Kebahagiaan dan Ketenangan Hidup

Adakah kesuksesan besar tanpa perjuangan yang berdarah-darah? Adakah pencapaian hebat tanpa pengorbanan luar biasa?

Jika ada, maka bisa dipastikan ada dua kemungkinan. Pertama, dia merupakan anak konglomerat super kaya, sekaligus merupakan pewaris tunggal.

Kedua, dia memenangkan undian dengan hadiah fantastis. Ya, keduanya itu mendapatkan keberuntungan yang mana tidak semua orang bisa mendapatkannya.

Lagian, kita tidak bisa request kepada Tuhan dari rahim siapa kita dilahirkan. Semua ditentukan oleh-Nya. Kapan, di mana, dan siapa ayah dan ibu kita. Begitu juga, siapa yang akan memenangkan hadiah undian tadi. Faktor keberuntungan memang kadang menggiurkan.

Namun, percayalah, setiap kesuksesan itu, pada dasarnya diperjuangkan. Harus ada hal-hal yang kita korbankan untuk mencapai puncak tertinggi kesuksesan. Mulai dari berkorban waktu, tenaga, pikiran, dan semacamnya. Tidak ada jalan pintas untuk meraih sesuatu yang besar.

Kita sendiri kadang terjebak dalam mendefinisikan makna kesuksesan berdasarkan pandangan umum sebagian orang. Pandangan yang kadang salah kaprah. Seperti halnya, sukses itu ketika memiliki mobil mewah, rumah megah, aset di mana-mana, dan gelar yang berderet-deret.

Ditambah lagi, suskses diartikan ketika seseorang mencapai puncak popularitas. Keterkenalan seolah menjadi indikator seseorang dikatakan sukses atau tidak. Dalam hal ini, kita cenderung memaknai kesuksesan merupakan kemapanan. Kita mengukur kesuksesan seseorang ketika sudah merengkuh beragam kenikmatan dan kenyamanan hidup.

Sesuatu yang termporal alias terbatas kita gunakan sebagai alat ukur. Belum lagi kita mengira bahwa kekayaan dan kemasyhuran sejalan dengan tingkat kebahagiaan. Padahal belum tentu.

Betapa banyak, orang-orang terkenal, kaya raya, asetnya berlimpah, yang merasa tidak bahagia dalam hidupnya. Ironinya lagi, sebagian justru memilih mengakhiri hidupnya alias bunuh diri ketika sedang berada di puncak karirnya.

Jiwanya gersang. Batinnya kering. Mereka merasa dahaga dan lapar di tengah kondisi yang serba ada dan serba cukup. Kalangan jet set tersebut seakan tidak menemukan kenyamanan dan ketentraman jiwa. Alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas menjadi semacam pelarian dari pikiran dan hatinya yang resah.

Tapi, nyatanya hal-hal semacam itu sebatas memberikan kenikmatan sesaat yang sifatnya merusak. Alih-alih bisa menyembuhkan batinnya yang kosong, yang terjadi justru semakin kering dan gersang. Padahal, rekeningnya gendut, rumahnya di mana-mana, mobilnya lebih dari lima keluaran Eropa semua, terkenal pula.

Tapi, semua itu seolah tak membantu mendamaikan jiwanya. Dengan demikian, saya menegaskan: tidak ada korelasi antara kekayaan dan kebahagiaan hidup.

Lalu, timbul pertanyaan: lantas apa resep untuk meraih kebahagiaan hidup? Bukankah orang yang serba ada bisa membeli apa saja dan pergi ke mana saja? Bukankah hal semacam itu justru membuat hati lebih berbunga-bunga?

Baiklah, ini sebenarnya Islam sendiri tidak melarang seseorang untuk menjadi kaya raya. Menikmati beragam kenikmatan hidup. Hanya saja, yang perlu digarisbawahi adalah dari mana harta itu diperoleh dan untuk apa harta itu. Apakah didapatkan dengan cara yang sesuai syariat atau tidak.

Digunakan sesuai dengan aturan agama atau tidak. Sebab, harta akan menjadi membawa keberkahan jika memang pemiliknya menggunakan untuk meningkatkan iman dan takwannya kepada Allah. Bukan sebaliknya, justru menjadi bumerang yang membuat hati pemiliknya lalai akan perintah dan larangan-Nya. Sebab, tidak jarang, banyak orang yang kaya yang justru terjebak akan gemerlap dunia.

Dia menjadi lupa akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah. Menyepelekan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang muslim dan mukmin. Maka dalam hal ini, harta justru memperkeruh jiwanya. Dia meletakkan harta di hatinya. Bahkan, menjadikan tujuan utama dalam perjalanan hidupnya. Kerakusan, hedonisme, dan materialisme merasuki jiwanya.

Pantas saja jika jiwanya merasa kosong. Hatinya sukar untuk tenang dan bahagia. Apalagi, ketenangan hidup itu tidak terletak pada benda-benda duniawi yang kita miliki.

Padahal, dalam Al-Quran Surah Ar-Ra`d sudah jelas diterangkan mengenai kunci ketenangan hidup. Terjemahannya begini: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.

Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati selalu tentram. Dari penggalan ayat tersebut harusnya kita mengetahui dan memahami betul bahwa di dunia ini, tidak ada suatu hal apa pun yang membuat hati kita tenang melainkan hanya dengan mengingat Allah.

Apapaun yang kita punyai, termasuk jabatan, popularitas, pengaruh, status sosial, rumah mewah, dan semacamnya, tidak menjadi jaminan mendapatkan ketenangan hidup. Justru sebaliknya, jika tak pandai-pandai mensyukurinya, membuat kita jauh dari Allah dan semakin resah jiwa kita.

Kemudian terkait kebahagiaan hidup, izinkan saya mengutip isi khutbah KH Ahmad Zuhri Adnan, Pengasuh Ponpes Ketintang Cirebon, yang dipublikasikan nu.or.id.

Beliau menyampaikan bahwa ada lima kunci meraih kebahagiaan. Di antaranya yaitu sabar, syukur, ikhlas, ridha, dan tawakkal. Ringkasnya, untuk bahagia di dunia dan akhirat, kita mesti senantiasa sabar mentaati perintah-Nya, menjauhi larangan-nya, menghadapi musibah, dan menerima ketentuan-Nya.

Kita juga perlu terus menyukuri beragam nikmat yang terhitung yang diberikan kepada kita. Baik bersyukur melalui hati, lisan, maupun perbuatan. Tidak hanya itu, kita juga harus selalu ikhlas ketika beramal dan ridha, alias menerima segala takdir yang Allah berikan tanpa mengeluh.

Terakhir, kita juga perlu senantiasa tawakkal, alias menyerahkan segala urusan kepada Allah dan hanya meminta pertolongan kepada Allah atas segala sesuatu yang menimpa kita. Sebab, memang hanya Allah lah, kita bergantung.

Baiklah, dari uraian ringkas di atas, mungkin sudah diperoleh sedikit gambaran mengenai kesuksesan, kebahagiaan, dan ketenangan. Sehingga, hemat saya, setiap mukmin dan muslim, memang harus mengejar kesuksesan dan kebahagiaan hakiki.

Kesuksesan dan kebahagiaan jangka panjang, abadi, dan tak lapuk dimakan waktu. Jangan pernah sekali-kali berpikir dan beranggapan materi, jabatan, dan status sosial menjanjikan kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab, hal-hal semacma itu bisa mengecoh orientasi utama kita.

Sebaliknya, jadikan semua hal yang kita miliki di dunia untuk jalan menjadi hamba yang yang lebih bertakwa lahir dan batin. Menjadikan kita pribadi yang membawa sebanyak-banyaknya manfaat kepada sesama manusia. Pun demikian dengan ketenangan jiwa, hanya akan kita dapatkan jika hati, lisan, dan perbuatan kita selalu berdzikir kepada-Nya siang dan malam.

Jadi intinya, sukses, bahagia, dan tenang itu akan kita dapatkan jika dalam keseharian kita selalu melibatkan Allah, selalu ingat pada-Nya, istikamah taat pada perintah-Nya, istikamah menjauhi larangannya, dan berlomba-lomba berbuat kebaikan selama hidup. Percayalah, dengan begitu, hidup akan terasa lebih damai dan penuh dengan rasa syukur kepada Sang Pencipta alam beserta isinya.

 

*) Oleh: Muhammad Aufal Fresky, Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *