Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.

Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ Jakarta; Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang

Politik memiliki pengaruh yang sangat besar pada seluruh aspek kehidupan. Karena itu, dalam perspektif minimalis, politik sering dianggap sebagai seni kemungkinan. Dalam perspektif optimalis bahkan bisa dianggap sebagai seni melawan ketidakmungkinan. Sebab, dengan politik, sesuatu yang dengan selainnya tidak mungkin, menjadi mungkin.

Untuk hasil yang besar, wajar jika ada risiko yang besar. Dalam politik ada risiko itu. Risiko terkecil adalah kehilangan kekayaan untuk biaya politik, dan risiko terbesarnya adalah kematian. Keluar masuk penjara, sudah terlalu biasa. Sesama saudara bersitegang dan bertempur, bahkan saling bunuh sering terjadi dalam politik. Jika bisa berbagi kekuasaan, maka akan terjadi perdamaian. Namun, jika tidak terjadi kesepakatan, maka akan terjadi tindakan bumi hangus. Yang menang mengambil semua (the winner takes all). Itu terjadi sejak zaman kuno sampai era demokrasi modern. Pada hakikatnya, politik adalah medan pertempuran untuk memperebutkan kekuasaan agar bisa digunakan sesuai dengan keinginan yang berkuasa. Karena itu, hanya orang-orang yang memiliki keberanian untuk menanggung risiko sajalah yang bisa dan siap menjalaninya.

Dalam perspektif Barat, politik menjadi medan persaingan bagi kaum kapitalis. Dengan kekuasaan politik, para kapitalis menjadikan negara sebagai alat untuk mengakumulasi kapital. Di antara perspektif tentang politik yang sangat populer di Barat adalah “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana?”. Politik tidak lain dan tidak bukan adalah sekedar medan untuk memperebutkan sumber daya alam untuk kesejahteraan diri sendiri dan kelompok kaum borjuis. Negara menjadi alat untuk melakukan eksploitasi bahkan ekstraksi kepada kaum proletar alias buruh. Dengan aturan legal, mereka melakukan alienasi buruh dari hasil kerjanya.

Baca Juga  Sambut Pesta Demokrasi: Mahasiswa KKN Sosialisasikan Berpolitik Sehat

Namun, politik sesungguhnya bisa dilihat sebagai medan perjuangan yang sangat strategis. Nilai-nilai untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik bisa diperjuangkan. Dengan kekuasaan politik, kebijakan politik bisa dibuat untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Baik atau buruk, benar atau salah sebuah kebijakan politik sangat ditentukan oleh para pembuatnya. Proses pembuatannya dalam lembaga formal kenegaraan itu sesungguhnya adalah pertempuran antara dua atau bahkan lebih kekuatan politik. Hanya saja, pertempurannya terjadi dalam bentuk benturan ide-ide. Bentuk pertempurannya adalah adu argumen untuk mendiskusikan dan menegosiasikan gagasan politik yang akan dijadikan sebagai kebijakan politik yang mengikat seluruh warga negara.

Karena itu, politik haruslah dilihat dengan wawasan yang utuh. Dilihat dengan kaca mata dagang memang tidak salah. Itu bahkan penting untuk menumbuhkan paradigma kritis terhadap para penyelenggara negara. Dalil yang muncul dari perspektif ini di antaranya adalah “kekuasaan cenderung korup; dan kekuasaan yang absolut pasti korup”. Dengan begitu, akan muncul kontrol atau pengawasan atas penyelenggara negara. Mereka harus diawasi dengan ketat, jangan sampai menggunakan kekuasaan untuk korupsi dan memperkaya diri sendiri. Kecenderungan manusia melakukan akumulasi kapital untuk mendatangkan rasa aman menghadapi masa depan, mendorong siapa pun yang memiliki kekuasaan untuk melakukan penyelewengan. Ujungnya adalah berusaha untuk mendapatkan selisih yang besar dibandingkan yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan kekuasaan.

Namun, selalu melihat dengan perspektif dagang, bisa menyebabkan generalisasi yang berbahaya bagi perjuangan nilai-nilai kebaikan dalam medan politik. Politik harus dipandang juga dengan nalar perjuangan. Maksudnya, politik adalah medan untuk mentransformasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Untuk mewujudkan itu, seringkali ada yang harus dibayar. Bahkan jumlahnya bisa sangat besar. Dan dalam konteks ini, kekuasaan yang absolut juga belum tentu korup.

Baca Juga  MENGAJAK SANTRI MANDIRI INTELEKTUAL DAN FINANSIAL

Nalar perjuangan ini akan mengantarkan kepada sikap siap menghadapi segala situasi dan kondisi, bahkan yang terburuk sekalipun. Bahkan situasi dan kondisi buruk itulah yang menuntut keterlibatan dalam politik untuk melakukan perjuangan agar bisa mengikhtiarkan perbaikan. Dalam konteks ini, berpolitik bahkan menjadi panggilan bagi mereka yang memiliki kemampuan.

Nabi Muhammad menjadi contoh terbaik dalam politik. Sebelum menjadi pemimpin politik di Madinah, Nabi Muhammad bersama istrinya, Khadijah, adalah orang yang telah mengorbankan harta kekayaan untuk mengadvokasi orang-orang lemah (mustadl’afin). Rekam jejak inilah yang kemudian menyebabkan banyak orang percaya bahwa semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bukan untuk mendapatkan keuntungan material yang lebih besar untuk diri sendiri dan keluarganya. Bahkan, setelah Nabi Muhammad menjadi pemimpin politik di Negara Madinah, beliau sering tidak makan, karena makanan yang tersisa telah diberikan kepada orang lain. Ketiadaan makanan itu disikapi secara sangat sederhana, dengan berpuasa.

Sikap Nabi Muhammad itu kemudian diikuti oleh empat khalifah setelahnya. Mereka benar-benar mendedikasikan hidup mereka untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk umat yang menjadi tanggung jawab mereka.

Jika Nabi Muhammad dan para sahabatnya terlalu tinggi untuk dijadikan sebagai contoh bagi praktik berpolitik di zaman sekarang, beberapa pendiri bangsa Indonesia juga bisa dijadikan sebagai teladan. Mereka adalah orang-orang yang berpolitik untuk memerdekakan rakyat negara ini dari penjajahan. Setelah merebut kemerdekaan, mereka kemudian melanjutkan ikhtiar untuk membangun kebijakan politik yang diharapkan bisa menjadikan negara sebagai alat untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran.

Baca Juga  Siang-Malam Bersama al-Qur’an

Sekarang, keadaan sudah jauh berubah. Yang tidak pernah berubah adalah perjuangan selalu memerlukan pengorbanan. Pengorbanan yang paling nyata adalah uang. Keberanian mengeluarkan uang untuk menempuh jalan politik merupakan sebuah keharusan, bukan sebaliknya untuk mendapatkan mata pencaharian.

Dengan uang atau harta kekayaan yang tidak terlalu besar, kekuasaan bisa diraih untuk menjalankan fungsi penganggaran, legislasi, dan pengawasan. Fungsi penganggaran memungkinkan untuk mengalokasikan anggaran negara dengan jumlah yang sangat besar, berpuluh, beratus, bahkan beribu kali lipat dibandingkan uang yang dikeluarkan untuk merebut kekuasaan. Karena itu, adalah keliru pandangan yang menggeneralisasi bahwa kesanggupan mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk merebut kekuasaan adalah semata untuk mendapatkan keuntungan material yang lebih besar. Itu memang mungkin, tapi tidak selamanya benar.

Untuk menilai mana pejuang dan mana yang ingin mendapatkan keuntungan material sesungguhnya tidak terlalu sulit. Di antara caranya adalah membandingkan kehidupa sebelum dan setelah berpolitik. Sebelum berpolitik, kehidupan pribadi harus sudah selesai. Bahkan sudah membangun rekam jejak sebagai orang yang memiliki kesanggupan untuk membantu orang lain. Dari kesediaan membantu orang lain inilah ketokohan dibangun. Memberi makan, minuman, dan pakaian adalah bentuk yang paling konkret dalam membantu orang lain. Sebab, ketiganya merupakan kebutuhan dasar yang tak terhindarkan. Dan setelah memegang kendali kekuasaan, ada kebijakan politik yang konkret untuk memperbaiki keadaan. Bahkan mungkin harta kekayaan makin berkurang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Perempuan Haidh Boleh Berpuasa

Previous article

Menyingkap Tirai Bias Gender: Dominasi Laki-laki dalam Masyarakat yang Perlu Dihentikan

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Kolom