Cerpen  

Seperti Ayah dengan Meja Biliarnya

Kami, manusia yang memiliki kehidupan di dalam dua dunia yang jauh berbeda. Dunia yang pertama, sebut saja realita, di mana kita berpijak pada tanah, menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial dan bersosialisasi dengan kefanaan. Dunia yang kedua, fantasi, bahkan separuh lebih umur kami di dunia, kami habiskan untuk menelusuri jejak pikir yang ditinggalkan memori untuk dirakit, menjadi sebuah sampan bahkan bahtera yang mampu diajak berlayar untuk kembali mencari jejak-jejak itu. Kala jejak itu sudah bersama, dunia pertama akan terasa mudah dijamah. Kita abadi di sana. Ayah menyebut itu dunia induktif.

Kami adalah manusia imajiner. Entah apa alasannya, namun pada hakikatnya kami memiliki kemampuan yang sama dalam hal kognitif dan penggambaran, bukan dalam makna artistik, namun bagaimana kami memvisualisasikan segala sesuatu via imajinasi, baik perkataan belaka, hingga masalah yang sering bertimbulan di rentang alur keseharian. Tak heran mengapa manusia-manusia terdekatku menyebutku ‘receh’ dan aneh, karena lelucon yang terlontar dari mulut-mulut itu akan langsung tergambarkan di dalam dunia ajaibku. Terstimoni dariku, itu teramat sangat membantu. Aku bersyukur dilahirkan sebagai manusia yang demikian, meskipun aneh di mata khalayak.

Ku kira, hanya aku yang ditakdirkan untuk menjadi anak aneh di keluarga ini, namun ternyata tidak sama sekali. Aku baru menyadari itu beberapa waktu lalu, pada saat kami sedang mengobrol santai di perjalanan panjang menuju Kota Bandung.

“Kalau Abang tanya apakah Ayah pernah bosan melakukan rutinitas yang itu-itu saja. Jawaban Ayah, nggak sama sekali, Bang.”

“Kenapa, Yah?” timpalku bertanya.

“Karena banyak sekali yang dapat Ayah ciptakan di dunia kedua Ayah,” aku sontak penasaran. Terdengar hebat, apa yang ia maksud dengan dunia keduanya?

“Dalam satu menit, Ayah sudah dapat menyusun alur kisah romansa sekelas Ali bin Abi Thalib atau kisah heroik sekelas Khalid bin Walid secara lengkap dan runut. Di menit keduanya, Ayah sudah dapat membuat fiksi baru namun sezaman, menceritakan tentang villain undercover yang memberi persepsi bahwa orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Di menit ketiganya, Ayah sudah dapat membuat cerita yang menghubungkan satu cerita dengan cerita lainnya, sama halnya dengan multiverse di sequel Marvel,” jelas Ayah penuh percaya diri.

“Perlu Abang tahu, Abang juga sama seperti Ayah. Imajinasi kita luas, sayang kalau tidak kita manfaatkan. Otak itu menjadi misteri besar bagi kehidupan manusia, Bang. Karena semua hal yang manusia pikirkan bahkan hal yang tak sempat dipikirkan itu terpusat di otak, bahkan dunia semagis imajinasi pun ada di sana, terobosan dan gagasan yang mampu mengubah perubahan di dunia ini juga berorientasi di dalam otak pertama kali. Jangan sia-siakan kemampuan itu dengan cara diam dan bermalas-malasan. Banyak sekali hal yang belum kita sentuh bahkan tahu sama sekali tentang sisi lain dunia. Teruslah berusaha dan memberi segala yang terbaik,” tutur Ayah.

Tak heran mengapa ia berbicara seperti itu kepadaku yang baru seumur jagung, ia adalah Mantan Mahasiswa Program Pasca-sarjana di Universitas Indonesia, jurusan Filsafat. Di tempat itu, berpikir adalah kuncinya, karena induk dari segala ilmu berawal dari renungan, kemudian diperjelas dengan gagasan, dan dipatenkan menjadi temuan. Uniknya, ia berpikir menggunakan imajinasinya.

Hingga pada suatu waktu, Ayah yang biasanya bergumul dalam dunia induktifnya mengajakku untuk menghirup udara sore yang segar di luar bersama teman sejawatnya. Sebagai anak kecil, aku hanya mampu membuntutinya. Tak cukup jauh dari komplek perumahan tempat ku tinggal, tempat yang mereka tuju adalah spot biliar. Ayah memang sering bermain biliar dengan teman-temannya, aku tahu itu, namun baru kali itu ia mengajakku.

“Abang akan belajar banyak hari ini,” celetuk Ayah sembari menghunus tongkat biliar.

Aku tetap tenang, untung saja di sudut ruangan itu terdapat bangku cukup panjang, sehingga aku dapat berselesa, sembari menonton Ayah bermain melawan temannya. Namanya Budi, aku biasa memanggilnya Om Budi.

Sudah siap dengan kuda-kuda mantapnya, Ayah meluncurkan break shot. Bola-bola itu bermentalan kesana kemari. Kini giliran Om Budi, dengan sentuhan kecil, bola oren bernomor 12 masuk. Kesempatan main masih berpihak pada lawannya itu, namun tidak semulus yang kedua, sasarannya gagal. Giliran main kembali dipegang Ayah.

Kuda-kuda yang sama kembali terpasang, sepertinya Ayah hendak melakukan bank shoot, dan ya, bola dengan nomor 7 goal, Ayah kembali bermain. Om Budi di kusen seberang masih menyaksikan aksi Ayah dengan santai, sembari menyimak apakah alur yang Ayah ciptakan selanjutnya, sehingga Om Budi harus berpikir cepat dan taktis. Stop shoot mengarah kepada bola nomor 5 yang menganggur di sudut kanan, goal. Om Budi tersenyum.

Usai beberapa detik mencari celah, Ayah memutusukan untuk meluncurkan safety shoot-nya, membuat Om Budi kebingungan untuk mencari target. Ayah sengaja meletakannya berjauhan dari sudut ideal stop shoot. Ball in hand Om Budi sekarang.

Agak lain dari kuda-kuda yang sedari tadi dipakai, posisi badan yang tegak, lekukan tangan yang unik, serta tongkat yang menjulang ke atas, sepertinya Om Budi hendak menukik bola untuk menciptakan efek lambung.

TACK!

Benar saja, bola itu melayang dan langsung mengenai bola nomor 9 direct to pocket. Tidak berhenti sampai di situ saja, bola putih memantul pada bantalan kusen dan mengenai bola nomor 3, dua bola dalam satu pukulan masuk! Ayah tertawa ringan, entah apa maksudnya.

“Sudah pro dia, Bang,” celetuk Ayah kepadaku yang sedari tadi duduk menyaksikan.

Ball stay in hand Om Budi. Pukulan selanjutnya, Om Budi tak hendak berniat macam-macam, ia hanya melakukan shoot biasa, hasilnya nihil. Bola kembali ke tangan Ayah. Entah apa yang sedang ia pikirkan, sedari tadi ia hanya tersenyum, bahkan setelah melihat shoot menakjubkan dari Om Budi tadi.

Good luck, Bud!” afirmasi Ayah sembari menepuk bahu Om Budi, keduanya tersenyum.

Ayah konsisten melakukan kuda-kuda itu. Om Budi masih menyimak di kusen seberang. Tanpa plin-plan, Ayah melakukan draw shoot ke arah bola nomor 1, berakhir dengan goal, bola kembali ke posisi semula. Tetiba, Om Budi memasang wajah terkejut. Aku tidak paham.

Ayah kembali dengan kuda-kuda yang sama, dan melakukan spin shoot dengan tenaga yang cukup kuat. Bola putih bermentalan ke kusen dan bantalan, hingga tak mampu ku baca pergerakannya, bersenggolan dengan bola-bola lain sekaligus menggiring 3 bola langsung menuju pocket. Meja bersih, kemenangan berpihak pada Ayah.

Golden break, seperti biasa yo, Da,” celetuk Om Budi kepada Ayah, sebelum ia bersalaman dan saling menepuk bahu. Itu adalah permainan yang cukup singkat untuk seukuran olahraga konsentrasi.

Ayah mendekat kepadaku, sambil menyuguhkan secangkir teh. Hari mulai menggelap, aku yakin matahari sudah mulai bersinar di bagian bumi lainnya. Aku dan Ayah keluar dari tempat biliar dan mencari tempat makan terdekat, sepertinya perut kami sama-sama kelaparan setelah mengerahkan konsentrasi kepada biliar dan pergerakannya. Ayah pamit kepada teman-temannya, kami pun pergi meninggalkan mereka.

Selang beberapa menit, kami sampai di warung pecel lele langganan Ayah. Konon katanya, itu adalah pecel lele terenak di daerah ini. Aku tak kaget, karena memang banyak sekali orang yang mengantre untuk memesan barang sebungkus lele goreng beserta lalapannya yang segar. Aku dan Ayah mendapat privilege khusus makan pertama, karena keakraban Ayah dengan koki di sana.

Sambil menunggu pecel lele terhidangkan. Ayah mengajakku bicara,

“Gimana tadi, Bang?” Ayah membuka topik.

“Lumayan, Yah,” jawabku singkat. Jujur, imajinasiku masih ada di ruang biliar itu, membayangkan trick shot apalagi yang dapat Ayah dan Om Budi lakukan, mengingat aku baru sekali diajak ke sana.

“Abang kenal kan sama Om Budi? Dia yang sering gendong Abang dulu pas Ayah masih sibuk di posko Asam Jao,”

“Iya, Abang ingat kok,” lagi-lagi jawabku singkat. Dua gelas teh hangat sampai ke meja kami, Ayah langsung menyeruputnya, sementara aku masih termenung.

“Om Budi itu pro player biliar seantero posko, Bang. Dalam dua menit aja bisa tuh all in semua ke pocket. Nah, tandingannya di posko itu ya Ayah, Bang,” Ayah mulai bercerita, perhatianku perlahan mulai tersita.

Dua porsi lele goreng dilengkapi lalapan dan sambal lado segar telah terhidang di meja kami, aku langsung mencomotnya karena perutku sudah sangat lapar. Seperihal dengan Ayah yang bahkan sudah mendahuluiku. Ayah tak salah, ini adalah pecel lele terenak yang ada di kota ini. Saking enaknya, tak sadar bahwa antrian sudah sepanjang dua gerbong kereta, kenikmatan secuil bagian dari lele yang renyah ini tak boleh disia-siakan.

“Bang, Abang tahu ga kenapa Ayah suka main biliar?” Ayah membuka obrolan kembali. Ku balas dengan gelengan kecil.

“Emang kenapa, Yah?” lantas, Ayah mulai memperbaiki posisi duduknya.

“Ayah kan sudah pernah bilang, Bang, kalau kita sama-sama memunyai kehidupan di dunia induktif. Nah, biliar itu layaknya permainan yang mampu menarik Ayah keluar dari dunia itu sebentar. Fokus terhadap dunia deduktif itu ternyata seenak itu, Bang. Walau sejenak, tapi mengeksplor dunia baru itu justru memiliki kepuasan tersendiri. Beda rasanya, di mana pikiran tak lagi terpusat pada imajinasi semata dan mulai terfokus bagaimana cara memasukkan satu bola dan memasukkan bola lainnya ke dalam pocket,” jelas Ayah beranimo.

“Sejak kapan Ayah merasakan itu?” timpalku dengan tanya.

“Sejak Ayah diajak main sama teman Ayah. Kurang ingat tanggal berapa.”

“Ohh. Berarti sudah lumayan lama itu.”

“Iya, Bang.”

Tak sadar, tandas sudah hidangan yang ada di hadapan kami. Saking lezatnya, bahkan kelezatannya itu masih terasa saat beberapa teguk es teh manis. Ayah membayarnya dan kami segera kembali ke mobil, meniti jalan pulang dengan senang hati.

Ayah memiliki cara untuk beralih dari hegemoni dunianya, biliar adalah jalannya. Bagaimana dengan aku? I love playing game the most. Barang sejenak, game dapat memindahkan fokusku menuju alur dari permainan yang tengah ku mainkan. Kata Ayah, selepas bermain pun, aku masih saja berimajinasi tentang game yang beberapa menit lalu kumainkan, sama halnya dengan Ayah. Di satu sisi, itu efektif untuk memicu kreativitas dalam berkarya, namun jika yang dimainkan adalah permaianan barbar dan vulgar seperti GTA (Grand Theft Auto), akan buruk jadinya.

Hingga kini, aku masih belum mengetahui what is my passion. Walau terus berkecimpung dalam mayanya dunia induktif, itu tidak terlalu buruk bahkan selalu menyenangkan. Dari perenungan itu, aku mendapat ihwal secara tetiba. Bagaimana jika mengambil aktivitas yang tetap memanfaatkan dunia induktif seperti halnya menulis?

 

Oleh : Aletheia Raushan Fikra Ukma, Wakil Ketua OSIS Terpilih SMAN 1 Sulang, Ketua Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan (PIP) Ranting IPM Planet Nufo, Sekretaris Bidang Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Anggota Himpunan Pelajar Islam (HPI) Pusat, Penulis 2 Buku : Mengkaji Hari, Arsip Insomnia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *