Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang.

Akhirnya saya harus memutuskan tak sanggup lagi memenuhi seluruh undangan pada latihan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebab, undangannya datang bertubi-tubi. Desakan mengingatkan demi kepastian kehadiran bisa masuk dalam HP setiap hari. Jika semuanya dipenuhi, waktu dan biaya tak mencukupi. Piagam dalam figura sederhana yang selalu diberikan setiap usai acara sudah memenuhi salah satu kamar pribadi. Itu pertanda sederhana bahwa kaderisasi telah menjadi tradisi dalam organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane pada 73 tahun lalu ini.

Kaderisasi berasal dari kata cadre, berarti bingkai, kerangka, atau figura. Maka kader bisa juga disebut sebagai figur yang menjadi representasi sebuah organisasi. Kaderisasi, karena itu, adalah proses untuk menjadikan anggota organisasi kerangka yang berfungsi untuk menjaga agar para anggota yang belum sampai pada status kader tetap bisa berpikir, bersikap, dan berperilaku lurus atau tegak, tidak bengkok seperti kertas tipis yang berada di dalam bingkai apabila dikeluarkan dan dilepaskan darinya. Anggota yang selalu dijaga dengan pembinaan yang benar, akan terhindar dari infiltrasi paradigma dan ideologi yang sesat dan menyesatkan.

Inti kaderisasi HMI adalah membangun kerangka berpikir keislaman dan kebangsaan para anggota terpilih. Kerangka berpikir itu sangat diperlukan agar kader-kader HMI benar menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa turut al-Qur’an dan hadits, jalan keselamatan; juga memiliki wawasan kebangsaan Indonesia yang unik, sangat berbeda dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Lebih dari itu, kaderisasi diperlukan agar lahir figur-figur yang mampu menjalin dan mengelindankan antara keislaman dan keindonesiaan itu, sehingga keduanya tidak berkontradiksi. Pemahaman keislaman yang baik, memberikan kontribusi yang signifikan untuk pembangunan negara-bangsa Indonesia yang religius.

Baca Juga  Kekuasaan untuk Apa?

Paradigma Islam harus ditanamkan secara kuat, karena semakin banyak paradigma dan ideologi, baik yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam mapun yang seolah selaras dengan Islam, tetapi sejatinya juga berlawanan. Konsepsi iman Islam misalnya, bertentangan dengan setidaknya dengan tujuh ideologi: ateisme, agnostisisme, dinamisme, animisme, politeisme, sekularisme, dan pluralisme agama.

Islam menegaskan bahwa alam semesta ini ada karena ada yang mengadakan atau menciptakan. Berbeda dengan ateis yang berpandangan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya, bahkan karena sekedar kebetulan. Keberadaan Allah juga bisa dibuktikan dengan bukti kebenaran pernyataan-pernyataan al-Qur’an tentang hal-hal yang bisa diverifikasi. Ini berbeda dengan pandangan para agnostik yang mengatakan bahwa ada maupun ketiadaan Tuhan tidak bisa dibuktikan. Animisme, dinamisme, dan politeisme adalah paradigma yang dalam Islam bertentangan dengan prinsip tauhid, yakni Allah adalah esa dan satu-satunya pemilik segala daya dan upaya.

Sekulerisme menjadi isme yang digandrungi oleh banyak kalangan muda muslim, karena menjadi isme yang dianut dalam praktik politik di negara-negara yang dikenal sebagai negara maju. Karena itu, isme yang sama dipandang sebagai prasyarat untuk mendapatkan kemajuan yang sama. Isme ini di Indonesia sempat dikampanyekan dengan sangat gencar, terutama pada era 1990-an oleh kalangan yang menamakan diri muslim liberal.

Padahal, Islam bersifat menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah ekonomi dan juga politik. Karena itu, seorang kader muslim yang memahami al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad dengan utuh, tidak akan tertarik dan terjerumus dalam sekulerisme. Sebab, al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan politik dipandang sebagai sarana untuk membangun kebijakan politik berbasis ajaran Allah. Ajaran-ajaran, terutama substansinya, harus menjadi roh dalam setiap kebijakan politik kenegaraan.

Baca Juga  Kerja Keras Prabowo dalam Medan Politik

Kehidupan Nabi Muhammad menjadi bukti nyata bahwa dakwah Nabi dilakukan secara kultural di Makkah dan juga struktural (dengan menggunakan kekuasaan) di Madinah. Nabi Muhammad setelah hijrah di Madinah diangkat menjadi kepala negara dan berhasil membangun konsepsi masyarakat madani yang di dalamnya tidak ada pemisahan antara agama dan politik sebagaimana dikonsepsikan di Barat.

Mirip dengan sekulerime, pluralisme juga sempat menjadi isme yang digandrungi banyak intelektual beridentitas muslim, sehingga membuat mereka berpandangan bahwa semua agama adalah baik, dan mengajak kepada kebaikan. Sesungguhnya tujuan mereka adalah menyebarkan gagasan toleransi. Namun, dengan mengampanyekan gagasan pluralisme agama di Indonesia, itu sesungguhnya ibarat menggaruk yang tak gatal.

Sebab, Indonesia, secara umum, tidak pernah mengalami masalah dalam konteks kehidupan dalam kebhinnekaan SARA. Pluralisme lahir dalam konteks masyarakat yang di dalamnya terjadi konflik hebat yang digambarkan oleh Sidney Hook, seolah menolak yang dikatakan Karl Marx, dengan “Agama lebih berbahaya dibanding candu. Sebab, candu membuat orang jadi tertidur. Sedang agama membuat mereka jadi berkonflik dan saling bunuh”.

Belum lagi jika melihat bahwa di dalam pluralisme agama ada pandangan bahwa semua agama memiliki kebenarannya sendiri. Ini berbeda dengan pandangan Islam bahwa kebenarannya adalah eksklusif, tetapi itu tidak boleh menjadi penghalang untuk berbuat baik kepada yang berbeda keyakinan sekalipun. Dan di sinilah pula letak perbedaan antara Islam dengan humanisme.

Sebab, Islam meniscayakan dasar kemurnian iman bagi seluruh amal kebajikan. Niat, dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ditegaskan sebagai landasar bagi setiap amal kebaikan. Amal yang tidak didasarkan kepada niat yang murni karena Allah, tidak memiliki nilai sama sekali, bahkan bisa menyebabkan kecelakaan (al-Ma’un: 4-6). Sedang humanisme tidak memiliki prasyarat itu. Eklektisisme dengan hanya melihat nilai yang sama, bukan solusi, karena dalam perspektif Islam, kebenaran dan kebathilan yang bercampur baur bernilai kebathilan. Sama dengan beriman kepada Allah, tetapi secara bersamaan juga beriman kepada yang lain, maka disebut syirik, dan syirik merupakan salah satu bagian dari kufur.

Baca Juga  TUJUAN PERNIKAHAN: MEMBANGUN SINERGI

Untuk mentransformasikan gagasan-gagasan Islam tersebut, diperlukan kader canggih sebagai pemikir dan sekaligus pejuang. Dalam konteks keIndonesiaan, ajaran Islam harus diobjektivikasi sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi kerangka kehidupan bersama tanpa menyebabkan saling curiga di antara entitas keberagaman SARA.

Karena kecanggihan konsepsi-konsepsi di dalam Islam tersebut, maka kader HMI dituntut untuk memiliki pemahaman yang tepat. Keutuhan pemahaman dan pemurniannya dari paham yang keliru, membutuhkan berbagai prasyarat, di antaranya penguasaan bahasa Arab, logika yang terlatih untuk memahami substansi teks, dan kritisism kepada segala macam wacana yang muncul dan berkembang. Jika kader-kader HMI memiliki itu, maka wacana yang dibangun dan dikembangkan akan memiliki akar yang menghunjam kuat pada sumber utama, tidak keluar jalur yang menyebabkan tidak jelas lagi mana kebenaran dan kesesatan.

Karena kaderisasi merupakan proses, diperlukan para pemandu yang bisa membuat proses tersebut mengarahkan kepada kerangka kebenaran. Dengan demikian, kader HMI akan menjadi pribadi yang benar-benar turut al-Qur’an dan hadits, jalan keselamatan. Bahagia HMI dalam usia yang ke-73. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Dr. Mohammad Nasih, M.Si.
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Semarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Pilanggowok Mlagen Rembang.

    Saya Bertindak, Maka Saya Ada

    Previous article

    Jangan Panggil Aku Kader HMI (Sebuah Refleksi Harlah HMI Ke-73)

    Next article

    You may also like

    Comments

    Ruang Diskusi