Putri duduk termenung di sudut kamarnya, masih terbayang jelas kejadian malam itu. Suasana pondok yang biasanya tenang berubah menjadi panggung bagi teguran keras dari Ustaz Masad. Hatinya terasa perih, seakan-akan setiap kata yang keluar dari mulut ustaz adalah hujaman yang langsung mengenai jiwanya.
“Putri, kamu itu ketua pondok! Seharusnya memberi contoh yang baik!” suara Ustaz Masad menggema di dalam ingatannya. Putri menundukkan kepala di hadapan teman-teman sepondoknya, merasa begitu kecil.
Ia tidak bermaksud melanggar aturan. Ponsel itu memang ia bawa, tapi bukan untuk hal-hal buruk. Sejak beberapa waktu lalu, ponsel itu ada dalam pengawasan Ustaz Irham. Namun, ketika ditanya Ustaz Masad, Putri memilih tidak menyebutkan nama Ustaz Irham. “Saya bawa ponsel sendiri, ustaz,” jawabnya saat itu, tidak ingin menyertakan nama orang lain dalam permasalahan ini.
Namun, jawaban sederhana itu membawa konsekuensi yang begitu berat. Di depan seluruh santri, Putri ditegur habis-habisan, dihina, direndahkan, hingga seolah-olah seluruh kesalahannya dilihat oleh semua orang. Malam itu, harga dirinya jatuh di titik terendah, terutama karena ia merasa sendirian.
Setelah selesai ditegur, Putri berjalan kembali ke kamar dengan langkah yang berat. Air mata tak terbendung lagi. Namun, yang paling menyakitkan bukan hanya teguran itu, tetapi juga kenyataan bahwa tidak ada yang peduli. Teman-temannya acuh tak acuh, tak satu pun yang datang menenangkannya. Mereka semua terlihat sibuk dengan urusan masing-masing, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Putri merasa benar-benar sendirian. Di pesantren, ia diharapkan menjadi sosok sempurna. Sebagai ketua pondok, semua orang memandangnya sebagai contoh. Tapi, mereka lupa bahwa ia juga sedang berproses, sedang belajar. Tuntutan untuk menjadi sempurna begitu berat, apalagi ketika semua mata tertuju padanya.
Dalam keheningan malam itu, Putri memutuskan untuk menghubungi Abi. Abi selalu menjadi tempat ia bercerita, tempat ia menemukan pelipur lara di tengah beratnya beban. Di balik tangis yang masih tersisa, Putri mengetik pesan panjang, menceritakan semua yang ia alami malam itu.
“Abi, tadi malam Putri kena teguran keras dari Ustaz Masad. Putri dihina di depan teman-teman, direndahkan, dan harga diri Putri benar-benar hancur. Semua karena ponsel yang Putri bawa. Padahal, ponsel itu ada di tangan Ustaz Irham, tapi Putri tidak mau membawa-bawa nama Ustaz Irham. Putri bilang kalau itu ponsel Putri sendiri, karena Putri tidak mau melibatkan siapa pun. Dan akhirnya, Putri ditegur habis-habisan di depan umum.”
Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi. Abi membalas pesannya.
“Ya sudah, saat ini kamu fokus dengan tujuan awal dan cita-cita masa depan. Anggap itu sebagai ujian mental saja.”
“Ingat, orang lain tidak akan menentukan jalan masa depan Putri. Ok.”
Membaca pesan itu, Putri terdiam. Ada kekuatan dalam kata-kata Abi yang mampu menenangkannya. Seolah-olah seluruh rasa sakit itu sedikit berkurang, seperti pelita kecil yang menerangi ruang gelap di hatinya.
Abi melanjutkan pesannya. “Besok di waktu yang tepat, Abi akan coba ngobrol dengan Ustaz Roziqin. Tapi tidak akan bicara tentang apa yang Putri sampaikan, hanya cerita perumpamaan saja.”
Pesan itu membuat Putri tersenyum kecil. Abi selalu punya cara untuk menenangkan hatinya tanpa memperburuk situasi. Abi tak pernah menyalahkan, hanya memberinya ruang untuk mencerna semua yang telah terjadi.
Putri menatap ponselnya lagi ketika notifikasi baru muncul. Abi menambahkan kalimat yang membuat hatinya semakin lega.
“Apa yang Putri rasakan bisa menjadi karya yang menghentakkan orang lain. Kamu tulis saja apa adanya, kirimkan ke Abi. Nanti Abi buat menjadi tulisan halus dalam memberikan teguran. Bukan hanya tentang Ustaz Masad saja, ok?”
“Ingat, itu jadikan sebagai ujian mental kamu. Dan jangan pernah berkecil hati atau merasa sakit hati, di antara keduanya, ada yang namanya kebijaksanaan.”
Putri menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Abi seperti obat penawar bagi luka di hatinya. Teguran yang menyakitkan tadi malam kini ia coba pandang dengan sudut yang berbeda. Mungkin ini memang ujian mental yang harus ia hadapi. Abi selalu mengajarkan bahwa setiap tantangan, setiap kesakitan, adalah bagian dari proses menjadi lebih kuat.
Pesan lain masuk tak lama kemudian.
“Dengan berpikir begitu, kamu akan terlatih berpikir bijaksana dan memandang sesuatu juga menjadi hal yang positif. Penempaan diri terkadang kita dapat dari hal-hal yang tak terduga. Kamu harus tetap menjadi diri kamu, bukan menjadi diri orang lain. Percayalah, masih ada yang lebih sakit dari yang kamu rasakan di luar sana. Kamu tidak sendirian. Ok. Semangat. Sudah, istirahat dulu sana.”
Putri tersenyum lagi. Kata-kata terakhir itu benar-benar memberi kekuatan. Abi selalu bisa membuatnya merasa lebih baik, meskipun dari kejauhan. Abi mengingatkan bahwa ia tidak sendiri, bahwa ada banyak hal yang bisa ia pelajari dari kejadian ini.
Putri menutup matanya, mencoba membiarkan rasa sakit itu perlahan-lahan mereda. Abi benar, ini adalah ujian mental, dan meskipun rasanya berat, ia harus bisa melewatinya. Dalam keheningan malam, Putri akhirnya merasa sedikit lebih tenang. Besok, ia akan bangun dengan semangat baru, siap menghadapi hari dengan lebih kuat dan bijaksana.
Dalam hatinya, Putri tahu bahwa ia tidak akan sendirian selama Abi selalu ada untuk mendukungnya.