Andi Mappettahang Fatwa atau yang dikenal luas dengan AM. Fatwa atau yang akrab disapa Pak atau Bang Fatwa adalah sosok yang sudah saya dengar namanya sejak saya sekolah menengah. Beliau adalah aktivis dakwah dan tokoh petisi 50 yang pernah dipenjara oleh rezim Orde Baru.

Aktivitas inilah yang mengantarkannya ke dunia politik dan menjadi anggota DPR RI dari PAN (Partai Amanat Nasional) awal reformasi, tahun 1999. Namun, jangan salah. Hubungan Pak Fatwa ternyata terjaga dengan sangat baik. Ketika Pak Harto dirawat di rumah sakit, Pak Fatwa datang menjenguk dan keduanya berkomunikasi dengan akrab.

Keduanya memiliki kebesaran jiwa bahwa oposisi politik dengan segala risikonya itu adalah sesuatu yang biasa saja. Perkenalan saya secara pribadi dengan Pak Fatwa, dan kemudian menjadi cukup dekat, baru terjadi setelah saya menjadi Staff Ahli Fraksi PAN DPR RI 2004-2009. Pak Fatwa waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI.

Karena Pak Fatwa tahu bahwa saya mempunyai kemampuan menulis dan juga mantan aktivis dan Pengurus Besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), beliau meminta saya masuk ke dalam tim ahlinya untuk memperkuat gagasan-gagasan politiknya. Dengan senang hati saya mengiyakan, tetapi tidak bisa sepenuh waktu karena saya juga harus mengajar di kampus. Waktu itu saya mengajar di Pascasarjana Ilmu Politik UI (awal 2008), FISIP UMJ (akhir 2008), dan kemudian juga di FISIP UIN Jakarta (2011).

Pak Fatwa pun tidak keberatan dengan aktivitas saya di mana pun, karena menurut beliau, yang terpenting adalah memanfaatkan waktu secara berkualitas dengan hasil yang jelas dan terukur. Pak Fatwa adalah tipe orang yang tidak mau mengikat tubuh orang. Yang terpenting adalah bisa diandalkan dengan kontribusi yang konkret sesuai dengan kebutuhan. Apalagi teknologi komunikasi sudah semakin canggih.

Bagi saya, sebagai pengajar ilmu politik, bergaul dengan tokoh-tokoh elite politik sangat penting. Sebab, dengan bergaul secara langsung dengan mereka, saya bisa melihat secara langsung perilaku politik mereka. Dari mereka juga, saya bisa mendapatkan informasi “di balik teks” yang tertulis di berbagai media massa, yang tidak akan pernah dimiliki oleh ilmuan dan pengamat politik yang hanya berkutat dengan aktivitas mengajar di kampus, pengetahuan dan wawasannya hanya dari membaca buku-buku teks dan berita koran. Penelitian pun pasti tidak bisa mendalam. Karena itu, saya sering merasa geli mendengar komentar para pengamat politik yang tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi, karena mereka hanya berbicara asumsi.

Baca Juga  Mengapa Raja Dusta Bisa Berkuasa

Di samping itu, saya bisa mentransformasikan ide-ide politik saya melalui tokoh politik yang punya kekuasaan. Bagaimana pun, politisilah yang memiliki kekuasaan untuk mengendalikan hitam putih kekuasaan, Berdekatan dengaan politisi yang saya anggap memiliki idealisme dan dianggap punya kapasitas untuk menyampaikan ide politik adalah sebuah kesempatan.

Melalui mulut merekalah, saya bisa “menyelipkan” pikiran-pikiran politik saya. Ini saya anggap sebagai cara agar pikiran-pikiran politik saya tidak menjadi sekedar tulisan yang hanya dimuat media massa saja. Walaupun pada akhirnya, saya merasa bahwa menitipkan gagasan politik kepada orang lain sangat tidak cukup. Kalau kita punya gagasan politik, idealnya kita sendirilah yang memperjuangkannya dengan kekuatan yang cukup.

Walaupun sudah sangat senior, namun Pak Fatwa selalu tampil energik, dan yang cukup mengagumkan adalah beliau tetap menjadi pembaca yang sangat telaten. Tidak ada teks yang saya tulis untuknya yang tidak dibacanya terlebih dulu. Jika ada yang perlu ditambahkan, Pak Fatwa minta untuk ditambahkan. Bahkan, suatu ketika, Pak Fatwa minta teks yang saya tulis direvisi. Sebab, teks pidato yang saya tulis itu mengandung satu frase yang bisa membuatnya dianggap tidak konsisten dengan pandangannya di masa lalu.

Untuk masalah pribadi, Pak Fatwa juga sangat perhatian. Apalagi kalau urusan memanfaatkan jaringan. Menurutnya, justru di situlah fungsi politiknya bisa dimanfaatkan. Ketika saya minta Pak Fatwa untuk menjadi saksi pernikahan saya di Ngaliyan, Semarang, tanpa keberatan sama sekali, Pak Fatwa langsung mengiyakan. Pak Fatwa langsung menjadikannya sebagai prioritas agenda dan tidak perlu saya ingatkan lagi. Padahal Pak Fatwa datang hanya untuk duduk dan membubuhkan tanda tangan saja di berkas catatan pernikahan. Namun, beliau menganggap urusan yang begini sebagai bagian dari wujud pertemanan yang nilainya tak kalah penting.

Rupanya, setelah makin akrab dengan Pak Fatwa, beliau menambah tugas untuk saya. Pada tahun 2011, Pak Fatwa menyatakan ingin memiliki warisan dalam bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan tinggi, berlokasi di bekas rumahnya di kawasan Sentiong yang sering disebut “kumis” (kumuh dan miskin). Saya diminta untuk memimpinnya. Yang ini, awalnya saya tolak karena masalah waktu yang saya merasa tak cukup lagi. Apalagi saya baru saja mendirikan Rumah Perkaderan Mohammad Nasih “Monash” Institute di Semarang yang harus saya beri perhatian cukup. Namun, Pak Fatwa bersikukuh dengan mengatakan bahwa “orang sibuk adalah orang yang pandai mengatur waktu”. Dengan terpaksa, saya akhirnya mengiyakan.

Baca Juga  Gus Sholah dan Moralitas Aktivis Islam

Bersama beberapa tokoh lain, gagasan mendirikan perguruan tinggi itu akhirnya menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan (STEBANK) Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Jakarta.

Fokus bidang ekonomi ini akhirnya dipilih atas saran Prof. Fasli Djalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional saat itu. Karena fokus bidang ekonomi ini, saya memiliki alasan kepada Pak Fatwa, agar bukan saya yang memimpin. Saya minta Pak Fatwa mencari figur lain yang memiliki kepakaran dan pengalaman lapangan di bidang ekonomi.

Akhirnya, saya dipertemukan dengan Mas Dr. Aries Muftie, praktisi ekonomi dan perbankan syari’ah, mantan Presiden MES (Masyarakat Ekonomi Syari’ah) dan memiliki pengalaman dalam dana luar negeri di bidang ekonomi syari’ah. Sangat cocok. Namun, Pak Fatwa tetap memintaa saya membantu dalam kepemimpinan STEBANK. Mas Aries jadi Direktur dan saya menjadi Wakil Direktur Bidang Akademik.

Selain menjadi direktur bidang akademik, saya diminta Pak Fatwa untuk memimpin pesantren mahasiswa yang gedungnya dibangun persis berdampingan dengan gedung STEBANK. Bisa dikatakan, sejak tahun 2012 sampai 2018, setiap Senin-Kamis, selain urusan politik dan mengajar di Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, saya menghabiskan waktu di sini menemani santri-mahasiswa.

Pesantren Putra Fatahillah ini menjadi center of excellent untuk pembinaan mahasiswa, dan sebisa mungkin tidak hanya dari STEBANK, tetapi juga dari kampus-kampus lain di Jakarta dan sekitarnya. Setiap habis shubuh sampai pukul 06.00 dan kadang setelah maghrib sampai isya’ mengajar tafsir al-Qur’an.

Secara rutin, Pak Fatwa mengunjungi STEBANK dan memiliki ruang khusus untuk The Fatwa Center. Dalam berbagai kesempatan, baik dalam forum rapat maupun perbincangan informal, Pak Fatwa sering berpesan agar lembaga pendidikan dan pemberdayaan ini benar-benar bisa dikembangkan, agar menjadi amal jariyahnya.

Baca Juga  Ke Planet Nufo Dua Kali Sepekan

Agar ketika beliau meninggal, ada banyak santri-mahasiswa yang mendo’akannya. Walaupun setelah beliau wafat sekolah tinggi ini “terpaksa” harus kami pindah di bawah naungan YAPI, tetapi tetap saja peran beliau tidak pernah akan terhapus.

Pak Fatwa adalah sosok yang walaupun sangat senior dalam kiprah keumatan dan kebangsaan Indonesia, tetapi dalam pergaulan sehari-hari sangat bersahaja tanpa ada keinginan jaga image. Dan walaupun pejabat tinggi sangat mengoptimalkan protokoler, tetapi sesungguhnya sangat egaliter dan menempatkan seseorang sesuai dengan kapasitas dan fungsinya. Bahkan, ketika suatu ketika saya membantu membawakan bukunya pun tidak boleh. Dan ketika ada saya, Pak Fatwa yang juga dikenal sebagai da’i senior, tidak akan pernah mau menjadi imam shalat, dan secara terbuka meminta saya yang menjadi imam shalat.

Pak Fatwa bersikap sangat biasa dengan yang muda-muda. Tak pernah menonjolkan senioritasnya dalam diskusi, bahkan seringkali satu panggung bersama saya. Terakhir kali satu panggung dengan saya adalah ketika menjadi pembicara di press room DPD RI saat mengkritik pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Ternyata kritik saya saat itu, kini akan terbukti.

Semangat juangnya tetap menyala sampai menjelang tutup usia. Pak Fatwa sudah keluar masuk RS. Namun, dengan infus menempel di tangannya, Pak Fatwa tetap datang ke kampus STEBANK, dan selalu memastikan bahwa lembaga pendidikan yang didirikannya berjalan sesuai dengan yang diinginkannya. Malam terakhir ketika saya menjenguknya di Rumah Sakit MMC Kuningan, ketika saya, Mas Soetrisno “Tris” Bachir dan Bang Zulkifli “Zul” Hasan menjenguknya bersama dengan beberapa politisi PAN lainnya, Pak Fatwa nampak tidak mau seperti orang sakit dengan berusaha untuk bangkit dari pembaringannya. Padahal, sebenarnya memang sudah melemah, karena usianya sudah 78 tahun. Dan tak lama setelah kedatangan kami itu, kami mendengar kabar duka, bahwa Pak Fatwa telah kembali kepada Allah Swt.. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Semoga Allah juga berikan tempat terbaik di sisiNya. Aamiin.

 

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO, Mlagen Rembang; Guru Utama di Rumah Perkaderan Monasmuda Institute Semarang; Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ

Penyakit dalam Organisasi

Previous article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi