبَغِي لَهُمْ وَمَا يَسْتَطِيعُونَ – إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ

Dan al-Qura’n itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan-syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun al-Qur’an itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar al-Qur’an itu. (al-Syu’ara: 210-212)

Lebih dari itu, al-Qur’an benar-benar dijaga, sehingga tidak ada satu pun jin yang bisa mencuri-curi informasi tentangnya.

وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ – لَوْ مَا تَأْتِينَا بِالْمَلَائِكَةِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ – مَا نُنَزِّلُ الْمَلَائِكَةَ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ – إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. Mengapa kamu tidak mendatangkan malaikat kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar?” Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (al-Hijr: 6-9)

وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ – وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ – إِلَّا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ – وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk, kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang. Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (al-Hijr: 16-19)

Allah berulangkali menegaskan bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu dariNya yang disampaikan oleh Malaikat Jibril langsung ke dalam pikiran Nabi Muhammad saw.

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ – نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ – عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ – بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ – وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ – أَوَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ آيَةً أَنْ يَعْلَمَهُ عُلَمَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ – وَلَوْ نَزَّلْنَاهُ عَلَىٰ بَعْضِ الْأَعْجَمِينَ – فَقَرَأَهُ عَلَيْهِمْ مَا كَانُوا بِهِ مُؤْمِنِينَ – كَذَٰلِكَ سَلَكْنَاهُ فِي قُلُوبِ الْمُجْرِمِينَ

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.. Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? Dan kalau al-Qur’an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir); niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya. Demikianlah Kami masukkan al-Qur’an ke dalam hati orang-orang yang durhaka. (al-Syu’ara: 192-200)

Karena itulah, al-Qur’an ini terbebas dari setan yang merupakan makhluk yang melakukan tindakan durhaka kepada Allah. Al-Qur’an karena itu menyebut dirinya sendiri sebagai perkataan Malaikat Jibril yang sekaligus juga Nabi Muhammad saw., bebas dari perantaraan setan.

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ- وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ – وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ – تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ – وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ – لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ – ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ

Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (al-Haaqqah: 40-46)

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ – ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ – مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ – وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ

sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. (al-Takwir: 19-22)

Seluruh penegasan dan tantangan al-Qur’an yang tak terjawab itu mengkonfirmasi bahwa al-Qur’an memang firman Allah, bukanlah ayat-ayat setan sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang musyrik jahiliyah yang kemudian diulangi lagi oleh Salman Rusydi. Salman Rusydi hanya mengulang tuduhan tentang ayat Gharaniq yang disisipkan dalam surat al-Najm setelah ayat 20, sehingga rangkaiannya menjadi:

اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَالْعُزّٰى وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى

Apakah pandangan kalian tentang (dua berhala) al-Lata dan al-‘Uzza. Serta Manata; (berhala) ketiga yang lain (sebagai anak-anak perempuan Allah yang kamu sembah)? (al-Najm: 19-20)

Orang-orang musyrik jahili, yang kemudian diulangi oleh Salman Rusydi di zaman kontemporer, melontarkan tuduhan bahwa setelah membaca dua ayat itu, Nabi Muhammad membaca ayat yang dibisikkan setan berbunyi:

تِلْكَ الْغَرَانِيْقُ الْعُلٰى. وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرْتَجَى

Itu adalah burung-burung bangau (para malaikat) yang mulia. Pertolongan mereka sungguh diharapkan.

Karena konteks pandangan masyarakat Arab jahiliyah tentang adanya kolaborasi antara para penyair dengan setan itulah, Nabi Muhammad diperintahkan agar sebelum membaca al-Qur’an berlindung kepada Allah dari godaan atau bisikan setan. Itu menegaskan bahwa Nabi Muhammad terbebas dari persekutuan dengan setan sebagaimana para penyair yang oleh masyarakat Arab jahili dikonsepsikan sebagai majnun. Muhammad bukanlah seorang yang majnun, melainkan nabi dan utusan Allah yang pesan-pesanNya disampaikan melalui Malaikat Jibril. Bahkan para setan itu tak pernah bisa mengakses al-Qur’an yang ada di lauh mahfudh.

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ – فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ – لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ – تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lauh al-mahfudh), tidak menyentuhnya kecuali mailakat-malaikat yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin. (al-Waqi’ah: 77-80).

Ayat yang terakhir ini makin menunjukkan bahwa berulangkali al-Qur’an menegaskan bahwa al-Qur’an tidak berasal dari jin. Sayangnya ayat-ayat ini dipahami secara distortif, lepas dari konteks awalnya, sehingga pemahaman yang seharusnya justru terlupakan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *