Spirit Islam dalam Peradaban Modern

Le Catedral De Sevilla, Gereja Yang Dulunya Adalah Masjid (www.uv.es)

Integrasi antara sains dan tekhnologi merupakan perpaduan yang sangat apik, hingga dunia seolah berada dalam genggaman. Kemajuan IPTEK telah banyak membawa perubahan bagi masyarakat, baik dalam pola pikir, bersikap, maupun bertingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan. Kemajuan zaman ini, mengakibatkan sebagian besar manusia mengalami distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera peradaban modern, dan beberapa hal lainnya. Akibat yang ditimbulkan oleh gaya hidup modern—yang lebih mementingkan dunia materi dan mengabaikan aspek-aspek batiniah—yaitu terjadinya gangguan kejiwaan, seperti kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang, psikosomatis dan lain sebagainya. Banyak manusia yang terlena dengan segala kecanggihan yang telah disugguhkan pada era modern ini.

Kemoderenan dunia ternyata tidak hanya mendatangkan kondisi dunia yang semakin canggih dari sudut sarana dan fasilitas kehidupan, tetapi juga menyodorkan nilai-nilai baru yang modern dan progresif. Modernitas, dengan demikian, secara tak terelakkan menghadapkan agama-agama, termasuk umat Islam kepada dua pilihan: Mengadaptasikan diri dan agamanya dengan melakukan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel hingga mereka menjadi bagian dari modernitas atau melawan serta menarik diri darinya atas dasar pertimbanagan bahwa kemoderenan dunia itu tersembul di bagian dunia dengan perangai manusianya yang tidak bersemi sebagai makhluk Tuhan.

Umat Islam yang sekarang termarginalkan, ia tersungkur kalah dengan kemajuan peradaban lain yang penuh dengan gegap gempita kemenangan dan menguasai hampir setiap lini sendi kehidupan umat Islam, baik sektor ekonomi, perpolitikan dan juga budaya yang menghegemoni, kesemuanya merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Padahal kesuksesan dunia juga merupakan penentu terhadap kenyamanan ukhrawi. Agama yang benar harus mampu merealisasikan konsep Tuhan ideal menjelma dalam kesuksesan dunia. Sehingga tolak ukur kebenaran agama tersebut mampu diuji dan dirasakan secara nyata.

Menurut Bernard Lewis, salah satu tokoh orientalis kontemporer mencatat bahwa: “Islam –the offspring of Arabia and the Arabian Prophet—was not only a system of belief and cult. It was also a system of state, society, law, thought and art, a civilization with religion as its unifying eventually dominating, factor.”  Artinya, Islam dan peradaban merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan.Sejak kehadirannya, Islam memang telah membawa konsep dan misi peradaban yang inheren dalam dirinya. Karena Islam hadir membawa satu sistem yang menaungi kebahagiaan individu dan masyarakat (al-fard wa al-mujtama’ ), maka tak heran jika peradaban Islam tidak bisa lepas dari spiritnya, yaitu Islam. Dengan Islam sebagai dîn dan madaniyyah atau hadlârah (peradaban) itu, peradaban umat Islam menjadi jelas maknanya, konsepnya, karakteristiknya, dan kontribusinya terhadap manusia dan kemanusiaan.

Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa agama (agama manapun) tidak ada yang terlibat langsung ikut membidangi lahirnya kemoderenan dunia, dengan kata lain agama-agama “absen” dalam proses ditemukannya kemoderenan dunia di Eropa. Islam sendiri hanya sebagai penginspirasi, saat komentar-komentar Ibnu Rusyd dialihkan ke Eropa yang mendorong pengaruh Averoisme di benua itu. Sementara Kristen meninggalkan proses itu ketika gereja berpisah jalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan munculnya sekulerisme di Eropa.

Manusia yang hidup bermasyarakat ialah subyek serta obyek perubahan. Proses perubahan mungkin berlangsung dalam berbagai jenis kemajuan, yang lambat atau sedang dan yang cepat atau secara evolusi dan revolusi. Oleh sebab itu, jika agama Islam itu adalah agama pemungkas atau agama terakhir yang berlaku dimana saja dan kapan saja, maka itu berarti keyakinan kita juga, bahwa agama Islam itu dapat memberikan pedoman dasar, memberikan bimbingan dan memberikan pemecahan-pemecahan masalah prinsip yang dihadapi umat manusia sepanjang zaman. Logika demikian memberikan konsekuensi implementatif kepada umat Islam, untuk dapat membuktikan dan mengangkat nilai-nilai Islam  dalam  realitas  kehidupan,  tanpa  melakukan  penyeberangan  dari  wilayah keislamannya, tapi juga tidak melakukan sikap-sikap konyol yang menempatkan umat Islam dalam posisi  terbuang ke pinggiran daerah cagar budaya.

Jika agama Islam mengatakan Rahmatan lil-‘Alamîn, maka Islam harus mampu membuktikan diri sebagai penguasa adidaya, dalam menciptakan stabilitas keamanan, kenyamanan dan kalau perlu sebagai barisan penentu kebijakan dunia. Hingga bumi ini sampai seakar-akarnya merasakan keindakan berislam. Satu diantara mewujudkan itu semua adalah kembali berupaya membumikan Al-Qur’an secara terus menerus, ide dan gagasan yang ada dalam Al-Qur’an harus bisa dipahami secara komprehensif dan berkembang, memenuhi kebutuhan setiap jaman. Tidak terkecuali Al-Qur’an juga harus mampu membangkitkan kaum Muslimin kembali modern dan sekaligus menjawab tantangan modernitas.

Butuh kerja keras dari semua komponen, keterlibatan segenap disiplin ilmu pengetahuan yang kesemuanya harus bertumpu pada al-Qur’an. Eropa Barat maju karena mereka meniggalkan agamanya, namun tidak dengan kaum Muslimin, ia akan maju dengan mendekati Agamanya. Agama Islam yang ternyata sangat relevan dengan kemajuan zaman, kitab suci yang datang dari Tuhan yang benar tidak akan besebrangan dengan rumusan teori alam yang diciptakan Tuhan, itulah al-Qur’an. Kalau umat Islam sudah berpartisipasi dalam kemajuan peradaban dunia, maka secara otomatis konsekwensi logis citra Barat terhadap Islam akan membaik.

Peran dan tawaran solusi Al-Qur’an guna menciptakan tatanan nilai kehidupan ideal sebagaimana yang sering didengung-dengungkan haruslah terealisasikan, baik implementasi ajaran hidup dan konsep-konsep Al-Qur’an yang menjawab tantangan Barat dan Modernisasi. Sederhananya adalah aturan langit harus dibumikan. Kalau hanya teori tidak terbukti secara empiris, maka dunia abad 21 mempertanyakan dan meragu-ragukan kebenarannya. Walaupun Al-Qur’an memiliki relevansi dengan etika global dan memberi inspirasi ilmu pengetahuan, tampa bukti akan menjadi kelemahan fatal. Wallahu a’lamu bi al-shawaab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *