Cakrawala nan gelap, membuat cahaya bintang bersinar terang bagai anak-anak yang sedang tidur dengan yenyak. Kondisi jalanan yang gelap, yang harus kami tempuh untuk kembali ke rumah setelah menepak jejak di wilayah kabupaten Rembang dan jarang kami temui lampu, serta kendaraan yang terbatas membuat aku dan abiku harus tetap fokus pada lintasan ini. Jam di hpku telah menunjukkan pukul 18.35 WIB, bertepatan pada malam minggu. Yha, tentu saja jalanan ini adalah sebuah alas. Tepatnya lagi adalah alas hutan Blora. Luas kawasan alas Blora ini diperkirakan mencapai kurang lebih 90 ribu meter, menurut data BPS provinsi Jawa Tengah yang telah diperbarui pada tahun 2018 lalu. Tak hanya itu, hutan ini terkenal dengan cita jati yang bermutu.
Abiku masih tetap fokus pada lintasan alas Blora ini. Kendaraan beroda dua ini masih terlihat sibuk untuk menggelincirkan masing-masing rodanya ke beton yang halus pada jalanan ini. Aku hanya bisa diam, termenung bersama dengan kesunyian pepohonan sekitar nan rimbun yang kami lintasi. Suara jangkrik juga terdengar sangat berderai. Tak hanya itu, bebisingannya membuatku melamun pada kekayuan yang ada di berbagai penjuru alas ini.
“Bi, apa kita masih lama agar sampai ke rumah?” tanyaku dengan penuh kesungguhan agar Abiku merasa tidak terusik.
“Sekitar setengah jam lagi, Mba Aisyah. Belum lagi kita masih harus melewati alas lagi, setelah itu masuk ke Cepu,” jawab Abi, sedikit menggubris pertanyaanku dengan suara yang tak kalah dengan suara kendaraan beroda dua yang saat ini kami tumpangi.
Aku hanya bergeming, dengan jawaban Abiku. Menunggu adalah hal yang membuatku sangat bosan, apalagi dengan pemadangan hutan malam yang gelap. Yeah, kebosananku kubuat untuk medengarkan musik yang berjudul “Just a Dream” dengan headset yang kupakai. Tak terlalu menjadi favoritku sih. Hanya saja aku menyukai dan terinspirasi dengan arti dalam lagu itu tentang sebuah impian.
Aku masih memilau sekitar alas ini, juga masih mendengarkan musik yang cukup membuatku sedikit menghilangkan rasa bosanku di sepanjang jalanan ini. Kesunyian di alas Blora ini, masih saja mengintimidasi benakku, meski masih terdengar bising musik dari telingaku. Derai jangkriknya pun masih merunduk di tengah-tengan perjalanan kami menuju rumah.
Sepanjang alas yang aku dan abiku tempuh, membuatku semakin terpukau dengan panjangnya alas hutan Blora ini. Benar-benar kurenungi hal itu. Namun, renunganku tiba-tiba dipecahkan dengan adanya suara Abi yang menimpali apa yang ada dalam pikiranku.
“Mbak Aisyah, coba kamu lihat jalanan alas ini. Apa yang kamu pikirkan tentang ini?” tanya Abiku dengan sekelebat arah mata ia kepadaku.
Aku termenung dalam separuh nafasku. Melamun memikirkan jawaban itu. Aku berbicara dalam hatiku “pasti jawabannya singkat, tapi mengapa aku susah menjawab yha”. Tanpa basa-basi lagi, Abiku segera menerobos akal-akalanku yang saat ini kupikirkan.
“Gelap dan sunyi. Benar kan?” amat singkat jawaban Abiku itu, namun ia juga masih tak terlepas dari pandangan arah matanya pada jalanan alas Bora ini.
“Iyha, Bi”
Aku masih bergeming pada jawaban Abiku itu. Seraya berkata pada diri sendiri “sudah kuprediksi, jawaban yang cukup ciamik dan semerta-merta aksiomatis”.
“Coba, apa yang akan terjadi jika tidak ada lampu motor yang menerangi jalan beton alas ini, sekaligus dalam keadaan gelapnya yang sangat merisaukan para pengendara?” lanjut Abiku dengan cukup panjang dan jelas.
“Mungkin kecelakaan, Bi,” jawabku tanpa pikir dua kali.
“Iyha, memang betul. Jadi, apa yang harus kita lakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan?” lanjut Abiku, dengan sekelebat pertanyaan yang mungkin harus kupikir dua kali.
Abiku masih tetap fokus pada hutan alas ini yang lumayan panjang untuk kami tempuhi. Mungkin, sekitar 15 menit kami menempuh hutan alas ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup membuatku berpikir dan menghilangkan lamunan dalam perjalanan. Segelintir pertanyaan itu membuatku terus berpikir keras. Kepiawaian otakku, masih sedikit bingung.
“Fokus!!” saut Abiku, yang mengasoku untuk tak berpikir lagi. Namun, sekali lagi, aku berpikir dan bertanya pada angan-anganku sejenak “fokus?”.
“Hidup itu seperti hutan belantara. Mengapa Abi bicara seperti itu?. Karena, kita hidup mempunyai alasan tertentu sesuai apa yang kita impikan serta apa tujuan kita yang sebenarnya,” ujar Abiku yang terus tersibak tanpa basa-basi.
Yeah. Penjelasan yang cukup panjang dan membuatku semakin tertarik dengan untaian kata-kata Abiku itu. Aku tetap menggubris.
“… Hutan belantara adalah umpama kita hidup. Kita harus fokus pada apa yang kita impikan. Coba, jika kita tidak fokus dengan jalur alas hutan ini yang gelap, pasti kejadian yang tidak kita inginkan akan terjadi dengan begitu saja. Dan yang paling pasti adalah, kita melenceng dari tujuan kita. Sama halnya dengan impian. Di sisi impian harus ada target yang harus kita sungguh-sungguhkan. Fokus dan kejar target impianmu saat itu. Jangan sampai kita berjalan dengan seenaknya saja atau dengan semau kita, kapan kita nyampainya jika seperti itu…” perjelas Abiku, yang membuatku tak bisa berkata-kata. Namun, Abiku juga tak lepas kendali dari mengemudinya dan masih tetap fokus.
“Sekarang, pikirkan impianmu. Apa target untuk mencapai impianmu itu. Ingat pesan Abi, jangan pernah melenceng dari tujuan kita. Cara untuk mengejar impian kita, tergantung pada diri kita masing-masing. Masa depanmu ada pada genggaman tanganmu sendiri,” lanjut Abiku, tanpa terbata-bata.
“Iyha, Bi,” jawabanku yang amat singkat, sembari mengulang-ngulang kembali ucapan Abiku dalam benak.
…
Perjalanan kami di alas hutan Blora ini, masih tersisa beberapa menit lagi. Mungkin sekitar 5 menit lagi kami akan memasuki Kota Cepu, setelah setengah jam perjalanan kami berlalu melewati alas ini.
Aku dan Abiku sudah memasuki bagian Kecamatan Cepu. Penerangan di Kawasan Cepu sudah mencukupi standar kebutuhan pengemudi. Tak lupa, aku dan Abiku harus mematuhi rambu-rambu lalu lintas agar keamanan untuk setiap jiwa-jiwa pengemudi tetap terjaga.
Lingkungan sekitar kota Cepu, sangat ramai. Mungkin, karena malam ini adalah malam minggu. Hari orang-orang untuk menikmati keseruan di luar rumah. Bising kendaraan beroda dua maupun beroda empat pun masih membuat gendang telingaku terusik dengan begitu saja. Populasi di sini juga membuat oksigen bagi manusia menyusut. Kendaraan beroda dua yang terkadang melaju dengan cepat tanpa etika, membuat Abiku harus selalu berhati-hati.
Aku masih menatapi jalanan kota Cepu yang amat indah. Destinasinyapun yang amat menarik seperti taman seribu lampu juga tak kalah seru untuk menikmati malam minggu ini. Tampak sangat indah kota Cepu ini saat malam hari. Cahayanya di sepanjang jalan, bagai kemilau lentera hidup yang tak sekedar bagi para pengemudi agar sampai pada tujuannya. Maksudku, untuk mempermudah lalu lintas ini. Sama halnya dengan sepanjang alas yang telah kami lalui, meski tak ada penerangan. Seperti apa yang Abiku sampaikan. Fokus dan raih hingga sampai pada tujuan.
Terima kasih, Abi, karenamu, aku paham arti sebuah kehidupan, serta mengkokohkan kesungguhanku untuk meraih apa yang saat ini kuimpikan, sehingga semakin membuat gairah kesanggupanku dalam meraihnya. Dengan kesungguhan inilah, aku tak pernah takut gagal meski kegelapan terkadang menghampiri. Akan kuusahakan, sebagaimana apa yang kuinginkan dan kuimpikan.
#seseorangyangsedangmencariartisebuahkehidupan#
Oleh: Putri Aisyah Nurul Iman (PAN-1), Wakil Ketua OSIS SMP Alam Nurul Furqon Mlagen Rembang, Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Siswa (LPS) SMP Alam Planer Nufo.