Jangan Panggil Aku Kader HMI (Sebuah Refleksi Harlah HMI Ke-73)

Oleh : M. Arif Rohman Hakim, Seorang Kader yang karena kecelakaan sejarah harus mengemban amanah menjadi Ketua Umum HMI Komisariat Dakwah 2016-2017 dan Sekretaris Umum HMI Korkom Walisongo 2017-2018

Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan Kader HMI. Karena bisa jadi amal baikmu lebih banyak daripada amalku. Aku malu saat kau memanggilku dengan sebutan itu, karena bisa jadi keikhlasanmu lebih mendalam daripada diriku.

Aku malu, sangat malu saat kau memanggilku dengan sebutan Kader yang hebat. Karena bisa jadi kedudukanmu lebih mulia di hadapan Allah. Siapa yang tahu tentang hati ini? Bukankah yang mengetahui hanyalah diri sendiri dan Allah semata?

Aku sungguh sangat malu, Kawan. Engkau memanggilku dengan sebutan Kader HMI ketika bacaan Quran ku masih terbata-bata dan belum baik. Apalagi dengan hafalan Haditsku? Tahsin saja, aku masih menunda-nunda. Apalagi untuk tingkat Tahfizh dan pengamalan Hadits?

Aku merasa tidak pantas, Kawan. Ketika engkau menyebutku dengan sebutan Kader yang sering pulang larut malam karena banyak agenda Organisasi. Hingga tak jarang aku membiarkan Mushaf itu hanya tergeletak di atas lemari usang di asramaku. Atau bahkan hanya Aku simpan di dalam tasku tanpa sesekalipun Aku membacanya.

Aku tak kuasa menahan air mata ini, Kawan.
Engkau memanggilku dengan sebutan Kader HMI, ketika lalaiku membuat kalian merasa terdzolimi. Lalai ketika tidak bisa menjalankan amanah yang dibebankan kepadaku. Bahkan Aku lalai dengan keluarga dan masyarakat di sekitarku. Aku acapkali berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan RAK, Muskom, Konfercab, dan Kongres. Tapi Aku tidak tahu dan bahkan acuh tentang bagaimana bentuk pengabdianku kepada masyarakat. Jangankan mengabdi, ikut kerja bakti saja terkadang Aku masih sangat malas.

Aku merasa diri ini tak pantas engkau panggil dengan sebutan Kader HMI, ketika kehidupanku mulai tak seimbang antara kegiatan organisasi dan akademik. Padahal dalam tujuan organisasiku, telah nyata dijelaskan bahwa organisasi ini bertujuan untuk melahirkan Insan Akademis.

Sungguh. Ini bukan jalanku menjadi Insan Akademis, ketika Aku tak peduli dengan kondisi kesehatan dan akademikku sendiri. Padahal saudara-saudaraku sudah sering mengingatkanku. Hingga Alu menyesal kini. Dan terkadang Aku malu sendiri karena harus menyusahkan saudara-saudaraku. Tapi sepertinya aku bersikap acuh tak acuh, hingga penyesalan itu kian datang. Dan berujung dengan keputusasaan.

Aku merasa malu sekali, Kawan. Engkau memanggilku dengan sebutan Kader HMI yang pandai menjaga hati. Padahal bisa jadi ketika aku bertemu dengan kawan perjuangan lawan jenis disana, hatiku terpaut tak menentu dan mengotori jalan ke-ikhlasan cintaku kepada-Nya. Bisa jadi engkau lebih pandai menjaga hatimu dari pada aku yang bergelut dengan Organisasi progresif-Revolusioner ini. Bisa jadi, ini hanya topeng semata untuk menutupi busuknya hatiku di hadapan mereka yang tak tahu.

Aku sungguh sangat sedih, Kawan. Engkau memanggilku dengan sebutan Kader HMI, padahal bisa jadi engkau lebih hebat mengatur waktu dan amalan yaumiyahmu lebih istiqomah dibanding dengan diriku. Harus aku akui, bahwa qiyamul lailku kini sering aku tinggalkan. Sederhana saja, Kawan. Diskusi yang terlampau larut terkadang melenakanku. Jangankan untuk Qiyamul lail, terkadang akupun sering dengan sengaja mengabaikan sholat fardlu lima waktu

Sudah cukup, Kawan. Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Jika aku hanya berlindung diri dalam kegiatan kaderisasi tanpa membenahi diri menjadi lebih baik.

Sungguh. Ini bukanlah apa yang organisasiku ajarkan, ketika amal yaumiyahku terlalu berserakan di jalan. Hancur berkeping-keping. Ini bukan harapan dari Mars HMI yang sering Aku nyanyikan dalam setiap kegiatan. Bahkan harus Aku akui, bahwa yang Aku lakukan ini melenceng dari lagu kebanggaanku setelah Indonesia Raya.

Sungguh. Ini bukan bentuk Hanief sebagaimana yang organisasiku ajarkan. Ketika bacaan Quranku tak sampai enam juz perharinya. Dan Aku menggantinya dengan hanya berkumpul-kumpul saja tanpa arti. Atau kegiatan lainnya yang sia-sia. Ketika Aku tak mau memperbaiki bacaan dan menambah hafalan al-Quran dengan alasan berjuta-juta kesibukanku. Padahal Organisasiku telah dengan gamblangnya menjadikan Islam sebagai asasnya. Bahkan pengukuhan al-Quran dan Hadits sebagai pedoman untuk mendapatkan sebuah jalan keselamatan.

Sungguh. Ini bukan jalan Insan Pengabdi yang bernafaskan Islam. Ketika amanah di dalam tempat tinggalku terus saja Aku lalaikan dengan alasan sering pulang larut malam, karena rapat di sana-sini. Apa artinya bersinar di luar namun redup di dalam?

Sungguh. Ini bukan yang diharapkan oleh Ayahandaku Lafran Pane,

Ketika hijab hatiku sudah sangat terkoyak, bahkan tak jarang Aku sering mengotori hatiku melalui cara berkomunikasi yang tak wajar dengan kawan lawan jenisku. Atau bisa jadi membuat-buat alasan untuk koordinasi kegiatan Organisasi.

Ketika lingkungan sekitar tak Aku pedulikan, bahkan senyumanku terhadap sesama Aku lupakan.

Yaa Muqollibal Qulub, Tsabbit Qolbi Ala Diinika
Wahai Zat Yang membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.
Sebuah pengingat yang begitu menghujam.

Dan Kawan, bantu Aku menjadi sepertimu. Seorang kebanggaan keluarga, nusa, bangsa, dan Agama.

Diadaptasi dari sebuah pesan di grup Whatsapp

Respon (6)

  1. Aku banget…!!!
    Hal2 itu aku sampaikan dg nada protes waktu LK I tahun 1991 sampai berantem dg Panitia dan Narsum. Ada senior yg ancam mau potong jari2ku segala. …he…he …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *