Gagasan hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo yang sangat terkenal baik di dalam negeri maupun luar negeri, gagasannya muncul terkait fenomena berhukum yang berlaku di Indonesia. Adapaun salah satu idenya menyoroti soal hukum adalah bahwa menjalankan hukum tidak sekadar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the latter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum. Hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdasan intelektual, tetapi dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat.
Kata progresif pun kian familiar, tidak hanya di bidang hukum saja, akan tetapi meluas di semua bidang dan aspek kehidupan. Karena di dalamnya mengandung berbagai aspek yang dapat dirujuk dan diaplikasikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aspek tersebut di antaranya yaitu intelektual, spiritual, istiqamah (komitmen), peduli, integritas dan kesejahteraan. Jika semua lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat menerapkannya, cita-cita Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur dapat terwujud.
Mohammad Nasih (Monash) merupakan sosok yang muda, cerdas, rupawan dan sederhana. Muda karena dari segi usia baru berumur 40 tahun. Pribadi yang cerdas, kalau dilihat dari IPK, 4.0. Namun konteks cerdas yang dimaksud tidak hanya itu saja, tapi masih bentuknya beragam, baik cerdas secara spiritual, emosional dan finansial. Kemudian, jika dilihat dari fisiknya, ia adalah sosok yang rupawan, karena banyak perempuan yang tertarik jika sudah mengenalnya. Sosoknya yang tinggi, berkulit cerah, rambut lurus belah pinggir, mirip bintang film korea Andy Lau. Sederhana dalam gaya hidupnya, sedehana bukan karena tidak mampu memenuhinya, akan tetapi sebaliknya, karena segalnya sudah tercukupi, menjadikan hidupnya biasa-biasa saja.
Peduli, salah satu kata yang dapat dirasakan sampai saat ini, jika mengenal Monash. Hal ini saya alami sendiri selaku pribadi dan menjadi saksi sejarah hidup sampai sekarang. Semoga beliau senantiasa dibeikan kesehatan dan dalam lindungan Allah Swt. Berawal dan dipertemukan di organisasi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UIN Walisongo Semarang, Monash menjadi saudara ideologis, tetapi terasa sebagai sudara biologis bagi saya. Fakta dari kepeduliannya adalah sewaktu saya selesai studi S1 UIN Walisongo Semarang, diberilah petuah, yang intinya bertahanlah di Semarang, tanpa panjang berfikir, seketika itu saya jawab: “Siap, Bang.”
Allah pasti menunjukan jalan yang terbaik, di dalam hati saat itu. Kemudian dengan menjalankan aktivitas masing-masing saat itu, beliau di Jakarta dan saya di Semarang. Setiap akhir pekan, Monash menyempatkan untuk bersua dan bersilaturrahim di Semarang, merencanakan dan merealisasikan apa yang telah direncanakan. Di antara rencana tersebuat adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dimulai dari kualitas diri dulu, melalui pendidikan, caranya memberikan beasiswa pinjaman, dan saya orang pertama yang diberikan beasiswa pinjaman tersebut untuk studi lanjut S2 Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, bersyukur selesai dan mendapatkan gelar tambahan dibelakang nama.
Tidak hanya fokus pada pendidikan saja, beliaupun menyarankan saya untuk segera mencari pasangan (baca: jodoh). Saya pun dengan sigap menjawab: “Siap, Bang”. Kemudian, beberapa wanita saya kenalkan langsung kepada Monash. Wanita 1, 2, 3 ditolak dengan berbagai pertimbangan dan saya pun mengiyakan. Lanjut saya kenalkan dengan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan akhirnya Monash merestuinya. Proses ta’aruf sampai dengan lamaran dalam pelaksanaannya menggunakan adat istiadat orang Jawa Tengah. Pada 2011, akad nikah sekaligus resepsi pun digelar di kampung halaman Banjarnegara dan Dr. Mohammad Nasih, M.Si lah yang memberikan ular-ular pernikahan untuk kami berdua.
Tidak selesai sampai di sini, pada tahun 2014 istri lanjut studi S2 di Universitas Negeri Semarang (UNNES) dan 2015 saya pun lanjut studi S3 di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Adapun biaya awal registrasi semuanya menggunakan beasiswa pinjaman dari Monash. Kami bersyukur. Semuanya berjalan lancar, hingga istri lulus dengan predikat sangat memuaskan. Begitupun saya, saat ini sedang menyelesaikan disertasi untuk program doktor ilmu hukum UNDIP Semarang, yang itupun tidak lepas dari dukungan sosok Monash.
Mendirikan Rumah Perkaderan: Membangun dari Pinggir
Pesantren Mahasiswa Pemuda Islam (PMPI) didirikan pada tahun 2010 dan beroperasi di Jalan Ringinsari 2 Ngaliyan Semarang dengan slogan yang memberikan motivasi tinggi, yakni “Keprihatinan Adalah Gizi”. PMPI memiliki tujuan utama adalah memberdayakan pemuda-pemuda dari kampung yang memiliki keinginan kuat untuk menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi namun kesulitan biaya. PMPI ini adalah embrio berdirinya Monash Institute, selain juga Asrama Pemuda Mahasiswa Islam (AMPI) yang juga berada di Jalan Ringinsari 2 Ngaliyan Semarang, yang terpisah hanya dua rumah saja dari PMPI.
Diawali dengan menyewa/kontrak rumah dekat kampus UIN Walisongo Semarang, Monash membangun sistem perkaderan sumber daya manusia dengan misi memperbaiki bangsa dan negara. Pada awal 2011 Monash mengadakan rekrutmen tahap pertama dengan pemberian beasiswa pendidikan kepada mahasiswa yang kuliah di IAIN (sekarang UIN) Walisongo Semarang. Lika-liku berdirinya Monash Institute pun saya ketahui dengan pasti. Cibiran, hinaan dan bahkan dibilang lembaga terlarang, semua itu dinggap sebagai jamu yang menguatkan perjuangan Dr. Monash. Hingga berjalan 10 tahun ini, Monash Institute bertahan dan makin menemukan jalan dan sistem terbaiknya. Dari yang tadinya di rumah kontrakan hingga sekarang memiliki gedung sendiri empat lantai atau yang beliau sebut “Monash Tower” dan dua tiga gedung baru lainnya. Di sinilah, beliau mengajarkan kepada saya soal mimpi dan bagaimana merealisasikannya.
Sistem yang diterapkan dalam mengelola, membina, dan memajukan calon-calon pemimpin masa depan bangsa di rumah perkaderan ini adalah membina dengan super intensif, sehingga di masa yang akan datang mereka memiliki kualitas yang terdiri atas trilogi: ilmu, harta dan kekuasaan. Pertama, dengan bekal ilmu, diharapkan dapat menggali ayat-ayat Allah Swt baik tersurat maupu terisrat untuk dapat diaplikasikan. Oleh karena itu, para kader diharuskan menghafal Al Qur’an sekaligus memahami arti dan makna di setiap ayat yang dihafal. Mohammad Nasih (Monash) sendiri adalah seorang penghafal Al Qur’an.
Kedua, bekal harta, dengannya dapat memenuhi kebutuhan dan beramal, sehingga dalam perjuangannya tidak mengandalkan bantuan dari pihak lain, baik dari pemerintah dengan menyodorkan proposal, maupun bantuan dari individu yang bersifat mengikat. Monash mencoba mandiri dengan memberdayakan kader-kadernya untuk berwirausaha. Ketiga, kekuasaan, dengan meraih kekuasaan akan lebih banyak menolong orang, caranya menempatkan kader di semua bidang, dengan begitu nantinya saling bersinergi untuk saling tolong menolong, maka tidak heran ketika datang di lembaga Monash pada waktu itu ada tulisan yang berukuran besar “Bantulah Kami Untuk Membantu Anda”. Ini karena ada tipe manusia yang dibantu malah “bergaining”.
Pesantren itulah sebuah sistem yang menaungi kader-kader tangguh di dalamnya. Semia peserta didiknya mahasiswa sehingga sering disebut sebagai mahasantri atau lebih populer lagi Monash memberikan sebutan “disciples” untuk mereka. Kenapa menggunakan sistem pesantren? Jawabannya, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bagus dalam menggali ilmu dengan mengajarkan kedisiplinan tingkat tinggi. Monash pun demikian, mengajarkan dan menggali ilmu, mulai dari kitab klasik sampai kajian sains modern yang sedang berkembang di dunia sekarang.
Metode utawi-iku dalam memahami dan memaknai kitab pun masih berlaku yang dipandu langsung oleh Dr. Mohammad Nasih. Seiring berjalannya waktu, rumah perkaderan Monash pun berkembang pesat. Kepercayaan masyarakat mulai tumbuh. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang tua menitipkan anak-anaknya di Monash Institute (MI) Semarang. Tidak hanya dari Jawa saja, tetapi kini sudah meluas ke luar pulau Jawa, ada yang dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga NTB. Itu semua adalah berkat campur tangan dan pertolongan Allah Swt yang patut disyukuri.
Sistem di Monash Institute sudah berjalan dan bahkan banyak diadopsi oleh lembaga lain. Itu artinya kebermanfaatannya sudah dapat dirasakan. Begitu progresifnya dalam meletakan dasar-dasar kehidupan, melalui pembinaan yang sangat super intensif, produktif dalam berkarya, bekerja dan tawakal. Meletakan nilai-nilai kebenaran yang sensntiasa istiqamah dalam memperjuangkanya. Iman, ilmu dan amal menjadi trilogi dalam mengisi dan menjalani hari-hari. Aktivitas padat di Monash yang menjadi rutinitas dan tradisi menjadikan waktu seolah-olah terasa kurang. Kebiasaaan inilah yang sesungguhnya dapat diterapkan dilingkungan keluarga dan masyarakat. Budaya menghargai waktu.
Revolusi dari Atas
Monash kini dikenal tidak hanya di tingkat nasional tapi sudah pada level internasional, dengan bidang studi yang sangat langka yaitu Poitik Islam. Kenapa langka, karena di dunia ini hanya ada satu orang, seorang doktor ilmu politik yang hafal al-Qur’an (Hafidh) dan tidak hanya hafal akan tetapi arti, makna, dan kandungannya sangat mendalami. Saya sebagai anak didiknya pun patut berbangga. Di tingkat nasional, Monash dikenal tidak hanya sebagai pengajar saja, namun beliau pun terjun langsung sebagai politisi yang terkenal kritis terhadap kebijakan negara yang itu beresiko tinggi.
Pertama, tidak mudah, karena sewaktu berkompetisi menjadi anggota legislatif banyak mengalami rintangan, rintangan yang paling sulit adalah meyakinkan masyarakat untuk tidak tergiur dengan money politic dalam memilih wakil rakyat, menjadi pemilih cerdas. Hal ini yang menjadikan Indonesia tidak maju dan kecenderungan korup, akibat perilaku pejabatnya yang korup, sehingga ketika menjabat bukan kepentingan masyarakat yang didahulukan tapi kepentingan individu dan golongan yang diutamakan dengan kecenderungan berfikir bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam kompetisi.
Jika modal telah kembali, tinggal mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika ada pejabat yang kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Koruupsi (KPK) bisa dikatakan sedang sial, apes atau tidak mujur saja. Hal inilah yang menjadi salah satu konsen Monash, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan pencerahan terhadap masyarakat agar jangan apatis terhadap politik atau alergi terhadap politik, karena hajat hidup masyarakat dipengaruhi oleh politik.
Jika politik ditempati oleh orang-orang baik, maka dalam membuat aturan dan kebijakannya pun akan baik, begitu pun sebaliknya jika dimasuki oleh orang-orang jahat, maka kebijakannya akan menyesengsarakan rakyat. Masyarakat sebenarnya sudah tahu dan paham atas situasi dan kondisi ini, namun lebih memilih pragmatis dan berfikir jangka pendek, sehingga politik uang pun tak terhindarkan.
Kedua, beresiko, Mohammad Nasih secara langsung mengalaminya, mulai dari akunnya diblokir karena sangat kritis terhadap pemerintah, sampai dengan resiko diberhentikan dari jabatannya sebagai salah satu komisaris di badan usaha milik pemerintah, semua dilaluinya dengan tetap tegar dan pantang menyerah, perjuangan tetap dilanjutkan. Karena sebagaian orang kecenderungannya mencari aman, mencari keuntungan sehingga menghalalkan segala cara untuk dekat dengan penguasa, oleh karena itu, terkadang tidak rasional dalam menyikapi permasalahan yang terjadi di negeri ini.
Dan Monash memilih untuk tetap kritis terhadap pemerintah, walaupun tawaran untuk masuk di lingkaran kekuasaan terbuka lebar untuk mengisi-mengisi jabatan komisaris di BUMN, misalnya. Diibaratkan, jika disuruh untuk memilih antara juice dan jamu, rata-rata orang memilih juice dibanding jamu, karena rasa juice manis sedangkan jamu rasanya pahit, tapi kita lihat khasiatnya, juice manis rasanya tapi jika tidak cocok malah jadi penyakit, sakit perut bahkan bisa diare, sedangkan minum jamu, awalnya pahit, tapi setelahnya badan menjadi lebih sehat dan bugar.
Kritik kita anggap sebagai jamu, walaupun pahit, pedas dan terasa tidak enak, namun bisa dijadikan evaluasi agar kedepannya lebih baik. Kita pun harus membedakan antara kritik dan hinaan. Kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan, beda dengan menghina, yang bersifat personal/individu dengan merendahkan pribadi seseorang. Hal ini terjadi kepada mereka yang hanya memberikan laporan kepada atasannya dengan sesuatu yang manis-manis, Asal Bapak Senang (ABS) tapi sebenarnya malah menjerumuskan ke lubang sengsara yang dalam. Jadi kritik di dalam sistem pemerintahan yang menganut demokrasi sebagai pilihan dalam bernegara sangatlah penting guna mengontrol, mengevaluasi dalam menjalankan roda pemerintahan agar lurus dan benar, jadi tidak perlu anti kritik.
Sosok yang Inspiratif
Di level internasional, Monash sering diminta menjadi narasumber, hal ini dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan-gagasannya untuk dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Dia menjadi sosok yang sangat menginspirasi dalam pembangunan SDM unggul. Menurut para ahli, inspiratif adalah segala sesuatu yang bisa memberikan inspirasi dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Inspiratif juga berarti sesuatu hal yang bisa memberikan pengaruh berupa semangat dan kekuatan untuk melakukan atau membuat sesuatu. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Mohammad Nasih dengan mendirikan Monash Institute (MI) dengan investasi yang begitu besarnya dan tidak bisa diukur dengan nilai materi. Apa itu?
Investasi Sumber Daya Manusia (SDM), tidak semua orang, apalagi sembarangan dapat melakukannya. Kebanyakan orang jika memiliki harta memilih diinvestasikan dalam bentuk tanah, bangunan, deposito dan lain sebagainya, yang penting nilai materinya bertambah di kemudian hari. Oleh karena itu, adakalanya mereka dapat mendirikan bangunan yang begitu megah, lengkap dengan isinya, tapi tidak tahu mau difungsikan untuk apa bangunan tersebut, apa yang terjadi mangkraklah bangunan tanpa menghasilkan sesuatu apa pun, dan ini banyak terjadi.
Dengan investasi SDM yang begitu getol dijalankan oleh Monash, secara materi seolah-olah berkurang kalau mengukurnya pakai matematika biasa, tapi sebaliknya jika ukurannya adalah matematika dinamik, tidak berkurang tapi justru bertambah. Apa tambahannya? Jawabnya adalah, di antaranya “keberkahan”, baik rizki, usia, keluarga, sahabat maupun yang lainnya.
Perjalanan hidup yang menginspirasi dan patut untuk diteladani. Karena hidup di dunia hanya sekali, maka berilah manfaat bagi manusia dan alam semesta. Jika sudah tidak ada di dunia, namanya akan abadi dikenang baik, oleh anak biologis maupun anak ideologis sepanjang zaman. Monumen pun akan abadi di hati bukan berupa menara yang secara fisik hanya bisa dilihat dan seringkali kehilangan guna. Semoga kita dapat meneladani sosok “Monash” dan meniru untuk membangun SDM dengan Monash Institute-nya.
Oleh: Mukharom Asy-Syabab, Sejarah Hidup Monash, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang
Editor: Anzor Azhiev