Tiada kata terlambat bagi dirgantara gelap kelabu untuk kian membiru, sehingga hanya biru bayi yang terhampar luas kala kepala kita mendongak ke atas. Laskar kelelawar pun menghentikan penerbangan mereka sejenak, bergilir dengan burung-burung kecil yang sengaja menutup jam tidur mereka, bertengger di atas dahan pepohonan jalan, membiarkan kesadarannya terkumpul prima, sembari mengawasi keadaan sekitar. Terus, sampai sang fajar berani menyingsing pendarnya di ufuk timur.

Tak usah peduli dengan arus balik lebaran yang super padat, karena kobaran semangat insan bernyawa di Kota Bandung kuasa melumat hebat. Terbukti dengan keramaian akbar di jalan utama Soekarno-Hatta pagi ini. Para penglaju dengan dagangan siap laris mereka, para pegawai berdasi dengan jam terbang penuh mereka, para penarik kendaraan umum, becak, bentor, angkot, dengan para penumpang berotak kalut.

Semuanya terlihat sibuk memenuhi pelupuk mata, disusul dengan kicauan koloni burung-burung kecil yang berbahagia di bawah moleknya golden hour. Menurutku, terkadang, menjadi cergas dan cekatan itu adalah suatu kebutuhan, karena kehidupan diri, keluarga, pada dasarnya manusia, bergantung pada kepiawaian insan dalam mengutuk rasa malas dan enggan. Menjadi motif derasnya peluh mereka berderai.

Seperihal dengan Avanza kelabu tua berplatkan Kota Padang ini, berbaur dengan para penafkah juang di atas jalan padat beraspal yang sama. Dengan raut gembiranya, Ayah nampak tak terusik dengan kemacetan di hadapannya. Malah betah dalam lamunannya, melilau skenarium hiruk pikuk Kota Bandung via jendela kokpit, dan pupil matanya sesekali membuntuti para pejalan kaki yang kebetulan menyebrang di depan matanya. Bingung mulai merundungku.

Destinasi yang kelabu akan kupertajam dengan tanya yang cergas kulontarkan.

“Ayah, pagi ini kita mau kemana?”

“Kita hendak membesuk teman Ayah, Bang. Dia orang hebat,” jawab Ayah runtut, meskipun matanya enggan beranjak barang sejenak.

“Oh. Siapa namanya, Yah?” tanyaku basa-basi, membuat mata Ayah sedikit tergubris.

“Mas Anas Urbaningrum, Bang,” jawab Ayah singkat. Giliran aku yang bergeming.

Anas Urbaningrum? Nama yang familiar sekali di pendengaranku. Seperti pernah terdengar di suatu tempat, namun entah di mana. Mendatangi di satu waktu, namun entah kapan. Ah, bingung kembali merundungku.

“Mm.. Om Anas itu yang pernah masuk televisi tahun 2014 itu bukan, Yah?” tanyaku memastikan. Kini, Ayah menoleh ke arahku.

“Wah. Dulu sering masuk televisi Om Anas itu, Bang. Mungkin yang Abang tahu cuma saat 2014 itu,” ujar Ayah menimpali. Ah, ternyata benar.

Anas Urbaningrum, kembali kuucap nama itu, namun cukup jelas kentara kali ini. Mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat pada tahun 2010, pernah menjadi anggota DPR RI, dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI yang diresmikan pada tahun 1997, senior Ayah. Menilik jejak politik hebat beliau, rasa penasaran hampir saja membuncah dari pikiranku.

“Jadi Om Anas ditahan di Bandung, Yah?” tanyaku.

“Iya, Bang. Tepatnya di Lapas Kelas 1 Sukamiskin. Itukan masih Bandung, Bang,” jelas Ayahku lebih bersemangat dari sebelumnya.

Populasi pejalan kaki telah menyusut sekarang, sehingga Ayah mampu melajukan mobil tua ini. Melintasi deretan pepohonan jalan yang sekelibat kulihat. Melewati bangunan berarsitektur Belanda kuno bersejarah, menjadi pojok estetik bagi para remaja pegiat media sosial. Kota Bandung memang ciamik. Dari segi infrastruktur, arsitektur, tata letak kota, dan lain-lainnya dikelola dengan teliti. Kota Kembang ini berhak merekahkan bunga-bunga indah itu kembali.

***

“Tujuan anda berada di sebelah kiri,” navigasi pintar itu kembali berbicara, siapa lagi jika bukan Google Maps. Destinasi kami tepat berada di depan mata.

Gerbang putih panjang tersibak lebar saat kami hendak memasuki kawasan lapas. Diteduhi oleh tetumbuhan hijau dengan pepohonan rindang di bagian depan. Warna merah menyala, beraksen putih dan coklat menambah kesan perkasa dari gedung utama. Beratapkan khas Keraton Kasepuhan, perlambang mengakarnya kebudayaan nan tradisional, diperlengkap dengan beberapa lembaga koperasi yang pastinya senaungan dengan lapas. Hingga akhirnya, Ayah memarkir mobil di depan gedung utama.

“Ayo turun, Bang!” ujar Ayah, sembari beranjak dari jok kokpitnya, aku mengekor padanya.

Di bawah bayangan pohon raksasa nan meneduhi, tidak mungkin sirkulasi udara segar kan terganggu. Sedang udara di pelataran Sunda teramat segar dan dingin. Sekali lagi, Bandung benar-benar ciamik. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya, berbadan lumayan, mengenakan jaket kelabu, menghampiri kami dengan cekatan.

“Dengan Pak Ukma ya?” tegurnya mengawali. Ayah tersenyum mengiyakan.

“Oh, iya iya. Nama saya Wahyu, Pak,” sapanya ramah, menyalami Ayah, kemudian kepadaku, senyum di bibir ranum gelapnya begitu hangat terasa. Sebelum akhirnya, kembali menatap Ayah.

“Mari ikuti saya, Pak! Kita menunggu di kursi tunggu saja,” ujar Pak Wahyu kepada Ayah. Mereka pergi, aku membuntuti.

Gedung utama memiliki serambi yang cukup luas, sehingga mampu memuat beberapa kursi tunggu yang panjang dari kayu. Sepasang pintu utama berlapis baja yang tebak mengintimidasi bulu romaku, namun ada pintu kecil di pintu kiri dengan jeruji besi kecil di bagian atasnya. Ayah dan Pak Wahyu duduk di kursi paling belakang, sementara aku tepat berada di depan mereka.

Baca Juga  Ace, si Ajaib

“Ini anak Bapak yang pertama?” tanya Pak Wahyu basa-basi.

“Iya, Pak. Raka namanya,” warta Ayah singkat. Pak Wahyu termanggut paham.

“Tunggu dulu saja, Pak! Tadi orangnya sedang olahraga, main bola, mungkin setelah itu mandi, dan makan,” warta Pak Wahyu membalas. Giliran Ayah yang termanggut. Aku pun diam mematung.

Hampir 20 menit kami menunggu di kursi tunggu ini. Banyak sekali orang yang bersimpang siur di penglihatanku, baik pria kekar dan berseragam, maupun mereka yang leluasa dengan style kasual. Dari pintu kecil itu lah mereka keluar dan masuk. Sebelum akhirnya sepi datang menghampiri. Para penjaga berseragam pun kerap berhilir mudik di depanku, hanya sekadar untuk melontarkan candaan kepada Pak Wahyu, lalu lekas pergi.

Kembali kumenengadahkan kepala ke sekeliling, sembari bergumam kecil. Wah. Ternyata orang hebat sekelas Om Anas Urbaningrum ditahan di tempat seperti ini. Ah, semakin tak sabar untuk bertemu dengan beliau.

“Ayo, Pak! Kita tunggu di dalam saja. Sebentar lagi siap,” tukas Pak Wahyu kepada Ayah, tidak secara langsung menghimbauku untuk kembali mengekor pada Ayah. Akhirnya, bokong panasku beranjak dari permukaan keras kursi itu. Terlalu lama duduk.

Inilah tampak dalam dari sepasang pintu baja itu, lobi gedung utama. Sejauh mataku melilau, hanya ada tiga ruangan, dan satu meja layaknya resepsionis. Bercat putih, beralaskan beton. Masing-masing diberi penjagaan ketat oleh pria kekar berseragam biru cerah menyeramkan, namun wajah mereka ramah. Terbukti dari canda tawa mereka kepada Pak Wahyu di luar tadi. Kemudian, kamu dituntun menuju ruangan di balik pintu baja kecil tadi.

Ah, ternyata bukan hanya kami yang hadir di dalam ruangan ini. Ada seorang narapidana yang tengah dijenguk juga. Mungkin bersama keluarganya, dapat terlihat dari kedekatan mereka satu sama lain. Segera kumelewati mereka dengan sedikit menunduk.

“Silakan duduk di sini, Pak!” ujar Pak Wahyu untuk yang kesekian kalinya. Aku dan Ayah hanya mengiyakan dalam diam, sembari menunggu Pak Wahyu menatakan meja dan kursi untuk kami, sekaligus menyediakan beberapa botol air minum untuk tiga kursi.

Aku baru sadar, keluarga seberang tampak tidak nyaman dengan kedatangan kami. Mereka terus mencuri-curi pandang kecil menjengkelkan. Lebihnya, cara mereka memandangku tidak begitu mengenakkan. Ada apa gerangan? Ah, entahlah. Masa bodo dengan sikap mereka. Segera kumengambil posisi duduk di paling pojok, tepat di sudut ruangan. Posisi andalanku, di manapun, kapanpun itu.

“Eh, Bang. Seharusnya Ayah yang duduk di sana,” sahut Ayah. Aku yang baru saja terduduk, seketika terperanjat. “Nanti Mas Anas akan duduk di sebelah Abang. Masak yang kenal Ayah, sementara yang duduk di sampingnya Abang?”

“Ohh. Ya sudah, Yah,” timpalku, kemudian segera beranjak tanpa bertanya. Mereka kembali melirik tajam ke arahku. Ah, entah apa yang Ayah pikirkan. Aku hanya bisa menuruti titahnya.

Tak lama kemudian, pintu ruang besuk terbuka. Seorang pria sekonyong-konyong muncul dari sana. Pria berbadan tinggi, tegap, berbaju polo hitam berlengan pendek rapi, mata sipitnya terlapisi kacamata berbingkai kotak, rambut pendek beruban, seraya melihat kepada Ayah yang duduk di kursi terpojok. Kedatangannya seolah-olah mengundang sunyi yang tiba seketika. Apalagi dengan raut terkejut mereka.

“Mas Anas,” ujar Ayah memanggil pria berbaju hitam itu. Kemudian dia tersenyum hangat kepada Ayah, menghampiri Ayah, dan mereka saling bersalaman layaknya kawan akrab pada umumnya. Apakah Ini, Anas Urbaningrum yang Ayah maksud?

Usai bersalaman, Om Anas melihatku cergas, walau tebersit sedikit kebingungan di wajahnya.

“Ini anak saya yang pertama, Mas,” jelas Ayah.

“Oh! Siapa namanya?” tanya Om Anas lembut.

“Raka, Om,” jawabku berusaha menyamai halusnya beliau berucap.

Kuraih tangan beliau cepat, kemudian menyalaminya dengan takzim. Kedua telapak tangan besar Om Anas menepuk pundakku pelan, seraya tersenyum hangat kepadaku. Sebelum kami duduk kembali.

Benar saja, Om Anas duduk di kursi paling ujung, tepat di sisi kursi pilihanku sebelumnya, yang kini Ayah tempati. Gokil, intuisi Ayah memang tajam, bagaimana caranya meniru hal keren layaknya demikian? Sementara tetangga masih tak berkutik.

“Sekolah di mana, Raka?” tanya Om Anas membuka percakapan.

“Planet Nufo, Om,” jawabku singkat. Gugup meluluhlantakkan keberanianku untuk berkata.

“Oh. Planet Nufo punya Nasih itu?” tanya Om Anas memastikan.

“Benar, Om,” jawabku pasti. Tak kusangka, ternyata Om Anas yang hampir sewindu berada dalam masa tahanan juga mengetahui keberadaan Planet Nufo. Ternyata benar, power of channel itu patut menjadi kunci kesuksesan yang ketiga.

Baca Juga  Sepotong Kenangan

“PAK! MARI MAKAN,” ujar tetangga serentak. Dibalas oleh Om Anas dengan sopan.

“Jadi, Mas. Semenjak di Planet Nufo, Raka belajar menulis dengan intensif,” warta Ayah, Om Anas menyimak dengan antusias.

“Hebat dong,” sahut Om Anas mengejutkanku, sementara sanjungan itu berusaha kutekan. Jangan sampai aku salah bertingkah. Senyum merekah di bibir pucatku.

“Menulis itu memang suatu kegiatan yang menguntungkan, Raka. Namun mutlak disandingkan dengan bacaan yang memadai. Karena sejatinya, menulis dan membaca itu adalah kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Membaca guna memperluas wawasan kita dalam meramu ide dan pemikiran, sementara menulis berguna untuk menuang segala pokok pemikiran kita. Jadi, Raka harus memperbanyak bacaan, agar tulisan Raka semakin berbobot ya,” wejang Om Anas runtut, sehingga dapat kutangkap dengan mudah.

Pernyataan yang beliau bubuhkan kepadaku barusan, mengingatkanku kembali dengan surah Az-Zariyat ayat 49. Tentang kemaha besaran Allah, yang menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Segala sesuatu, berarti berlaku untuk segala aspek. Entah manusia, binatang, tumbuhan, molekul zat, bahkan teori baru yang kuperoleh dari Om Anas, menjadi bukti konkret dari sepenggal ayat tersebut. Maa sya’a Allah.

“Ini nih, Mas. Salah satu tulisan Raka yang sudah dimuat di media sekolahnya,” sahut Ayah, sembari memperlihatkan “Tuma’ninah Paling Serius”, tulisan terhangatku.

“Wah. Hebat ini. Penyajian tulisannya sudah setara dengan mahasiswa semester akhir,” tukas Om Anas memuji. Senyum terus terpampang di bibirku. Tak henti-henti.

“Ini kapan dimuatnya?”

“Tiga hari yang lalu, Om,”

“Bersyukurlah Raka menulis karena minat. Om dulu menulis karena tuntutan keadaan, Raka. Karena menjadi mahasiswa itu harus keren, membiayai hidup sendiri, mentraktir teman, iya kan? Hehehe. Dengan menulis di berbagai media massa seperti Jawa Pos, Surabaya Pos, dan lainnya, Om mendapatkan tambahan uang,” Om Anas berkisah, aku terus menyimak segala rangkaian katanya. Sebelum Pak Wahyu kembali dengan tiga cangkir kopi hitam hangat yang ia suguhi.

“Itu keuntungan dari menulis yang pertama. Yang kedua, secara tidak langsung, nama kita juga akan naik di mata dosen. Segala tugas yang Om kerjakan, pasti akan diterima tanpa perintah untuk merevisi. Karena dosen sudah percaya dengan kualitas menulis Om, apalagi Om mengambil jurusan politik yang sering membedah artikel semacamnya. Jadi sudah dianggap bagus saja tugas-tugas yang Om serahkan ke dosen,” jeda sejenak, Om Anas menyeruput kopi hitamnya. Aku pun mengikuti, meskipun di lidah terasa sangat pahit.

“Nah. Dari tulisan Raka tadi, bisa kita ambil kesimpulan, bahwa Raka memiliki elemen bakat di sana. Itu harus ditingkatkan terus menerus. Mungkin perumpamaannya, dari 100 orang yang ada, hanya kurang dari 20 orang yang terampil berliterasi. Sebenarnya, negara kita itu bukan terlalu banyak mengadopsi orang bodoh, tetapi banyaknya orang pintar yang diam,” tegas Om Anas dalam halus ucapannya, lalu kembali menyeruput kopinya.

“Oleh karena itu, dengan Raka menulis ide dan berbagai pokok pemikiran. Raka juga harus melatih public speaking Raka. Bagaimanapun juga, masyarakat lebih membutuhkan pemikiran-pemikiran hebat dari seorang pemimpin. Mereka ingin mendengar ide-ide dahsyat seorang pemimpin. Itu lah pentingnya melatih keterampilan verbal di muka umum, Raka,” terang Om Anas bersemangat, sehingga tangan beliau bermain, beranimo. Sebelum akhirnya, Ayah mengambil alih topik pembicaraan. Di sinilah, perenunganku dimulai.

Semakin jauh, dalam, larut berkecimpung dalam tuturan beliau. Semakin kumemahami arti dari karisma, wibawa, dan kehebatan seorang Anas Urbaningrum. Tidak keliru Ayah menyebut Om Anas sebagai tokoh hebat. Tak sedikitpun wajah beliau mengguratkan kegalauan walaupun dipenjara begitu lama. Di sini, justru orang-orang berdatangan hanya untuk berdikusi, meminta pendapat dan saran. Bahkan banyak juga yang datang hanya untuk makan bersama dan menyaksikan Om Anas tertawa lepas.

Pemimpin hebat memang mendatangkan pengikut dengan sendirinya. Tidak salah mengapa beliau digadang-gadang sebagai tokoh berpengaruh di dalam hegemoni politik Indonesia. Benar, banyak sekali orang pintar yang memilih untuk diam. Iya, entah diam atas kemampuan yang minim, atau diam karena terbungkam oleh hukum yang mencekam. Yang terpenting, dedikasi dan eksistensi mereka sangat dibutuhkan bangsa, semoga berkuasa.

Abah Nasih dengan Om Anas telah kenal jauh sebelum Planet Nufo didirikan. Bahkan Om Anas memberikan tanggapan positif kepada Abah kala hendak merintis Planet Nufo di Rembang. Tak heran mengapa Om Anas tidak meragukan kualitas pendidikan yang pernah Abah utarakan rancangannya kepada Om Anas. “Hebat!” tanggap Om Anas.

Kata Ayah, juga beberapa informasi yang kudapat dari media massa, bahwa Om Anas akan dibebaskan tahun depan. Padahal, Om Anas dapat menjadi salah satu kandidat untuk mentakhtai Indonesia, duduk di kursi presiden. Namun, apa boleh buat? Butuh waktu yang cukup lama untuk memperbaiki citra beliau.

Baca Juga  Kembalikan Ramadhanku

Tak lama kemudian, pintu ruang besuk kembali tersibak. Dua orang berperawakan besar datang menghampiri kami, sembari membawakan sekantung plastik berisikan makanan berat. Ditilik dari wajah, sepertinya yang dahulu memasuki ruangan gaul dengan rambut pirangnya.

“Anas Urbaningrum! Apa kabar?” ujar si rambut pirang seru, sembari menyalami tangan Om Anas yang sudah berdiri menyambut. Sepertinya dia juga teman dekat beliau. Sementara orang kedua, tampak lebih muda dengan setelan minimalis gelapnya, hanya terdiam dan menyaksikan di balik senyum kalemnya.

Aku tidak mengenal siapa mereka, namun sepertinya kami memiliki motif yang tak jauh berbeda, yakni membesuk Om Anas. Terbukti dari sekantung makanan yang mereka bawa tadi. Beberapa menit terlewati, yang tua tampak akrab sekali berbincang-bincang dengan Om Anas. Yang muda masih mengawasi di sisi yang tua. Dari percakapan ini, aku bisa mengetahui nama mereka. Om Ade berambut pirang. Sedang yang muda dan cenderung santai bernama Om Erwin.

Hampir satu jam, Om Ade habiskan untuk menceritakan jerih payah, suka dan duka dari upaya yang usai ia lakukan. Berlanjut pada politik dengan nama-nama orang yang tidak pernah kudengar sebelumnya, dan istilah-istilah yang sulit untuk kumengerti. Berbeda dengan Om Erwin. Menurutku, dia adalah orang yang cerdas. Sepintas kudengar riwayat hidupnya, menjadi salah satu pendiri Badan Pelatihan Guru yang jangkauannya internasional. Amazing.

“Saya bekerja sama dengan para profesor-profesor di UI untuk mengadakan pelatihan kepada SDM guru, khususnya di nusantara. Karena kami menilik adanya problematika yang kerap membudaya di sekolah-sekolah Indonesia, bagaimana caranya murid berkembang, jikalau guru-guru mereka tidak memahami tata cara berliterasi dan berpikir kriris? Nah, tugas kami adalah melatih para guru untuk berpikir kritis juga mahir dalam berliterasi. Kami harap dengan adanya gerakan ini, bisa meningkatkan kualitas SDM guru di Indonesia. Begitu, Pak.”

“Nah. Itulah mengapa saya membawanya ke mari. Hehehe,” sahut Om Ade memecah tawa.

Kala Om Erwin menerangkan gerakan sucinya, kami semua dibuat bisu seribu bahasa. Pikiranku bergumam kecil. Inilah yang dibutuhkan bangsa, rancangan dan gerakan yang visioner!

“Wah. Hebat sekali. Saya dukung penuh gerakanmu, Win,” tanggap Om Anas yakin.

Sebetulnya, Planet Nufo juga dibangun dengan pondasi yang sedemikian ciamiknya. Bermula dari sepatah kata berbeda, hingga menjadi yang terbaik. Alhamdulillah, aku masih berada dalam naungan mereka yang terbaik.

“Ya sudah, mari kita makan!” ajak Om Anas, seraya Pak Wahyu menghidangkan makanan yang sedari tadi tertumpuk di kantung plastik itu.

Bejibun sekali makanan yang Om Ade bawakan. Ayam bakar, nila bakar, sate paru, dan lalapan, beserta sambal merah memancing selera. Nasi telah terhidang di hadapan, sungkan mengambil beragam lauk, aku memilih sambal dan sate paru saja. Takut seandainya melanggar norma kesopanan yang berlaku. Tak ingin aku dicap sebagai anak yang tidak sopan.

“Anak muda itu harus banyak makan ikan,” celetuk Om Anas, sembari menaruh sepotong ikan Nila bakar ke piringku. Senyum kembali merekah di bibirku yang memerah karena pedasnya sambal. Berlanjut, hingga hidangan tandas tak bersisa.

***

“Om, saya duluan ya?” tukasku meminta izin, hendak menyalami tangannya kembali.

“Hehehe. Sukses selalu ya, Raka,” do’a Om Anas yang langsung kuaminkan segera. Tangannya kembali menepuk bahuku hangat, hanya sekarang ia tampak sedikit merunduk, sehingga terasa geli kala janggut tajamnya menyentuh permukaan tengkukku. Lalu, aku dan Ayah keluar dari ruangan “ajaib” ini.

Tak terasa, matahari kian merayap menuju ufuk barat. Bahkan adzan Dluhur usai berkumandang. Avanza kelabu tua ini baru saja keluar dari kawasan lapas. Senyum tak henti-henti terukir dalam bibirku. Entah kapan redanya, tapi tak mengapa. Suatu kehormatan yang luar biasa, bisa ngopi dan makan, sembari mendengar gagasan keren mereka.

“Seru juga ya, Yah,” celetukku iseng, dengan senyum yang masih terpampang.

“Nah. Itu lah manfaatnya berbincang bersama orang pintar, Bang. Tidak terasa, waktu kita sudah tandas banyak di lapas kan?” tanya Ayah retoris, aku termanggut cepat tanda setuju.

“Lain kali, jikalau Ayah memiliki kesempatan untuk bertemu orang-orang hebat, akan Ayah ajak Abang,” ucap Ayah kepadaku yakin. Semangat mengangkara, memenuhi relung hati. Siap untuk tantangan selanjutnya.

Terima kasih, Om Anas Urbaningrum, atas kehangatan bersikap, bertutur, petuah, dan sekilas do’a yang kau siratkan untukku.

Terima kasih, Lapas Kelas 1 Sukamiskin, engkau bak sekolah super kilat bagiku, 2,5 jam laksana sepenggal menit dengan ilmu visioner mereka yang hebat. Wallahualam bi ashawwab.

Oleh: Aletheia Raushan Fikra UkmaSanja Kelas IX SMP Alam Nurul Furqon (Planet Nufo) Mlagen Rembang, Anggota Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Planet Nufo

Memori Tentang Pak A. M. Fatwa: Senior Petinggi Egaliter dan Semangat Hidup Pejuang

Previous article

Politik dalam Secangkir Kopi 

Next article

You may also like

Comments

Ruang Diskusi

More in Cerpen