Gus Sholah dan Moralitas Aktivis Islam

Baladena.ID/Istimewa

Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengasuh Rumah Tahfidh al-Qur’an MONASH INSTITUTE Semarang.

Saya mendapat kesempatan berbincang secara langsung dan hanya berdua saja dengan Gus Solah saat kami sama-sama menjalankan ibadah haji pada 2018 dalam program Dluyuf Khadim al-Haramain. Dalam rombongan dari Indonesia, jama’ah berasal dari berbagai kalangan. Ada ormas, lembaga pendidikan, profesi, dll. Dari Muhammadiyah ada Ketua Umumnya, Haidar Nashir dan isterinya, Nur Jannah Johantini. Dari NU, walaupun tidak struktural, nampaknya Gus Solah dan istri adalah representasinya, dan masih ditambah dengan beberapa tokoh lainnya.

Gus Solah, yang sudah sangat senior, sering membaur dengan para jama’ah yang sebagiannya masih muda, bahkan ada beberapa yang belum lulus kuliah S1, yang mendapatkan kesempatan haji karena menjadi juara MTQ di kampusnya. Tidak ada sekat sama sekali di antara kami semua. Saat wuquf di ‘Arafah, Gus Solah bahkan mendekati saya dan berkata: “Saya kok sering lihat Anda. Anda penulis Pelita ya?”. Pertanyaan Gus Solah tanpa basa-basi.

Dengan perasaan bahagia, saya mengiyakan. Setelah berbincang, saya jadi tahu bahwa ternyata kami berdua sama-sama diminta oleh Mas Tom (almarhum Sulastomo) untuk menulis di kolom Koran Pelita yang dipimpinnya. Dari perbincangan awal itu, Gus Solah tahu bahwa saya adalah kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), berlatar belakang keluarga NU, kemudian menjalani sebagian karya di lingkungan Muhammadiyah. Dan itu sama sekali tidak mengubah keakraban kilat itu menjadi renggang. Bahkan, saya merasa bahwa Gus Solah kian dekat.

Itu dibuktikan dengan mulai saat itu kami sering terlibat dalam perbincangan santai di sela-sela menjalani ritual haji. Saat mabit di Mina, di dalam tenda besar untuk puluhan bahkan ratusan jama’ah, sofa pembaringan saya hanya beberapa meter saja dari posisi sofa Gus Solah. Saya menyaksikan Gus Solah mulai dari terjaga, menjelang tidur, tidur, sampai bangun kembali. Setelah itu, saya beberapa kali menemani Gus Solah, terutama saat tinggal di salah satu hotel di Madinah hampir sepekan lamanya, saat saya melihatnya sedang di meja makan sendiri. Dan itulah kesempatan saya berbincang empat mata saja.

Karena hanya berdua, kami jadi lebih bebas berbincang. Bahkan sampai kepada berbagai hal yang cenderung personal, mulai keterlibatannya dalam Pilpres menjadi cawapres mendampingi Wiranto sampai muktamar NU yang Gus Solah kalah.

Berbagai kejadian mutakhir saat itu membuat Gus Solah resah dan gelisah. Tidak hanya politik yang sudah diwarnai tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadaban. Kalau politik praktis rusak, praktik korupsi di lembaga politik dan birokrasi kian menjadi-jadi, dan pemilu diwarnai praktik politik uang yang sangat marak, itu sudah lama menjadi hal jamak.

Namun, yang lebih memprihatinkan Gus Solah adalah ormas yang mestinya menjadi penjaga moral masyarakat dan bangsa pun justru terkena wabah penyakit pragmatisme tersebut. Uang telah dianggap segalanya dan dengannya jabatan direbut dengan mengabaikan moral etika. Pemilihan pemimpinnya diwarnai dengan praktik politik uang dan ditunggangi oleh kepentingan politik yang sudah rusak itu.

Dalam pandangan Gus Solah, itu merupakan tantangan yang tidak ringan. Sebab, sikap elite yang demikian mendapatkan tempat yang sangat subur dalam mayoritas masyarakat yang justru menginginkan praktik politik uang. Preferensi memilih mereka adalah uang. Tak ada uang, maka tidak mau mencoblos.

Harus ada generasi baru yang melakukan upaya serius untuk mengembalikan para aktivis, baik politik maupun terutama organisasi sosial keagamaan, kepada khiththahnya. Jika tidak, maka menjadi aktivis hanya akan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan negosiasi kepada pemilik kuasa dan modal. Yang dipikirkan bukan menolong dan memperbaiki kualitas hidup banyak orang, tetapi hanya kepentingan diri sendiri saja. Para aktivis Islam mestinya memiliki rasa malu mempraktekkan cara-cara yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip moral agama. Apalagi Islam, terutama di dalam hadits Nabi Muhammad, dengan tegas menyatakan bahwa orang yang menyuap dan disuap di neraka tempatnya.

Gus Solah awalnya memandang defisit moralitas aktivis Islam itu karena pada umumnya mereka tidak memiliki basis ekonomi yang baik. Karena itulah, kekuasaan kultural yang ada pada mereka, digunakan seoptimal mungkin untuk menarik kapital finansial. Pengaruh mereka dijadikan sebagai daya tawar untuk melakukan negosiasi untuk mendapatkan keuntungan material kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Namun, yang mengherankan Gus Solah adalah fenomena pragmatisme itu juga terjadi pada kalangan ekonomi menengah. Karena itu, karena itu, Gus Solah berpandangan lebih jauh bahwa penyebabnya lebih pada mentalitas. Gaya hidup sederhana sudah mulai ditinggalkan, bahkan oleh para pemuka agama. Hidup bermewah-mewah mereka sukai. Padahal untuk memenuhinya, diperlukan biaya besar.

Karena itulah, Gus Solah menitipkan pesan khusus untuk menguatkan karakter generasi belia muslim sebagaimana ia mengupayakannya di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Karena itulah, ia turun langsung mengurus pondok pesantren yang didirikan oleh leluhurnya itu. Gaya hidup asketik atau zuhud yang biasanya menjadi ajaran penting di pesantren, harus benar-benar diimplementasikan, bukan hanya jadi bahan pengajian dan kajian.

Jangan pula, para elite agama mengajarkan kehidupan sederhana kepada ummat, tetapi mereka sendiri tidak memberikan contoh konkret, bahkan sebaliknya menunjukkan kehidupan yang bermewah-mewah, sementara ummat di bawah hidup serba kekurangan. Gaya hidup yang demikian akan membuat mereka tidak lagi menjadikan para pemuka agama sebagai panutan, sehingga ummat akan semakin lepas dari kendali para ulama’. Jika ummat sudah tidak percaya lagi kepada ulama’, maka mereka akan mudah dikendalikan oleh pihak-pihak lain, termasuk yang bisa menyebabkan kerusakan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *